Pencabutan paspor aktivis Papua, Veronica Koman, oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (Kemenkumham) dianggap sebagai ancaman bagi para pembela hak asasi manusia (HAM). Sementara itu, polisi Indonesia akan menerbitkan DPO atau daftar pencarian orang jika Veronica tak penuhi panggilan kedua.
Sejak tahun 2018, Veronica Koman disebut-sebut aktif mendampingi mahasiswa Papua di Surabaya ketika berhadapan dengan hukum, baik saat mereka menyampaikan pendapat di muka umum hingga berurusan dengan kepolisian saat perayaan ulang tahun Organisasi Papua Merdeka (OPM) 1 Desember.
BACA JUGA: Kisah Pilu Korban Penculikan ISIS Yang Diperkosa Dan Dijual 20 Kali
"Jadi mereka (mahasiswa Papua) katakan dari 2018, VK (Veronica) adalah salah satu kuasa hukum mereka dan sampai saat inipun masih berstatus kuasa hukum mereka," kata Tigor Hutapea dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta.
Ia beranggapan posisi Veronica sebagai kuasa hukum mahasiswa Papua seharusnya dilindungi.
BACA JUGA: Empat Mahasiswa Indonesia di Australia Pernah Bunuh Diri, Apa yang Bisa Dicegah?
Lebih lanjut, Tigor -yang juga kuasa hukum mahasiswa Papua -mengatakan penetapan Veronica sebagai tersangka kasus provokasi dinilai serupa dengan upaya ancaman bagi para pembela HAM.
"Apalagi dia dicabut paspornya atau ada upaya dia dideportasi, kami melihat itu tindakan yang terlalu jauh," sebutnya.
BACA JUGA: Tidur Siang 1-2 Kali Seminggu Kurangi Kemungkinan Serangan Jantung
Pencabutan paspor Veronica oleh Kemenkumham dilakukan sebagai tindak lanjut dari permintaan Kepolisian Daerah Jawa Timur (Polda Jatim) atas kasus provokasi terkait unjuk rasa Papua.
Pembela HAM, kata Tigor merujuk ke Veronica, punya hak untuk menyampaikan informasi terkait permasalahan HAM dan untuk memberi pendampingan.
"Apabila hak-haknya dibatasi sampai dijadikan tersangka, kami nilai itu pelanggaran HAM," tegasnya kepada ABC.
LBH Jakarta menganggap Veronica sebagai pembela HAM karena ia aktif di LBH Jakarta sejak tahun 2012.
Veronica juga dinilai aktif memberikan bantuan hukum baik kepada buruh permpuan, maupun pengungsi dari luar negeri.
"Dan saya tahu dia aktif suarakan HAM di Papua sejak 2016," ujar Tigor.
"Kami sebagai solidaritas pembela HAM, ada banyak teman yang ikut merasa khawatir kasus yang menimpa VK (Veronica) bisa jadi menimpa diri kami juga." Photo: Asrama mahasiswa Papua di Surabaya yang menjadi lokasi tindakan rasisme dan baru-baru ini dilempari kantong berisi ular. (Antara)
Sementara itu, menanggapi pencabutan paspor Veronica, Komisi Nasional HAM Indonesia (Komnas HAM) mengatakan pihaknya akan mengecek status Veronica terlebih dahulu, apakah ia benar-benar berstatus sebagai pengacara mahasiswa dan aktivis di Papua atau bukan.
"Kalau dia dalam tweet-nya yang dipersoalkan polisi dia lakukan atas kapasitasnya sebagai pengacara teman-teman Papua, maka dia tidak boleh dijadikan tersangka," kata Beka Ulung Hapsoro, komisioner Komnas HAM.
Ia memaparkan lembaganya akan berusaha meminta Polda Jatim untuk mempertimbangkan kembali penetapan status tersangka terhadap Veronica.
"Karena seorang yang bertindak sebagai Human Rights Defender (pembela HAM) itu harus dibedakan, karena dia sedang memperjuangkan hak-hak teman-teman di Papua. Harusnya memang dilindungi," sebut Beka saat berbicara kepada ABC dari Jenewa (10/9/2019).
