JAKARTA - Anggota Komisi III DPR Nudirman Munir meminta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) jangan hanya fokus kepada pelanggaran berat HAM yang terjadi pada peristiwa Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G 30S/PKI) yang terjadi tahun 1965. Ajang pembantaian manusia juga dilakukan oleh Tentara Pusat terhadap masyarakat yang tidak berdosa di Sumatera Tengah, yang kini Sumatera Barat, pada 1958.
"Kalau mau menuntaskan kasus pelanggaran berat HAM, jangan melulu melihat G30S/PKI. Peristiwa PRRI menorehkan luka dalam bagi masyarakat Minangkabau. kejadian itu mestinya juga jadi perhatian Komnas HAM," kata Nudirman Munir dalam Dialog Pilar Negara, bertema 'Pelanggaran Ham Masa Lalu dan Solusi Masa Kini' di gedung Nusantara IV, komplek Parlemen, Senayan Jakarta, Senin (30/7).
Ribuan manusia yang tidak bersala,h lanjut Nudirman, dibantai Tentara Pusat. Cara-cara yang diambil oleh Tentara Pusat dalam menghadapi PRRI jelas-jelas pelanggaran HAM berat yang paling tragis di Minangkabau.
Demikian juga halnya di era pemerintahan Orde Baru. Menurut politisi asal Sumbar itu, tidak sedikit peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia tapi ditutupi untuk kepentingan penguasa saat itu. "PRRI hanya salah satu diantara pelanggaran HAM yang ditutup-tutupi hingga kini," katanya.
Pembantaian terhadap manusia juga berlangsung di Papua pada 1966. Operasi militer intensif dilakukan TNI untuk menghadapi OPM. "Sebagian berkaitan dengan masalah penguasaan sumberdaya alam antara perusahaan tambang internasional. Aparat negara berhadapan dengan penduduk lokal," ujar politisi Partai Golkar itu.
Hal yang masih segar dalam ingatan anak bangsa ini menurut Nudirman Munir peristiwa penculikan para aktivis politik sepanjang tahun 1998.
"Kontras mencatat sedikitnya 23 orang (1 meninggal, 9 dilepaskan dan 13 lainnya hingga kini masih dinyatakan hilang, red). Kejadian ini mestinya juga jadi perhatian Komnas Ham dan LSM penggiat Ham," saran Nudirman Munir.
Ditegaskannya, kalau Komnas HAM ngotot menuntaskan pelanggaran berat HAM pada peristiwa G30SPKI, sebagai wakilnrakyat yang berasal dari Minangkabau, Nudirman juga menuntut keadilan atas peristiwa PRRI yang telah menelan korban yang tidak berdosa itu.
Terakhir Nudirman menyarankan, terhadap banyak kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Indonesia ada tiga cara yang dapat ditempuh untuk menyelesaikannya. "Pertama, diadili lalu dilupakan. Kedua, dimaafkan tapi tidak dilupakan. Sementara yang terbaik adalah dilupakan dan dimaafkan," tegas dia.
Sementara sejarahwan dari LIPI Asvi Warman Adam menyarankan agar Komnas HAM memroses dugaan pelanggaran berat HAM semenjak tahun 1945. "Berat memang untuk melakukan itu, tapi cara itu harus ditempuh agar para pihak yang berpotensi melanggar HAM tidak lagi mengulangi perbuatannya," kata Asvi Warman Adam. (fas/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sejarawan Dukung Kasus 1965 Dibuka Kembali
Redaktur : Tim Redaksi