Dibalik Runtuhnya Dominasi Tinju AS

Sabtu, 11 Agustus 2012 – 08:34 WIB
KEKUATAN Amerika Serikat di ring tinju begitu mengakar kuat. Sejak beberapa dekade lalu, nama-nama seperti George Foremann, Ray Leonard, Oscar De La Hoya atau Floyd Mayweather Jr. pernah menyumbang medali bagi negeri Paman Sam itu. Tahun ini" Tak satu pun petinju putra AS juara!

Direktur Eksekutif Tinju AS Anthony Bartkowski hanya menunduk lesu pasca pertarungan Errol Spence Jr versus Andrey Zamkovoy (Rusia) Rabu (8/8) lalu di ExCel Exhibition Centre, London. Errol yang bertarung di kelas 66 kilogram sekaligus asa terakhir AS meraih medali kalah angka 16-11 di babak delapan besar.

"Ini adalah raihan terburuk dalam sejarah tinju putra AS di Olimpiade. Langit pun seolah runtuh hari ini. Saya sungguh merasa malu kepada rakyat AS atas hasil buruk ini," kata Bartkowski.

Raihan AS tanpa medali di tinju putra sungguh menyesakkan di Olimpaide ini. Tiga dari sembilan petinju AS bahkan gugur di babak pertama. Hanya satu petinju yang melaju ke babak perempat final. Padahal sejak dipertandingkan tahun 1904 atau Olimpiade edisi ketiga hingga Olimpiade 2008, sebanyak 108 medali sudah dihasilkan AS di cabor tinju ini

Atas torehan buruk itu, Bartkowski kian khawatir dengan kondisi tinju AS di masa mendatang. Apalagi, Januari lalu, pria berdarah campuran Polandia-AS itu dipanggil Alan Ashley, Chief of Sport Performance Komite Olimpiade AS (USOC), dan Rachel Isaacs, Team Leader of Sport Performance AS.

Dalam pertemuan tersebut, kedua petinggi olah raga AS itu menyinggung soal pengurangan dana pembinaan bagi tinju AS tahun depan. Hal tersebut seiring menurunnya prestasi tinju AS. Misalnya di kejuaraan dunia tahun 2011 sekaligus Prakualifikasi Olimpiade. Dari empat petinju yang ditarget lolos ke Olimpiade, AS hanya meloloskan tiga.

"Masih lekat dalam ingatan saya. Mereka menyatakan dana untuk tinju terus menyusut kalau prestasi tinju kian jeblok. Bahkan tidak mungkin, untuk empat tahun ke depan, dana akan dipangkas habis," kenang Bartkowski soal pertemuannya dengan dua orang itu.

Pada tahun 2007 lalu, tinju AS mendapat kucuran dana 1,1 juta dolar AS (Rp 10,3 Miliar) untuk setahun. Angka tersebut menyusut lebih dari setengahnya tiga tahun kemudian lalu. Tinju AS hanya mendapat 482 ribu dolar AS (Rp 4,5 Miliar) dua tahun menjelang Olimpiade 2012.

Dana pembinaan cabor tinju itu termasuk kategori memprihatinkan dibandingkan cabor-cabor lain. Misalnya taekwondo yang mendapat 608 ribu dolar AS (Rp 5,7 Miliar) atau senam yang diganjar 1,6 juta dolar AS (Rp 15,1 Miliar) per tahunnya.

Selain masalah dana, pergantian pelatih tinju AS pada Maret lalu juga memberikan efek. Pelatih kepala Joe Zanders memilih mundur karena masalah usia. Ya, sejak tiga dekade lalu, Zanders sudah menangani para petinju amatir dan profesioanal AS. Mulai Pernell Whitaker di Olimpiade1984 hingga Deontay Wilder di Olimpiade 2008 lalu.

Pengganti Zanders pada Juni lalu adalah asistennya Basheer Abdullah. "Satu bulan masa persiapan menjelang Olimpiade jelas bukan waktu yang panjang. Padahal Olimpiade ini adalah buah pembinaan berjangka dan berkesinambungan," tutur Abdullah kepada SImobile.com.

Guna menyelamatkan tinju AS, beberapa langkah bakal dilakukan Bartkowski usai Olimpiade ini. Pertama adalah memilih pelatih untuk jangka panjang. "Kami akan mengontrak pelatih dengan durasi hingga empat tahun ke depan. Kami membutuhkan loyalitas dan totalitas," ujar Bartkowski.

Langkah kedua adalah memperbaiki hubungan federasi tinju AS, personal trainer, dengan para petinjunya. Misalnya saja dengan yang terjadi petinju kelas berat ringan AS, Marcus Browne. Browne yang sebelum bertanding di Olimpiade diunggulkan menyabet emas, ternyata flop dan kalah di babak pertama alias 32 besar.

Personal trainer Browne sebelum Olimpiade, Gary Stark Sr menyebutkan Browne adalah petinju yang memiliki pukulan kuat dan bergaya boxer. "Saya sungguh kaget saat menonton Browne bertarung. Dia hanya sesekali memukul dan menjauh dari lawan. Itu bukan gaya dia. Pelatih salah dalam memberi materi latihan," tutur Stark.

Dalam kaca mata Stark, tinju AS salah kaprah dalam mengasah petinjunya. Stark menuding kalau tinju AS memperlakukan semua petinju yang turun di Olimpiade sebagai atlet tinju profesional. Padahal, membesut petinju amatir dengan pro sangat berbeda. Ibarat bumi dan langit.

"Pemain pro dididik untuk bertarung demi uang dan kejayaannya. Jadi dalam benaknya hanya ada kemenangan tanpa taktik tepat. Di kancah amatir, Anda butuh motivasi yang lebih tebal dibandingkan sekedar uang. Para pelatih itu tak menyadarinya pentingnya komunikasi personel," ucap Stark.

Selain itu, gaya petinju AS yang sudah berdekade mendominasi sudah dibaca oleh para petinju Asia, Eropa, serta Amerika Latin. "Semua benua sudah mengembangkan gaya bertarung sendiri-sendiri. Sedang AS" Tetap bertahan dengan gaya orthodox nya," tutr Stark lagi.

Di sisi lain, sudah saatnya para alumnus petinju AS di level Olimpiade dilibatkan untuk turun membina petinju muda. Bukan sebagai pelatih, namun lebih kepada motivator. Misalnya saja Oscar De La Hoya, Sugar Leonard, dan Mark Breland.

"Siapa yang tak kenal De La Hoya" Kisahnya meraih emas di Olimpiade 1992 lalu menjadi juara dunia pada pertengahan "90-an sangatlah melegenda. Kisah itu dibutuhkan untuk menginspirasi para petinju muda," sebut Bartkowski.

Meski secara prestasi tenggelam di Olimpiade ini, Bartkowski menyiratkan harapan untuk kembali berjaya empat tahun mendatang. Dua bulan mendatang atau sekitar Oktober, tinju AS akan mengumumkan siapa pelatih yang menangani tinju AS di Olimpiade 2016 mendatang.

"Usai Olimpaide 2012 ini mungkin kami dipandang sebelah mata dan tak dianggap oleh dunia tinju internasional. Namun ingat, roda akan berputar. Empat tahun mendatang, saya berjanji tinju AS akan tampil dalam wajah yang berbeda dan meraih kejayaan kembali," sumbar Bartkowski. Kita tunggu saja empat tahun lagi, apakah tinju AS berjaya atau kian terpuruk. (dra)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Motivasi Milik Partenopei

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler