jpnn.com - JAKARTA - Aktivis Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Yati Andriyani, meminta lembaga-lembaga resmi negara seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Kejaksaan Agung untuk segera memanggil dan memintai keterangan mantan Kepala Staf Kostrad, Mayjen (Purn) Kivlan Zen.
Hal ini terkait pernyataan Kivlan Zen yang mengaku mengetahui kuburan para korban penculikan sejumlah aktivis 98. Selian Kivlan, Yati juga mendesak agar Prabowo Subianto juga dimintai keterangan.
BACA JUGA: Sarankan Sistem Proporsional Terbuka Dikoreksi
“Keduanya harus dimintai keterangan atas kasus penghilangan paksa aktivis 1997/1998,” kata Yati saat konperensi pers Gerakan Melawan Lupa bertajuk, “ Merespon Pernyataan Kivlan Zen dan Peristiwa Penculikan Penghilangan Paksa 1997/1998,” di kantor KontraS, di Jakarta, Senin (5/5).
Gerakan Melawan Lupa digagas oleh puluhan LSM penggiat HAM antara lain, Imparsial, KontraS, YLBHI, Elsam, ICW, HRWG, Politik Rakyat, LBH Jakarta, LBH Pers, Institute Demokrasi, KASUM, JSKK, IKOHI, Ridep Institute, KRHN, LBH Masyarakat, Setara Institute, Perempuan Mahardika, LBH Surabaya, AJI Indonesia dan lainnya.
BACA JUGA: Golkar Kalahkan PDIP di Dapil NTT I
Dijelaskan Yati, berdasar pasal 42 dari UU Nomor 26/2000 tentang Pengadilan HAM dan Pasal 6 Konvensi Perlindungan Bagi Semua Orang Dari Penghilangan Paksa, komandan militer dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya yang efektif atau akibat tidak dilakukan pengendalian yang efektif.
Menurut yati, Prabowo Subianto sebagai Mantan Danjen Kopassus, atasan dari Tim Mawar tidak bisa lepas tanggung jawab terhadap 13 korban yang masih hilang.
BACA JUGA: Inilah Senator 2014-2019 dari NTT
"Karena menurut hasil Executive Summary laporan Komnas HAM disebutkan bahwa dari keterangan saksi, 7 orang hilang yang hilang dan telah dikembalikan disebutkan bahwa mereka bertemu dengan sebagian besar 13 korban yang masih hilang di Pos Kotis markas Kopassus Cijantung, di mana saat itu Prabowo sebagai Danjen Kopassus-nya,” bebernya.
Lebih lanjut dikatakan Yati, prinsip Nebis In Idem dalam kasus ini tidak dapat diberlakukan karena terdapat perbedaan yurisdiksi antara peradilan militer dan pengadilan HAM. Pada Peradilan Militer tahun 1999, hanya mengadili 11 anggota Kopassus yang tergabung dalam Tim Mawar.
Peradilan Militer juga hanya untuk kasus penculikan 9 aktivis yang sudah dikembalikan. Tapi Peradilan Militer tidak mengungkap pertanggungjawaban komando dalam operasi yang dilakukan Tim Mawar.
“Dalam kontek ini, Peradilan Militer gagal menjelaskan nasib 13 korban yang lain, yang saat ini masih hilang, yang ketika itu disekap di tempat yang sama dengan beberapa dari korban yang telah dilepaskan,” kata dia.
Selain itu, kata Yati, para terdakwa hanya dituntut dengan kejahatan perampasan kemerdekaan secara bersama-sama dan empat terpidana yang dijatuhi hukuman dalam kasus ini, mendapatkan promosi kenaikan jenjang karir dalam dinas kemiliteran. Terhadap 9 korban yang telah dikembalikan pun, Prabowo tak bisa lepas dari tanggung jawab komando atas kejahatan yang terjadi terhadap mereka.
“ Yakni, penangkapan sewenang wenang, penyiksaan, penganiayaan dan perampasan kemerdekaan sebagaimana tercantum dalam Exutive Summary Komnas HAM. Pengembalian terhadap 9 orang korban tidak serta merta membuat kejahatan itu dihapus,” kata dia.
Yati juga meminta, Presiden SBY harus segera membuat Tim Pencarian 13 Korban Penghilangan Paksa dan Keppres Pembentukan Pengadilan HAM untuk kasus Penghilangan Paksa 1997/1998. Selain itu, ia juga mendesak Jaksa Agung segera melakukan penyidikan, sebagaimana 4 rekomendasi DPR pada 2009.
“Dan rekomendasi Ombudsman RI pada 2013, agar undue delay dan mal administrasi atas perkara ini segera dihentikan, dan korban mendapatkan kepastian hukum,” katanya.
Yati menilai, Prabowo tidak layak maju sebagai capres. "Karena cacat secara moral dan hukum," pungkasnya. (sam/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... DKPP Segera Sidangkan Kasus Aceh Barat Daya
Redaktur : Tim Redaksi