Menurutnya, adanya audit dapat memperbaiki dan merapikan sistem perizinan yang ada saat ini. “Kalau dirapikan, akan ketahuan izin batubara yang masih berlaku dan yang kadaluarsa,” katanya.
Selama ini, kata dia, ketika perusahaan batubara akan melakukan eksplorasi disebuah kawasan pertambangan, tidak diketahui sebelumnya apakah lokasi tersebut merupakan kawasan hutan atau bukan. “Diperlukan adanya koordinasi, sinkronisasi, dan koreksi terhadap peta tata ruang,” ujarnya.
Menurutnya, audit dilakukan agar semua pihak dapat bertanggungjawab. “Ini dilakukan agar ada kejelasan lokasi sumber daya alam, apakah berada di wilayah yang dapat ditambang atau tidak,”jelasnya.
Sementara itu, Direktur Somasi Fikri Riza mendukung dilakukannya audit izin tambang itu. Menurutnya, audit harus dilakukan terhadap seluruh perizinan yang ada sesuai peraturan pada berbagai tingkatan yang berhubungan dengan pertambangan batubara.
“Perlu dilakukan beberapa langkah, seperti menginventarisasi seluruh peraturan yang terkait dengan perizinan di sektor pertambangan serta harmonisasi dan sinkronisasi seluruh peraturan terkait,”katanya.
Kemudian, kata dia, pemerintah juga harus meninjau ulang karena banyak sekali dampak yang terjadi kepada masyarakat, mulai masalah limbah, jalan, dan sebagainya.“Harus dan mesti ditinjau ulang. Jangan asal beri izin. Sebab dampaknya langsung dirasakan warga,”katanya.
Fikri menjelaskan dalam memberikan izin terhadap perusahaan batu bara harus melalui mekanisme. Ia menmgatakan, pemerintah juga harus memikirkan dampak serius yang diakibatkan beroperasinya pertambangan batu bara.
“Harus menggunakan perhitungan yang matang. Jangan asal keluar izin karena ini akan berdampak bagi masyarakat dan pemerintah,”ujarnya.
Sebelumnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI merilis kerugian negara dari sektor tambang pada tahun 2011 hingga pertengahan 2012 mencapai Rp 488 miliar. Dari jumlah tersebut, khusus Jambi kerugian negara dari sektor tambang mencapai Rp 73, 2 miliar, atau 15 % dari angka kerugian nasional.
Anggota BPK RI Bidang Lingkungan dan Sumber Daya Alam Mineral Ali Masykur Musa mengatakan, kerugian negara itu ditemukan dari kasus kurang bayar pajak dan royalti, dari lima perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKPPB) dan 60 Kuasa Pertambangan (KP) yang diuji petik. Menurutnya, jika uji petik diperbesar, maka nilai kerugian negara pasti jauh lebih besar lagi.
Ali menegaskan, kerugian negara itu tidak hanya dari sektor penerimaan pajak dan bukan pajak. Tapi, negara juga dirugikan karena banyak praktek usaha tambang yang menyalahi prosedur.
Menurut dia, dari 386 izin usaha pertambangan yang diterbitkan di Jambi, sebanyak 223 titik berada di kawasan hutan, baik hutan lindung, hutan produksi maupun hutan produksi terbatas. Dari jumlah itu, kata dia, hanya 141 usaha tambang yang sesuai standar prosedur (clean and clear). Sisanya (245 IUP) ditemukan bermasalah alias bodong. BPK juga menemukan hanya 21 perusahaan dari ratusan IUP itu yang mengantongi izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) dari menteri kehutanan (Menhut).
Informasi yang diperoleh Jambi Independent, setidaknya ada sekitar 27 perusahaan -tambang dan perkebunan– yang beroperasi di wilayah Jambi terindikasi bermasalah soal perizinan. Ke-27 perusahaan bermasalah itu tersebar di semua kabupaten/kota di wilayah Provinsi Jambi. Salah satu perusahaan tambang yang bermasalah itu adalah PT Aneka Tambang (Antam) di Kabupaten Merangin. Selain melakukan kegiatan di kawasan taman nasional, PT Antam diduga tak punya izin pinjam pakai kawasan hutan. Izin untuk PT Antam hanya dikeluarkan oleh Bupati Merangin, bukan dari Menhut.
Kemudian, sedikitnya ada 291 ijin tambang yang dikeluarkan oleh para kepala daerah di jambi. Rinciannya, ada satu ijin yang dikeluarkan pemda provinsi, 41 ijin di muarojambi dan 51 ijin di batanghari. Kemudian 69 ijin tambang dikelarukan Pemda sarolangun, 12 ijin di Merangin, 43 ijin di Bungo dan 57 ijin di Tebo serta 14 ijin di tanjabbarat.
Dari jumlah itu pula, seluas 349.905 hektar tambang batubara berada di 223 titik kawasan hutan, baik hutan lindung, hutan produksi maupun hutan produksi terbatas. Bahkan, dari total itu, ada 10 perusahaan tambang yang memiliki ijin eksplorasi tapi sudah beroperasi di kawasan hutan, tanpa mengantongi ijin pinjam pakai hutan.
Kesepuluh perusahaan itu adalah PT Aneka Tambang, PT Rajawali Terbang, PT Jaronoel Bara Sukses, PT Andalas Maju Multi, PT Randu Hijau Lestari, PT Sahabat Baru Century, PT Mineral Merangin Sejati, PT Sarko Minning, PT Eksa Nusa dan PT Sitasa Energi.
Khusus di sarolangun, baru 23 perusahaan pertambangan batu bara yang telah mengantongi IUP Operasi produksi. Dari jumlah tersebut, baru lima yang di acc tahun 2011 dan delapan sudah melakukan penambangan. Delapan perusahaan itu yaitu PT Jambi Prima Coal, PT Sarolangun Prima Coal, PT Citra Tobindo Sukses Perkasa, PT Surya Global Makmur, PT Sarolangun Bara Prima, PT Minemex Indonesia, PT Dinar Kalimantan Coal, dan PT Sungai Belati Caol.
Kemudian, dari sector perkebunan, ada 13 perusahaan yang sudah memperoleh izin HTI dari Menhut seluas 507 Ribu hektar. Perusahaan-perusahaan tersebut antaralain PT. WKS, PT Rimba Hutani mas, PT Tebo Multi Agro, PT Jebus maju, PT Wanakasita Nusantara, PT Wanamukti Wisesa, PT Wana Perintis, PT wana Teladan, PT Dyera Hutani Lestari, PT Limbah Kayu Utama, PT Samhutani, PT Arangan Hutan lestari dan PT Gamasia Hutan Lestari. Mayoritas perusahaan tersebut mengantongi ijin 40-53 tahun. Lalu, PT Rimba Hutani mas dan PT Jebus Maju.(mui)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Elpiji Tabung Masih Langka
Redaktur : Tim Redaksi