Desakralisasi Teknologi

Rabu, 25 Januari 2012 – 13:40 WIB

jpnn.com - DUA puluh menit persis, saya berbincang efektif dengan Prof Dr Ir M Nuh DEA, Mendikbud RI di kantornya, Jalan Sudirman, kemarin. Dari soal sate kambing kesukaannya, bola basket, mobil Esemka, pesawat Jabiru, motor, perangkat komputer, vaksin H5N1 (flu burung) yang sudah diapresiasi WHO, sampai satelit Nano, yang rencana akan diluncurkan tahun 2013.

Semuanya karya anak negeri yang canggih, berbasis teknologi yang hebat, dan cukup membuat mulut kita membentuk huruf “o”. Pertanyaan saya: “Mengapa tidak diinformasikan secara detail, dan dipromosikan ke publik? Mengapa tidak dikemas yang lebih wow? Ada banyak karya yang lahir dari dunia pendidikan kita yang membuat merinding? Membanggakan? Yang menaikkan confidence sebagai bangsa hebat?” Jawaban khas mantan rektor ITS Surabaya ini: “Habis? Media lebih memilih berita-berita sekolah rusak? Gedung roboh? Lha, kalau maunya sekolah rusak, saya punya stok banyak! Lengkap dengan foto-fotonya lagi? Ada ribuan jumlahnya. Kalau dimuat setahun penuh, 360 hari, di semua halaman, masih belum cukup. Stoknya terlalu banyak, hehe.

” Itulah gaya profesor yang bukan politisi ini. Sekalipun jabatan menteri juga tergolong jabatan politis, dia tetap mengesampingkan aspek pencitraan. Coba kalau Prof M Nuh pelaku politik? Pasti jauh lebih heboh dari yang terjadi ada saat ini. Mobil Esemka itu, kata dia, bukan sesuatu yang baru. Itu adalah proyek yang sudah diimplementasi sejak 2009.

:TERKAIT Baru betul-betul bulat, pada 2013, sudah mencapai 100 persen dan siap take off. Tahun 2012 ini masih harus menjalani proses uji laik, yang dia sebut sebagai proses auditing. Dia ingin membedah satu per satu komponen yang dipasang di mobil Esemka itu. Misalnya, ada 6.000 part. Dari jumlah itu, berapa banyak yang bisa diproduksi sendiri? Berapa yang harus diimpor dari luar? Berapa banyak persentase karya asli anak-anak Esemka? Konsorsium dari ITS, ITB, UGM dan beberapa enginer sedang meneliti itu semua, agar mobil ini saat diproduksi bisa dijamin eksis.

Rupanya, mantan Menkominfo ini sudah memikirkan lebih jauh agar mobil Esemka ini bukan hanya produk instan. Bukan hanya mobil yang heboh karena euforia politis. Mobil yang memiliki masa depan, dan sustainable, dengan proses yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dan, menjadi mobil yang bisa dimasifikasi. Mendikbud menyadari, saat ini Mobil Esemka menemukan momentum. Walikota Solo Joko Wi, cukup pintar menunggang mobil Esemka untuk melaju lebih cepat secara calon Gubernur DKI.

Respons publik pun luar biasa bergemuruh. Mobil Esemka berhasil mengangkat politisi dengan popularitas amat positif. Hampir semua media mengarahkan moncong lensa kameranya ke mobil ini. Topik Esemka menjadi hot news. Pamornya menanjak cepat bak meteor. Publik begitu antusias menyambut cipta karya bocah-bocah SMK. Joko Wi seorang politisi yang boleh diacungi jempol. Bahkan, polling sementara di dua kelurahan di DKI Jakarta, yang dilakukan tim surveyor INDOPOS kemarin, nama Joko Wi mampu membayangi Fauzi Bowo. Seorang walikota di kota Solo yang kecil dan jauh, sekitar 500 kilometer dari ibu kota, mampu menyedot perhatian orang Jakarta.

