Di Tangan Anak, Mobil jadi Barang Mematikan

Senin, 09 September 2013 – 06:54 WIB
A.Kasandra Putranto. Foto: Ken Girsang/JPNN

jpnn.com - BUKAN semata korban tewas mencapai enam orang, kecelakaan maut si Dul di Tol Jagorawi, Minggu (8/9) dini hari juga menyembulkan berbagai persoalan.

 

BACA JUGA: Kebocoran Soal Tes CPNS Biasanya Melibatkan Kepala Daerah

Putra bungsu aktris kondang Ahmad Dhani bernama lengkap Abdul Qodir Jaelani itu baru berumur 13 tahun. Belum semestinya duduk di belakang setir, ngebut tengah malam.

 

BACA JUGA: Saya di Tengah Ratusan Penjahat Migas

Dikaitkan pula dengan urusan rumah tangga Dhani, yang sudah pisah dengan ibundanya si Dul, Maia Estianty.

A.Kasandra Putranto, Psikolog yang juga aktif di Bagian Pengembangan Profesi dan Keilmuan Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia (APSIFOR), mengulas dari sisi lain.

BACA JUGA: Soal Tes CPNS Berpotensi Bocor

Berikut penuturan lengkap  Kasandra, pendiri perusahaan psikolog klinis dan forensik 'Kasandra & Associates' itu kepada wartawan JPNN, Ken Girsang, kemarin (8/9).

Seperti apa Anda melihat kasus kecelakaan lalu lintas yang melibatkan anak di bawah umur?

Saya kira jumlahnya sangat tinggi sekali. Saya sering bilang ke anak saya bahwa  hampir 75 persen kasus kecelakaan yang terjadi melibatkan anak usia SMA ke bawah. Jadi ini memerlihatkan bahwa di tangan seorang anak, ketika belum memiliki mental yang baik, kendaraan bermotor menjadi sebuah senjata yang sangat mematikan dengan jumlah korban yang ditimbulkan juga bisa tidak sedikit.

Apa yang menyebabkan demikian?

Yang pertama kecelakaan kita sadari memang sering diakibatkan kondisi fisik. Misalnya karena mengantuk. Tapi selain itu,  dalam kasus kecelakaan yang melibatkan anak, sering terjadi karena secara psikologi anak belum memiliki kompetensi mental. Makanya kenapa untuk memeroleh Surat Izin Mengemudi (SIM) diharuskan 17 tahun ke atas. Karena dalam mengemudi, salah satu pertimbangannya kompetensi mental.

Apa pentingnya kompetensi mental?

Dalam mengemudi kompetensi mental ini jelas sangat dibutuhkan. Karena mengemudi itu kan membutuhkan analisa, mengukur potensi dan sikap reflek. Misalnya pada kecepatan tertentu, perlu perhitungan yang matang berapa jarak aman dan apa yang terjadi ketika melakukan rem mendadak saat jarak aman tidak terjaga. Nah kalau anak baru 13 tahun, untuk berhitung saja masih susah, bagaimana ia mampu menguasai itu.

Kalau kasusnya demikian, siapa yang paling bertanggung jawab?

Keluarga tentu memiliki tanggung jawab besar. Terutama peran orangtua dalam menanamkan tanggungjawab sejak dini. Di sinilah pentingnya membangun sistem security dan safety di rumah. Misalnya anak boleh nyetir, tapi harus tetap didampingi dan anak sudah dibimbing sejak usia dini.

Mungkin anda bisa mencontohkan lebih konkrit?

Putera saya saat ini usianya sudah 17 tahun. Awalnya dia tetap ngeyel kalau saya beritahu. Saya bilang, bahwa 75 persen kecelakaan itu anak SMA. Selain itu saya juga kasih contoh seperti apa disiplin berkendara di luar negeri terutama di negara-negara maju. Nah setelah saya kasih izin nyetir sendiri, saya tidak melepasnya begitu saja. Misalnya berangkat dari rumah jam berapa, nanti kira-kira sampai di sekolah saya akan hubungi. Demikian juga pulang sekolah atau hendak berangkat ke mana pun. Lama-lama dia sadar apa manfaat di balik hal tersebut. Jadi penting anak di kasih tahu atau dididik sejak dini.

Apakah sistem safety dan security ini sudah terbangun di tengah keluarga-keluarga Indonesia?

Sayangnya banyak yang belum melakukan itu. Padahal sangat penting membangun sistem untuk menanamkan tanggung jawab sejak dini.

Dalam kasus Dul, apakah perceraian Dani-Maia salah satu penyebabnya?

Saya tidak ingin membahas secara spesifik terkait kasus tersebut. Tapi yang pasti saya dapat tunjukkan banyak contoh keluarga broken home, tapi anak-anak tetap dapat menjalani hidup dengan baik. Sementara dari keluarga utuh, justru banyak anak yang menjadi korban karena tidak adanya sistem safety dan security dalam keluarga. Jadi terbangunnya sistem menjadi kunci utama, karena usia pada dasarnya tidak menggambarkan kompetensi mental.

Ada cara lain mengatasi tingginya kasus kecelakaan yang melibatkan anak?

Intinya tetap membangun mental dan tanggungjawab. Contohnya kalau anak masih ugal-ugalan, atau sering tidak menggunakan sabuk pengaman, itu menjadi pertanda kalau ia belum memiliki mental yang baik dalam berkendara. Jadi perlu terus diingatkan. Selain itu orangtua juga jangan sembarangan meletakkan kunci mobil. Apalagi mengizinkan anak berkendara sendiri padahal usianya belum mencukupi. Karena sekali lagi, kendaraan bermotor bisa menjadi alat membunuh kalau berada di tangan yang tidak tepat.

Bagaimana dengan penerapan hukum di Indonesia?

Hukum kita hanya mengenal kurungan dan denda. Nah itu pun dalam praktiknya,  masih sering terjadi tawar menawar. Sementara kalau di luar negeri, ada semacam hukum sosial. Biasanya pelanggar peraturan lalu lintas dikenakan hukuman melakukan kegiatan sosial. Di antaranya memberi pembimbingan kepada publik lewat cara menjelaskan apa yang telah ia lakukan dan apa akibat dari perbuatan tersebut.

Apakah cara tersebut cukup efektif?

Secara prinsip psikologi paling efektif. Paling tidak menciptakan rasa tanggung jawab, sehingga kita tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Tapi di Indonesia, pelaku pidana justru ada yang berubah menjadi tenar. Istilahnya orang yang bersalah malah memeroleh hadiah ketenaran. Namun begitu, ketika kasus melibatkan anak di bawah umur, walaupun untuk kasus dengan sanksi pidana yang menyebabkan kematian, prinsip restorative justice tidak bisa dilaksanakan sepenuhnya. Karena anak dilindungi undang-undang.***

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Di Mana-mana juga Ada Dolar Kayak Gitu


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler