jpnn.com, JENEWA - Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) Jenewa mengkritik pernyataan Dewan HAM PBB terkait Veronica Koman dan konflik Papua. Pernyataan yang disusun lima pelapor khusus HAM PBB tersebut dinilai tidak akurat juga tidak berimbang.
Laporan itu tidak menyebutkan upaya pemerintah Indonesia menjamin hak konstitusional warga Papua dan Papua Barat. Serta belum menjelaskan proses hukum yang tengah dihadapi aktivis HAM.
BACA JUGA: Menkumham Tetap Proses Pencabutan Paspor Veronica Koman
"Berkaitan dengan penyebaran informasi hoaks dan kebencian oleh Veronica Koman, jelas tindakan tersebut tidak sesuai dengan pengakuannya sebagai pembela HAM namun lebih kepada sebagai tindakan individu yang dengan sengaja menyebarkan berita bohong ?????yang menimbulkan provokasi yang menyebabkan situasi kerusuhan," tulis PTRI Jenewa dalam keterangan tertulis yang dilansir Antara, Rabu (18/9).
Dewan HAM PBB pada Senin (16/9) mengeluarkan pernyataan yang meminta Pemerintah Indonesia mencabut tuntutan terhadap Veronica Koman agar dia dapat melanjutkan pelaporan mengenai penegakan HAM secara independen di Papua dan Papua Barat.
BACA JUGA: Pencabutan Paspor Veronica Koman Ancam Pembela HAM
Menurut PTRI Jenewa, Pemerintah Indonesia berkomitmen melindungi seluruh warga negara tanpa kecuali. Pasalnya, Indonesia menganut prinsip kesetaraan hukum dan asas praduga tak bersalah.
"Hak dan kewajiban Veronica Koman di mata hukum setara dengan WNI lain. Veronica Koman dijadikan tersangka karena telah dua kali mangkir terhadap pemanggilan penegak hukum," terang PTRI Jenewa.
BACA JUGA: Veronica Koman jadi Tersangka, Aktivis HAM Merasa Terancam
Tak hanya soal Veronica Koman, PTRI Jenewa juga mengklarifikasi sejumlah poin dalam pernyataan sikap yang dibuat oleh lima pelapor khusus PBB, yaitu Clement Nyaletsossi Voule, David Kaye, Dubravka Šimonovi?, Meskerem Geset Techane, dan Michel Forst.
Salah satu poin yang diklarifikasi terkait pembatasan akses internet pada 21 Agustus di Papua dan Papua Barat. PTRI Jenewa menjelaskan pelaksanaan demokrasi di Indonesia memungkinkan pemangku kebijakan membatasi data internet untuk sementara ke warga, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan Ombudsman.
"Seiring dengan kondisi yang semakin kondusif di Papua, kebijakan ini (pembatasan internet, red) dicabut sejak tanggal 4 September 2019," tambah PTRI Jenewa.
Pembatasan internet itu, menurut PTRI Jenewa, dilakukan sebaga upaya mencegah penyebaran pesan kebencian dan berita bohong yang diyakini dapat memicu aksi kekerasan dan kericuhan di Papua. (ant/dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : Adil