Jika polisi terus memproses kasus yang menjerat aktivis perempuan tersebut, Komnas HAM, kata Beka, akan mempersilahkan masyarakat dan kuasa hukum Veronica untuk mengajukan pra-peradilan atas penetapan statusnya sebagai tersangka. Bisa jadi DPO
Polda Jatim mengatakan bahwa pihaknya telah melakukan pemanggilan terhadap Veronica di kedua alamatnya di Jakarta Barat dan Jakarta Selatan.
"Namun yang bersangkutan tidak memenuhi panggilan."
"Kami akan melakukan panggilan kepada VK (Veronica) untuk kedua kalinya," kata Kapolda Jatim Irjen Pol Luki Hermawan dalam konferensi pers di Surabaya (10/9/2019).
Polda Jatim juga mengklaim telah berkoordinasi dengan perwakilan Indonesia di luar negeri untuk berkomunikasi dengan Veronica serta menyampaikan surat panggilan yang dimaksud.
"Apabila tersangka VK (Veronica) tidak memenuhi panggilan yang kedua langkah kami selanjutnya yaitu menerbitkan DPO," tegas Luki.
"Kami tidak berharap menerbitkan Red Notice karena akan merugikan atau berdampak yg kurang baik bagi yang bersangkutan, lebih dari 130 negara telah bekerja sama dengan Kepolisian kita," jelasnya di depan awak media.
Dikutip dari situs media lokal, Direktur Jendral Imigrasi Ronny Franky Sompie menyebut Veronica Koman diduga berada di Australia. Pihaknya akan segera berkoordinasi dengan Kedutaan Besar RI di Australia untuk memastikan keberadaan advokat hak asasi manusia tersebut.
Terkait peluang Veronica untuk mendapat perlindungan dari Australia, pengamat hubungan internasional dari Universitas Airlangga Surabaya, Baiq Wardhani, mengatakan Pemerintah Australia dinilainya akan berhati-hati untuk mencampuri persoalan Papua.
"Jangan sampai mengorbankan hubungan Australia - Indonesia yang sekarang sudah sangat baik."
"Jadi meraka akan lebih hati-hati tidak seperti tahun 2006-2007 ketika ada 7 orang Papua yang menjadi asylum seeker (pencari suaka) di Australia meminta suaka."
"Saya kira kali ini kasusnya akan berbeda," ujar Baiq.
Perempuan yang pernah meneliti soal OPM ini mengatakan karena Veronica bukan orang Papua -melainkan pembela HAM, Pemerintah Australia dinilainya tidak akan mengambil tindakan yang bersifat melindungi Veronica. Photo: Salah satu kantong berisi ular seberat 15 kg yang ditemukan di asrama mahasiswa Papua di Surabaya. (Supplied)
Polisi merasa dihalang-halangi terkait penemuan ular
Selain memproses Veronica, pada saat yang bersamaan Polda Jatim juga berjanji untuk menindak tegas segala perbuatan melawan hukum terkait insiden Papua, termasuk mengusut pelemparan ular ke asrama mahasiswa Papua di Jl. Kalasan, Surabaya.
Namun dalam menyelidiki kasus pelemparan ular ini, polisi mengaku menemui kendala.
"Petugas Polri tidak diijinkan atau tidak bisa masuk ke asrama pada saat akan melakukan olah TKP (tempat kejadian perkara) dan tidak ada yang melapor ke petugas kepolisian," kata Kapolda Jatim Luki Hermawan dalam konferensi pers yang sama (10/9/2019).
Polisi juga mengklaim mengalami kesulitan dalam meminta keterangan saksi dari mahasiswa Papua untuk tersangka yang telah mereka tahan.
"Kami berharap saudara kita dari Papua mentaati hukum yang berlaku di negara kita," ujar Irjen Luki.
Sekelompok mahasiswa Papua di Surabaya mengatakan dua kantong berisi ular dilempar ke asrama mereka pada hari Senin (9/9/2019).
Mereka mengaku terbangun di tengah malam oleh suara motor yang lewat depan asrama mereka dan melempar kantong berisi ular.
"Kami merasa terintimidasi, terteror dan takut karena tiga ular yang berbahaya masih belum ditemukan hingga sekarang," tutur Yohanes Giyai, mahasiswa Papua yang baru tinggal 3 minggu di asrama itu kepada ABC.
Simak informasi terkait komunitas Indonesia di Australia lainnya hanya di ABC Indonesia dan bergabunglah dengan komunitas kami di Facebook.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Gajah Mengamuk Ketika Ikut Festival Agama di Sri Lanka, 18 Terluka