Kendaraannya Esemka! Mengapa publik langsung merespons positif? Pertama, kata Prof M Nuh, bangsa ini rindu akan karya asli anak bangsa, terutama yang berbasis penguasaan dan penerapan teknologi. Mobil Esemka telah memberi jawaban yang meyakinkan, atas kerinduan itu. Kedua, produk ini mampu membangun kebanggaan dan mendongkrak citra.

Sampai-sampai, politisi yang mengapresiasi kehadiran mobil ini ikut-ikutan terangkat image-nya. Ketiga, ini sekaligus menjadi lokomotif bagi produk SMK yang lain seperti, sepeda motor, laptop, LCD, perkakas industri dan lainnya. Tidak banyak yang tahu bahwa perkembangan SMK itu sudah luar biasa pesat. Bukan hanya itu, produk-produk penelitian dan riset di perguruan tinggi juga banyak yang kuat.

Misalnya, konsorsium beberapa perguruan tinggi, ITS, ITB, UGM, UI, Politeknik Elektronika Surabaya, yang akan meluncurkan satelit Nano! Satelit yang dikembangkan melalui prinsip-prinsip nano teknologi. Universitas Airlangga Surabaya juga sudah lama mendapatkan apresiasi dari WHO dalam penelitian vaksin flu burung (H5N1). Vaksin menakutkan itu sudah siap untuk diproduksi secara massal.

Itu karya anak bangsa di bidang kedokteran? Yang menjadi kekhawatiran saya adalah, jika mobil Esemka yang sudah berada di puncak isu ini menghadapi antiklimaks. Misalnya, mencuatkan kekhawatiran-kekhawatiran yang tidak berdasar. Sisi ketidaksiapan, yang kemudian berkembang menjadi sisi negatif? Jika ini terjadi, maka mimpi menjadi mobnas, cita-cita menjadi tuan rumah otomotif di negeri sendiri, hanya tinggal mimpi. Isu tidak produktif, itu memiliki “daya rusak” yang amat dahsyat. Karena produk otomotif itu sensitif dengan isu-isu bernada minor.

Misalnya, bagaimana dengan standar safety-nya? Uji laik dari Dephub? Sebaran spare part di seluruh Indonesia? Pusat service dan purna jual? Tingkat kenyamanan dan keamanan? Maintenance dan purna jual? Seorang pengusaha pekan lalu menelepon saya, “Jangan ikut-ikutan euforia Esemka! Toyota dan KIA saja, untuk membuat satu prototype mobnas, biayanya USD 3 juta? Perhitungannya per millimeter? Itu tidak mungkin dengan sistem manual. Inilah yang oleh Prof M Nuh sedang “dilawan”, yakni merusak kesakralan teknologi.

Istilahnya “desakralisasi teknologi.” Bahwa, teknologi itu tidak perlu terlalu ditatap sebagai sesuatu yang mahasakral. Pencipta dan pemilik teknologi memang punya cara untuk menjaga “marwah” kesakralan itu. Selama ini cukup sukses, mengemas teknologi dengan prosesi kesakralan. Mereka membuat harga pun, bukan harga teknologi saja. Tetapi, harga teknologi plus unsur-unsur untuk menjaga marwah itu. Cara “merusak”-nya? Ya dicari anak-anak biasa, yang semula dipandang tidak mampu menciptakan teknologi canggih.

Merekalah yang merancang, memodifikasi, dan merakit barang berteknologi itu. Anak-anak kecil dalam jumlah yang massif. Jika ini sukses, maka harga teknologi bisa jauh lebih murah. Harga teknologi bisa mengalami degradasi. Pasar bisa rusak. Dan produk dalam negeri mampu bersaing dengan teknologi impor. Contohnya, dulu komputer itu banyak prosesinya. Monitor harus diberi jilbab, atau kerudung. Keyboard harus diselimuti, agar debu dan kotoran tidak merusak komponen. AC harus disetel yang dingin. Coba sekarang? Sambil merokok pun jadi! Jauh dari kesan sakral. (*)


BACA ARTIKEL LAINNYA... Mempersuasi Atapers

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler