Indonesia menjadi negara Asia pertama yang dikunjungi Menteri Luar Negeri Tiongkok, Qin Gang, yang baru dilantik Desember 2022 lalu.

Dalam kunjungannya, Qin bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta.

BACA JUGA: Mengapa Orang Suka Jastip dan Apakah Itu Merugikan Negara?

Dalam pertemuan itu, Presiden Jokowi menyampaikan beberapa poin kerja sama yang perlu ditingkatkan, termasuk penyelesaian proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.

Selain itu, ada pula pembangunan 'green industrial park' di Kalimantan, pembangunan Ibu Kota Nusantara, hingga industri hilirisasi yang sedang dikembangkan oleh pemerintah Indonesia.

BACA JUGA: Pakar China Beberkan Arti Penting Indonesia Bagi Megaproyek Xi Jinping

Sejumlah pengamat mengatakan pertemuan Qin dengan Presiden Jokowi menarik diamati, karena meski menjabat sebagai menteri luar negeri, tapi kedudukan Qin di Partai Komunis tidaklah terlalu tinggi.

"Kalau di Tiongkok, pejabat tinggi itu dilihat seberapa tinggi jabatannya di partai [Komunis].  Menteri luar negeri itu bahkan tidak masuk dalam sentral komite partai…. sementara di Indonesia, menteri luar negeri adalah pembantu presiden langsung," ujar Klaus H. Raditio, pengajar politik Republik Rakyat Tiongkok di Pasca Sarjana STF Driyakarya di Jakarta.

BACA JUGA: Jokowi Sudah Kirimkan Calon Gubernur BI ke DPR, Namanya?

Menurutnya hubungan dekat Indonesia dengan Tiongkok hanya karena negara tersebut adalah salah satu dari tiga negara penanam modal terbesar dan mitra strategis bagi Indonesia.

"Dari pihak Indonesia mungkin kurang memahami posisi menteri luar negeri yang relatif tidak terlalu signifikan dalam partai, yang tidak perlu diterima oleh seorang presiden," ujar Klaus.

Tapi Klaus mengatakan kedekatan Tiongkok dengan negara-negara lain, termasuk dengan Indonesia, sebenarnya tidak perlu dipermasalahkan, karena negara-negara di dunia tidak bisa memajukan ekonominya tanpa investasi dan kerja sama dengan negara lainnya, termasuk dengan Tiongkok.

"Otomatis kita butuh Tiongkok, apalagi negara Tiongkok yang punya banyak inisiatif-insiatif, sumber ekonomi yang bisa dimanfaatkan."

"Sejak jaman reformasi, tidak ada pemerintahan di Indonesia yang tidak menarik investasi Tiongkok, tidak ada pemerintahan Indonesia yang tidak menggelar karpet merah untuk investasi Tiongkok.

Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi mengatakan Qin sudah menyampaikan komitmen Tiongkok untuk terus memperkuat hubungan ekonomi dengan Indonesia.

"Sejauh ini RRT [Tiongkok] merupakan mitra dagang terbesar Indonesia dan status perdagangan kita makin lama makin seimbang," demikian keterangan pers dari Menlu RI Retno Marsudi."Menlu RRT [Tiongkok] menyampaikan komitmennya untuk terus meningkatkan hubungan atau kerja sama ekonomi dengan Indonesia, termasuk untuk memperbesar impor dari Indonesia terutama untuk produk-produk pertanian," tambah Retno.

Sebelum bertolak ke Indonesia, Wang Wenbin, juru bicara Kemenlu Tiongkok mengatakan Indonesia dan Tiongkok memiliki hubungan yang "luar biasa."

"Dalam beberapa tahun terakhir, di bawah bimbingan strategis kedua presiden, hubungan Tiongkok-Indonesia telah menunjukkan ketahanan dan vitalitas yang luar biasa," ujarnya, seperti yang dimuat kantor berita Antara.Tanggung jawab Indonesia di Laut Tiongkok Selatan

Qin menyampaikan dukungan penuh Tiongkok kepada Indonesia sebagai pemimpin ASEAN saat ini dan berharap bisa mendorong pembangunan di kawasan ASEAN ,bekerja sama dengan kawasan Asia Timur.

Ia mengatakan negaranya akan terus mendukung sentralitas ASEAN, termasuk dalam menyelesaikan masalah Myanmar dengan "cara ASEAN".

