jpnn.com, JAKARTA - Bripka Iwan Sarjana, anggota Densus 88, sempat mengalami penyanderaan dan penyiksaan oleh para tahanan dan napi teroris di Rutan Salemba Cabang Mako Brimob.
Berikut kronologis dan fakta-fakta kesadisan para napi teroris, sebagaimana dituturkan Bripka Iwan Sarjana saat diwawancarai secara eksklusif wartawan Jawa Pos Ilham Dwi Ridlo Wancoko.
BACA JUGA: IPW: Polisi Sudah Tak Berdaya Melawan Teroris?
Pertama, awal mula kejadian penyanderaan, saat Bripka Iwan sedang di ruang pemeriksaan. Mendengar ada ribut-ribut di luar ruangan, Iawan menguga hal yang biasa saja. Sebab, memang Rutan Mako Brimob ini berbeda dengan rutan atau penjara lainnya.
Kedua, dia mengungkap bedanya Rutan Salemba Cabang Mako Brimob dengan rutan lainnya. Bila di rutan atau penjara biasa, tahanan dan napi itu segan terhadap polisi. Tapi, kalau di Rutan Mako Brimob ini, tahanan dan napinya kasus terorisme. Mereka marah, tidak suka, melawan kalau dengan polisi. Makanya, setiap ada anggota lewat sel, mereka teriak-teriak. Biasanya mereka meneriakkan kata thogut (orang yang melebihi batas, red), klaim sepihak kelompok teror.
BACA JUGA: DPR: Napiter Harus Diisolasi dan Penjagaannya Diperketat
“Nah, teriakan-teriakan semacam itu biasa didengar setiap hari. Saya mengiranya yang biasanya ini. Tapi, ternyata berbeda dari biasanya. Saat saya keluar ruang pemeriksaan di lantai atas dan turun melalui tangga, ternyata banyak tahanan dan napi yang mengepung.”
Ketiga, para tahanan dan napi teroris mencoba melukai dan melumpuhkan Iwan Sarjana dengan berbagai barang yang keras. Batu, meja, kursi, dan sebagainya. Belasan hingga puluhan orang.
BACA JUGA: Ayo Perangi Terorisme Sejak Dalam Pikiran!
“Tapi saya berusaha menyelamatkan diri. Saya masuk ke dalam ruangan penyidik atau ruang staf. Di sana sudah ada beberapa rekan saya, seperti almarhum Pak Yudi Rospuji, Almarhum Fandy Setyo Nugroho, dan dua rekan lainnya seingat saya,” ungkapnya.
Keempat, Iwan Sarjana bersama rekan-rekannya berupaya untuk menghalau tahanan dan napi masuk ke ruang penyidik. Gagang pintu saat itu sudah jebol. Iwan dkk berupaya untuk menahan mereka masuk dengan menggeser kursi dan meja besi di depan pintu. Kondisi sudah crowded atau penuh sesak. Napi mengepung dari segala penjuru. Jendela kaca juga dipecah dengan kursi besi. “Tapi, kami semua satu tim masih terus bertahan selama mungkin.”
Kelima, Iwan Sarjana dan rekan-rekannya membawa senjata tapi belum memiliki niat untuk menembakkannya karena merasa mampu untuk bisa menghalaunya dengan berbagai barang dan dengan tangan. Mereka saat itu hanya membawa barang keras, kursi, batu dan sebagainya.
“Saya sendiri merasa harus menjaga hak asasi manusia (HAM). Setiap peluru yang saya muntahkan itu dipertanggungjawabkan. Kalau salah bisa dihukum. Saya dan rekan-rekan tidak ingin melanggar HAM,” ujar Iwan.
Keenam, Iwan dkk menyembunyikan senjata dari tahanan dan narapidana. Tentunya, agar tidak direbut. Namun, ternyata kondisi semakin parah, Iwan dan rekan-rekan diseret banyak orang, tahanan dan napi. “Saya sudah tidak bergerak melawan. Saya diseret sekitar ratusan meter dari ruang penyidikan ke Rutan Blok A,” ujarnya.
BACA JUGA: Suara Bripka Iwan Bergetar saat Cerita tentang Sikap Syukron
Ketujuh, lebih dari sepuluh orang menyeret Iwan. Saat diseret itu Iwan baru melihat mereka membawa pisau, entah dari mana. Gembok dan rantai.
Tidak hanya dipukul, ditendang, Iwan dipukul pakai rantai. Bahkan, setelah sampai di sel Blok A, mata ditutup kain dan tangan diikat. Iwan disuruh menghadap tembok. “Selanjutnya, byur, air mendidih disiramkan ke punggung. Saya berteriak, tapi tetap mencoba bertahan. Sakit bukan kepalang, tapi saya yakin ini akan berlalu,” cerita Iwan. (idr/ang)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dor! Empat Terduga Teroris Mati Dipelor
Redaktur : Tim Redaksi