Mempersuasi Atapers

Kamis, 12 Januari 2012 – 21:42 WIB

jpnn.com - YUK kita coba naik KRL di atas atap! Biar bisa masuk komunitas atapers –penumpang yang duduk dan tiduran di atap gerbong KRL. Biar menjiwai dan merasakan sensasi naik the real roller coaster. Tanpa sabuk pengaman. Tanpa helm. Bahkan, tanpa kursi, alias lesehan dengan kecepatan tinggi. Pasti daya pacu adrenaline-nya lebih dahsyat daripada diputar balik di Universal Studio Singapore! Pasti lebih seru dari uji nyali dengan makhluk-makhluk gaib itu.

Juga lebih menantang daripada memberi makan ikan hiu sambil menyelam di akuarium raksasa Sea World. Nah, kita bisa bercerita lebih detail pada pembaca. Gimana? Jawabannya: Wah, anak saya sudah dua, jadi yang lain saja! Maaf, perut saya tidak terlalu langsing lagi. Sudah sulit menghindari penghalang dan pengusir atapers. Sori, saya hobi BBM-an, di atap susah berkonsentrasi BBM? Saya kena lambung akut, mudah kembung kena semburan udara luar? Hmmm.. saya masih ingin hidup 1.000 tahun lagi! Ada yang beralasan, itu sudah masa lalu. Karena semasa kuliah di UI Depok, setiap hari harus menjadi penumpang KRL itu.

Begitulah jawaban mereka yang agak bersayap. Intinya, pertama takut jatuh. Kedua, takut cidera. Ketiga, takut mati tersengat listrik. Sensasi liputan yang satu ini risikonya terlalu ngeri, mengandalkan fisik dan sudah banyak contoh penumpang kehilangan nyawa mereka gara-gara tergelincir, jatuh, dan tersengat listrik. Tapi, mengapa atapers tetap saja setia tiarap di atas KRL itu? PT KA sepertinya juga sudah kehabisan stok “akal sehat” untuk mengatur mereka? Dari cara paling halus, setengah keras, sampai model kasar dan bahkan memaksa dengan ancaman pun pernah dicoba.

:TERKAIT Tetapi hasilnya selalu mental, alias tidak mempan. Di jalur padat, KRL Bekasi dan Bogor, tetap saja atapers menjadi kelas favorit. Adakah cara sosialisasi yang efektif dan diikuti tanpa paksaan oleh penumpang? Ditaati dengan segenap kesadaran? Atau, adakah cara menakut-nakuti yang betul-betul bikin merinding? Adakah hantu yang membuat mereka kapok dan nervous? Yang tidak harus mencelakakan penumpang dan mengancam nyawa mereka? Kalau diukur dengan satuan kilometer, historis ajakan untuk tidak nekat itu sudah panjang.

Mungkin lebih panjang dari Anyer-Panarukan? Pernah dicoba mengusir mereka dengan cara menyemprotkan cat di stasiun, agar muka, baju, celana dan sepatunya berwarna-warni? Harapannya, saat turun, penumpang ilegal itu berubah wajah menjadi mirip badut. Cara ini tidak mempan! Mereka bawa baju dua saat bekerja, ganti baju dulu.

Lalu cara lain, diberi kawat berduri penghalang di stasiun. Dalam hitungan normal, nyali orang akan keder melihat kawat mirip sarang laba-laba itu. Orang pasti ngeri nyangkut di kumparan kawat besi, bergerigi tajam itu. Mereka pun naik kereta dari luar stasiun, ketika kereta sedang melaju pelan-pelan. Masih bisa saja naik atap di saat kereta jalan.

Tak lama kemudian, dibawakan tang dan gergaji pemotong kawat. Cara menggertak ini pun tidak sukses! Lalu idenya makin galak, yakni dengan papan elastis yang posisinya persis di atas KRL, dengan jeda jarak hanya beberapa sentimeter. Kalau posisi penumpang atapers duduk saja, sudah pasti kena pukulan papan itu. Ya, mereka tetap bisa menghindar, bahkan saat kereta api berjalan pun. “Awaaaass perangkap!” begitu teriak mereka untuk memberi sinyal pada penumpang di gerbong selanjutnya.

