jpnn.com, JAKARTA - Pasca-kerusuhan di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Selasa lalu, seluruh narapidana terorisme (napiter) langsung dipindah ke Nusakambangan.
Namun, pemindahan itu menurut angota Pantitia Khusus atau Pansus RUU Terorisme DPR RI, Darizal Basir, percuma apabila tidak dibarengi dengan perubahan penanganan prosedur secara menyeluruh.
BACA JUGA: Suara Bripka Iwan Bergetar saat Cerita tentang Sikap Syukron
“Dengan penanganan yang diperketat, pemindahan napiter ke Nusakambangan efektif untuk jangka pendek, tetapi tidak dalam jangka panjang,” ungkap politisi senayan itu.
Darizal, yang juga merupakan anggota Komisi I DPR RI bidang intelijen mengatakan bahwa kerusuhan yang terjadi di Mako Brimob adalah momen penting bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi dalam menangani para napiter di dalam penjara.
BACA JUGA: Teroris Mirip PKI! Bripka Iwan Diseret, Disiram Air Mendidih
“Pemerintah perlu melakukan evaluasi menyeluruh dari segala aspek seperti tempat dan lingkungan penahanannya, sistem pelayanan dan pembinaan, sistem pangamanan dan lain-lain, agar diatur dalam standar operasional yang tepat guna,” kata Darizal.
Politisi Demokrat asal Sumbar ini kemudian membandingkan perlakuan napiter di negara lain, seperti Malaysia.
BACA JUGA: Detik-detik Menegangkan Dua Kali Serangan Susulan Teroris
“Di Malaysia mereka tidak dikumpulkan jadi satu, baik dengan sesama napiter maupun napi lainnya, tetapi diisolir”.
Di Malaysia, dalam kasus terorisme, satu sel untuk satu napi. Mereka tidak memiliki akses untuk bersosialisasi dengan napi lainnya.
Dalam sehari, mereka hanya bisa menikmati udara di luar sel secara terbatas dan singkat. Tidak dapat berkomunikasi dengan napi sekitarnya dan diawasi secara ketat. Waktu kunjungan juga dibatasi dengan kontrol ketat.
Karena hanya hidup sendiri, mereka tidak mungkin bisa menyebarkan atau menularkan ideologi mereka kepada napi lainnya. Dengan sistem seperti itu, para napi secara mental akan jatuh dan saat keluar akan berpikir ulang jika kembali terlibat dalam tindakan terorisme.
“Ini berbeda dengan perlakuan napiter di Indonesia. Mereka berbaur menjadi satu dengan pengawasan yang tidak ketat. Akibatnya, mereka bisa berkomunikasi dan membangun jaringan yang lebih luas,” kata Darizal.
Alih-alih sadar, lanjut Darizal, napi terorisme di Indonesia justru semakin radikal di dalam penjara. Saat di penjara, mereka bisa pura-pura insyaf dan berbuat baik. Tetapi ketika keluar, mereka telah siap untuk gerakan yang lebih besar.
Yang lebih berbahaya lagi adalah mereka bisa menularkan idelogi ke napi-napi lain, merekrut dan membaiatnya menjadi anggota.
“Masuk karena mencopet, keluar malah jadi teroris,” terang Darizal.
“Petugas yang berinteraksi dengan mereka di tahanan juga harus sering dirotasi. Karena interaksi yang sering bisa mempengaruhi aparat untuk bersimpati dan akhirnya mendukung ideologi mereka. Sudah banyak kasus dimana aparat penegak hukum terpengaruh dan ikut dalam organisasi mereka”, kata Darizal.
Aparat yang terpengaruh ini sangat bahaya karena mereka bisa membocorkan rahasia, memberikan informasi penting dan membantu pergerakan napiter dalam penjara saat ada kasus pembangkangan atau pemberontakan. Mereka juga bisa memberikan pelatihan atau teknik dasar-dasar kemiliteran dan pengetahuan penting lainnya.
“Jadi, bukan satu blok untuk para napiter, tetapi satu sel untuk satu napi dengan pengawasan ketat dan ruang gerak yang lebih sempit”, papar Darizal.
Saat disinggung soal tingginya anggaran untuk membangun sel tersebut, Darizal mengatakan “Memang mahal, tapi nyawa manusia dan keutuhan bangsa jauh lebih mahal”, tegasnya.(jpg/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Beda Kelompok Aman Abdurrahman dan MIT, Ternyata!
Redaktur & Reporter : Budi