Kedua menteri luar negeri juga mengadakan pertemuan keempat Joint Commission for Bilateral Cooperation, yang salah satunya membahas Laut Tiongkok Selatan.

Retno mengatakan negosiasi 'Code of Conduct' di kawasan tersebut harus segera dilanjutkan, setelah sempat tertunda akibat pandemi COVID-19.

"Indonesia ingin melihat Laut Tiongkok Selatan sebagai laut yang damai dan stabil. Menghargai hukum internasional, khususnya UNCLOS 1982, adalah kuncinya," ujar Retno.

Klaus mengatakan sikap Retno menjadi penegasan bahwa Indonesia adalah pendukung UNCLOS 1982, atau Konvensi Hukum Laut PBB.

"Kita mendesak, baik Tiongkok dan negara-negara mana pun, untuk patuh dengan itu," kata Klaus kepada Erwin Renaldi dari ABC Indonesia.

"Kalau negara-negara itu patuh, seharusnya perilaku mereka di laut juga bisa lebih behave, jadi seharusnya insiden di laut Tiongkok selatan itu tidak perlu terjadi."

Menurut Klaus, setidaknya ada dua kekhawatiran Indonesia soal Laut Tiongkok Selatan. 

Pertama, karena Indonesia memiliki hak-hak maritim dan tidak ingin jika hak-hak tersebut tidak akan dihormati oleh negara-negara kedua.

"Kekhawatiran kedua, kita punya tanggung jawab terhadap keamanan dan keselamatan di kawasan," jelas Klaus.

"Kita sekarang adalah ASEAN Chair, Indonesia punya tanggung jawab juga menjaga kestabilan untuk menyelesaikan formulasi dari Code of Conduct di Laut Tiongkok Selatan," jelas Klaus, yang juga lulusan University of Sydney.Sikap Indonesia di tengah rivalitas kekuatan di kawasan

Awal Februari lalu Retno berkunjung ke Australia bersama Menteri Pertahanan Prabowo Subianto untuk melakukan pertemuan '2+2' dengan menteri luar negeri dan menteri pertahanan Australia.

Saat itu Retno menyampaikan rasa khawatirnya karena "peningkatan rivalitas di kawasan, yang jika tidak dikelola dengan baik dapat menjadi konflik terbuka yang sangat berdampak terhadap kawasan".

"Indonesia terus mengajak Australia agar bersama-sama dapat menjadi positive force dalam menjaga kawasan Indopasifik yang damai, stabil dan sejahtera," ujar Retno dalam keterangan yang disampaikannya.

"Saya tidak melihat ada kesan bahwa Bu Retno seolah-olah mengatakan, 'jangan khawatir dengan Tiongkok'," kata Klaus.

“Yang saya tangkap, di Indonesia justru ada rasa khawatir dengan AUKUS karena melibatkan kekuatan external major powers, melibatkan juga senjata nuklir, itu yang tidak jelas, kurang transparan dan ini menyangkut kawasan Indonesia," tambahnya.

"Saya rasa Bu Retno juga akan menyampaikan hal yang sama terhadap Tiongkok. Misalnya Tiongkok melakukan hal-hal yang kurang transparan … atau kurang produktif untuk menegakkan keamanan di kawasan."Pengaruh Tiongkok di Pasifik

Australia mengkhawatirkan kehadiran Tiongkok di Pasifik, baik dalam bentuk bantuan hingga kekhawatiran jika Tiongkok akan membuat pangkalan militer di kawasan Pasifik Selatan.

Menurut Klaus, Pasifik sudah lama menjadi 'field of interests' atau medan perang kepentingan Australia, sehingga diterimanya Tiongkok di Pasifik bisa menjadi "refleksi" bagi Australia sendiri.

"Kalau Australia sudah begitu lama [berada di Pasifik], lewat bantuan, pengaruh enggak untuk masyarakat di sana?" kata Klaus.

"Kita harus refleksi, saya tidak memberikan judgement apapun, pertanyaannya adalah apakah bantuan Australia selama ini efektif di Pasifik?"

"Termasuk [hubungan] Indonesia dan Australia ... pertanyaannya Australia ranking berapa dalam penanaman modal di Indonesia? Ranking berapa dalam trade partners kita?" ujarnya.

Jangan Lewatkan Video Terbaru:

BACA ARTIKEL LAINNYA... Jokowi Turun Gunung, Ada Harapan Baru Bagi Honorer?

Berita Terkait