Masuk akal kalau PT KA berkali-kali menepuk jidat untuk mempersuasi atapers agar sadar bahaya. Soal semprot menyemprot, itu juga sudah dilakukan modifikasi. Cairannya dibuat dari larutan gerusan cabe rawit yang pedas. Kalau percikannya kena mata, sudah otomatis, dia tidak akan bisa membuka mata sampai stasiun paling akhir. Hasilnya? Nihil, apalagi di saat-saat tertentu harga cabe melonjak mahal? Cara-cara itu betul-betul mirip film animasi andalan Walt Disney, Tom and Jerry, Uncle Donald Duck, Winnie de Pooh, Pink Panther, dll.

Nyawa seperti tak berharga, hanya sebanding dengan selembar tiket KRL. Risiko apapun, sepertinya sudah bukan penghalang. Bahkan, hanya membuat mereka marah. Bentuk kemarahannya juga ditumpahkan melalui cara-cara yang atraktif. Misalnya, mereka melempar petugas dengan olie bekas yang dimasukkan ke dalam plastik. Mereka meludahi petugas dari atas.

Bahkan, di stasiun Pasar Minggu dan Kalibata pernah dirusak. Kaca-kaca stasiun yang tidak ikut berkonflik turut dipecah. Kini PT KAI membuat model persuasi yang lain. Membuat film akan bahaya penumpang di atas atap! Persoalannya, akankah jurus ini efektif? Belum ada yang menjamin, tetapi kalau melihat historis yang sudah kenyang dengan aneka model itu, rasanya cara ini hanya akan dijadikan bahan tawaan atapers. PT KAI juga menggelar marawis di stasiun dan menyediakan penceramah.

Tujuannya supaya mereka sadar bahwa duduk di atap gerbong sama dengan menceburkan diri ke jurang kebinasahan. Apa itu juga efektif? Sebenarnya, alasan mereka menjadi atapers itu apa? Tiket kemahalan, sehingga tidak sanggup membeli? Atau kapasitas gerbong yang tidak cukup? Kelebihan penumpang? Bagi komunitas KRL, jawabannya jelas.

Gerbong kereta itu terlalu sempit untuk jumlah penumpang yang begitu banyak! Kalau sudah begitu, serepot apapun, sesusah apapun, mereka tidak peduli, yang penting sampai ke tempat tujuan. Idealnya, jumlah gerbong ditambah? Jumlah KRL juga dibuat lebih banyak? Lalu double track agar lebih cepat dan aman? Ancaman ada di infrastruktur persimpangan jalan kereta dengan jalur mobil-motor biasa. Terlalu panjang, dan terlalu banyak KRL, akan semakin lama palang kereta menghambat lalulintas.

Dampaknya jalur mobil-motor makin padat. Kecuali jalur kereta itu bisa dibuat menerobos bawah tanah (underpass) atau melintas di atas jalan (flyover)? Ah, tetapi itu semua bukan solusi jangka pendek. Itu butuh biaya besar, perlu budget, dan waktu lama, sementara problem overload itu sudah terjadi sekarang? Tidak mungkin penyelesaian jangka pendek dengan resep obat-obatan jangka panjang? Nanti bisa salah obat! Yang paling murah dan memungkinkan adalah, mengatur jam operasionalnya! Kalau selama ini mulai jam 05.00 sampai pukul 22.00 WIB, mungkin harus diatur waktunya, dari pukul 04.00 sampai 00.00 WIB? Pada jam-jam tidak sibuk, skedul kereta-nya dikurangi.

Sebab, peak season penumpang itu terjadi pada jam 06.00 sampai 08.00 WIB? Itulah fokus sosialisasi yang harus disampaikan ke pengguna jasa KRL. Setelah itu, penumpang di atap betul-betul dilarang! Kompensasinya, mereka dipersuasi untuk berangkat lebih pagi, dan pulang lebih malam. Karena KRL beroperasi lebih pagi dan lebih malam. Stasiun juga diberi tempat duduk yang layak agar mereka sabar menunggu. Daripada harus bersitegang dengan atapers yang berlapis nyali itu?(*)

(*) Penulis adalah Pemimpin Redaksi INDOPOS dan Wadir Jawa Pos.


BACA ARTIKEL LAINNYA... Membendung Langit

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler