Ide Jessica Chen memulai layanan jasa titip, atau jastip, barang-barang dari Australia didapatnya malah saat dia kembali ke tanah air, setelah dua tahun pernah tinggal di Melbourne.
Jessica masih ingat benar, ketika itu sedang masa pandemi dan banyak sahabat dan kerabatnya yang sakit COVID-19.
BACA JUGA: Kerukunan Warga di Kota Ini Mengubah Wajah Kehidupan Beragama di Australia
"Mereka kemudian beli vitamin di marketplace, tapi kebanyakan palsu."
"Jadi saya punya ide, ... 'bagaimana kalau kita jadi jembatan buat mereka dengan membawa produk Australia ke Indonesia?' Pasti kan lebih terjamin keasliannya," cerita Jessica saat membagikan ide itu pada temannya di Melbourne.
BACA JUGA: Badan Intelijen Australia Mengumumkan Sejumlah Profesi yang Jadi Target Mata-mata Asing
Diawali dari membelikan titipan teman dan saudara, Jessica yang bermitra dengan Stella Zhuang mengelola @jastip_indomelb di Instagram, kemudian membuka jasa titipan yang lebih luas dengan harga yang "dinaikkan sewajarnya untuk bisa menutup biaya kargo."
Setelah COVID-19 mereda, kini ia merambah ke produk-produk selain vitamin, seperti tas dan pakaian.
BACA JUGA: Foto-Foto dari Keindahan Pertunjukan Cahaya Alam Aurora Australis di Australia Barat
"Tapi kami enggak jual yang branded ya, karena kalau kita kirim yang begitu, ada tax-nya."
Ia mengatakan barang-barang jastipnya dikirim dua bulan sekali melalui kargo dengan rata-rata berat 20 kilogram.Berawal dari jastip dalam negeri
Devi Fajar mulai menekuni jastip @abestall dari tahun 2014.
Saat itu kebanyakan merk-merk pakaian dan perlengkapan anak dari luar negeri hanya tersedia di Jakarta, sehingga warga yang berada di luar Jakarta, bahkan di luar pulau Jawa, menjadi target pelanggannya.
Baru setahun terakhir Devi mulai berbelanja dan menerima layanan jastip di negara-negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura.
"Biasanya yang dititip itu 'Smiggle', karena harganya tuh bisa jauh banget dengan di Indonesia, lalu sepatu-sepatu ... karena banyak yang enggak masuk Indonesia, ... ada juga brand Malaysia, 'Poney', yang dulu sempat masuk Indonesia cuma sekarang udah enggak ada lagi."
Menurut Devi, selain harga beli, komponen lain yang menentukan harga jual barang jastipnya adalah ongkos kirim dan biaya operasional selama dia berbelanja.
"Ya [marginnya] mungkin Rp100 ribu sampai Rp300 ribu per piece."
Sama seperti Jessica, setelah Devi berbelanja, ia mengirimkan semua belanjaannya lewat kargo, bukan membawanya sendiri atau 'hand-carry' ke dalam kabin pesawat.
Dewi Permata Sari, atau akrab dipanggil Ata, adalah salah satu konsumen jastip Devi. Ia mengaku memiliki enam jastip favorit yang sudah menjadi langganannya.
Alasan Ata memilih berbelanja melalui jastip adalah karena ada barang-barang yang tidak dijual di Indonesia, atau jika pun tersedia di Indonesia harganya jauh lebih mahal.
"Biasanya jastip barang-barang dari Singapore karena diskonnya lebih menggiurkan ... atau beli bumbu masak dari Bangkok atau Malaysia, seperti misalnya bumbu Tom Yam."
Tak hanya itu, ia juga senang melakukan transaksi jastip, karena ada sentuhan personal yang bisa berinteraksi langsung dengan penjual, berbeda dengan belanja online biasa.'Daripada bagasi kosong'
Lain pula jenis jastip yang ditawarkan Dira, yang meminta nama aslinya disamarkan.
Perempuan yang tinggal di Melbourne ini telah menawarkan jastip 'hand-carry' setiap ia pulang ke Indonesia atau kembali ke Melbourne sejak sebelum pandemi COVID-19.
"Saya punya ide jastip itu karena melihat banyak peminatnya di sini, sementara bagasi saya sering kosong."
"Jadi daripada kosong, bagasi yang sudah saya bayar ke maskapai ini mungkin bisa dipakai untuk mereka yang memang perlu."
Tahun ini, Dira menarik pengganti ongkos bagasinya sebesar A$20 (sekitar Rp207 ribu) per kilogram dari barang yang dititipkan kepadanya.
Tetapi tidak semua jenis barang mau ia bawa.
"Biasanya skin care atau obat yang BPOM-nya enggak jelas, saya tolak."
"Pernah ada yang mau titip skin care yang lagi booming di Indonesia seharga Rp20 juta, saya tolak juga ... karena risikonya jauh lebih besar dari ongkos jastipnya," ujarnya.
Menurut Dira, pelanggan layanan jastipnya biasanya adalah orang-orang yang sama dan kuota yang ia jual selalu habis. Apakah jastip merugikan negara?
Maraknya pelaku dan pengguna layanan jastip telah mengukuhkan anggapan jika ini bisnis yang sama-sama menguntungkan kedua belah pihak.
Namun, Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Askolani, menilai usaha ini merugikan negara.
"Iya [usaha jastip], merugikan," kata Askolani di Gedung DPR RI, Selasa (14/02).
"Dia harusnya membayar barang, harusnya bayar bea masuk," ujarnya.
"Kalau tidak bayar bea masuk seolah-olah barangnya lebih murah. Kan tidak fair makanya itu harus kita jaga," ucapnya.
Tapi bagi para penyedia layanan jastip, seperti Jessica dan Devi, mengaku tidak merugikan negara dan telah mengikuti prosedur yang resmi.
"Saya merasa tidak merugikan negara karena jastip saya ini bayar pajak, karena saya diurus kargo ... saya ibaratnya terima bersih, karena saya bayar kargo dan kargonya yang ngurus ke bea cukai ... harusnya ada dealing tersendiri dengan bea cukainya," kata Jessica.
"Kalau enggak, bagaimana mungkin kan bisa lewat begitu saja ini barang semua?"
"Banyak yang menawarkan jasa kargo, dari Australia, Amerika, Singapura, [tarifnya] sekian per kilo .. nah itu sudah include semuanya, door-to-door, jadi kita tahu beres saja, ... dan aku declare apa isi kargo aku, enggak ada yang aku tutup-tutupi," ujar Devi yang sekali kirim kargo beratnya antara 80 sampai 100 kilogram.
Soal prosedur barang jastip bisa sampai ke tangannya langsung, Ata mempercayakan pada toko jastip dengan harapan "amanah dan menaati aturan."
Jika, mengacu ke penuturan Jessica dan Devi, jastip mereka membayar pajak, lantas jastip yang seperti apa yang dianggap "merugikan negara?"
Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea Cukai Kementerian Keuangan, Nirwala Dwi Heryanto, menjelaskan.
"Akhir-akhir ini banyak yang mengatakan bahwa jastip menimbulkan kerugian negara. Merugikan hanya jika mereka tidak membayar bea masuk dan pajak dalam rangka biaya impor," katanya Sabtu (18/02).
Praktik jastip inilah yang dianggap ilegal.
Ia kemudian menyoroti jastip bagasi barang bawaan penumpang yang masuk ke Indonesia.
"Itu memang benar barang bawaan penumpang, tetapi mereka menyamarkan itu seakan-akan barang milik penumpang. Di sinilah letak masalah tersebut ... Karena pada prinsipnya yang mendapatkan kebebasan [cukai dan pajak] US$500 per sekali jalan adalah barang personal use [milik] penumpang," ujarnya.
Menurut Nirwala ada cara yang dapat dilakukan penumpang agar barang bawaannya tidak masuk kategori barang ilegal yang terancam disita petugas, yakni dengan mengisi 'custom declaration'.
"Ada beberapa penumpang yang keberatan mengatakan kok bisa dikenai biaya bea cukai yang mahal? Nah, itu bisa [dibuktikan] dengan cara menunjukkan invoice. Nanti berdasarkan itu akan dihitung berapa bea cukainya," jelas Nirwala.Jastip bagasi 'lebih cepat, murah, dan pasti sampai'
Martina Tobing Punke sudah hampir dua belas tahun tinggal di Adelaide, ibu kota Australia Selatan.
Baru tiga tahun terakhir ia ikut menggunakan jastip jual bagasi.
Ia mengaku terbantu dengan keberadaan jastip jual bagasi, terutama saat perbatasan Australia ditutup karena pandemi.
"Ongkosnya lebih murah, cepat, dan aman karena sudah pasti sampai."
"Kalau lewat pos, kita pernah di-tax oleh Pos Indonesia ... kalau dihitung-hitung [nilai barangnya] total A$50 (sekitar Rp507 ribu), tax-nya Rp900 ribu, jauh banget ... itu pengalaman yang terburuk."
Yuniar Aristia, warga Indonesia lainnya, juga sependapat soal alasan murah dan cepat, sehingga memlih jastip jual bagasi.
Menurutnya, ongkos kirim dari Indonesia ke Australia pun masih lebih murah dibanding menggunakan Pos Indonesia.
"Tarifnya dari Indonesia ke Australia Rp400 ribu per kilo ... jadi kalau masih ada space di bagasinya, mengapa tidak?"
"Jadi jastip ini menurut saya win-win solution," tutur alumnus RMIT Melbourne yang kerap mengirim vitamin dan buku.
Tak heran, mereka pun mempertanyakan 'kerugian negara' akibat jastip bagasi ini.
"Ngerugiin di mananya? Yang dititip kan bukan narkoba atau barang yang dilarang negara, tapi sesuatu yang akan berguna dipakai oleh keluarga," kata Martina.
"Apa enggak boleh bawa oleh-oleh untuk keluarga? Mau barang bekas atau baru kan itu urusan kita," tambahnya.
"Kenapa sih harus dibatasi bagasi untuk warga negaranya? Kalau mau dipajak, boleh, tapi yang masuk akal ... dan hasil pajak itu ke mana? Sampai ke rakyat apa enggak?" Menurunkan tarif dan 'strict' pada aturan
Menurut Yuniar, jika pemerintah ingin serius mengurangi jastip ilegal, ada baiknya dimulai dengan mengevaluasi kinerja Pos Indonesia.
"Mungkin tarif pengirimannya bisa diturunkan dan tarif bea cukainya bisa dikurangi, jadi orang lebih mau menggunakan jasa Pos Indonesia."
Yuniar mengaku pernah diminta membayar bea cukai Rp600 ribu untuk vitamin seharga A$100 yang ia kirim untuk orangtuanya saat pandemi.
Komentar yang senada disampaikan oleh Devi Fajar.
"Sebenarnya kan orang itu jastip ke luar negeri karena dia cari barang yang enggak ada di Indonesia, atau meski pun ada, harganya lebih murah [dari harga Indonesia]."
"Jadi mungkin pajak di Indonesia yang terlalu mahal, sehingga banyak barang yang enggak mau masuk ke Indonesia."
Di sisi lain, ia mengatakan, era digital di mana masyarakat sudah semakin melek teknologi dan punya akses informasi, termasuk informasi harga, akan membuat orang mencari celah yang paling menguntungkan untuk mereka.
"Ini harusnya sudah diantisipasi oleh pemerintah."
Sementara Dewi Permata Sari punya harapan yang lain.
"Kalau misalnya memang [jastip] akan diatur, buatlah peraturan yang betul dan 'strict' sama aturan itu," ujarnya.
"Jangan sampai beberapa orang tetap bisa main belakang, ... ada yang bayar cukai, ada yang enggak, karena main sama pertugas cukainya. Jangan begitu sih," pungkas Ata.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Penyandera Menuntut Uang Tebusan untuk Membebaskan Profesor Australia di Papua Nugini