Didik Anak-anak Migran, 94 Guru Dikirim ke Malaysia

Kamis, 17 Oktober 2019 – 21:36 WIB
Mendikbud Muhadjir Effendy swafoto dengan 94 guru non PNS yang akan dikirim ke Malaysia. Foto: Mesya/JPNN.Com

jpnn.com, JAKARTA - Sebanyak 94 guru dikirim ke Malaysia untuk mengajar anak-anak Indonesia. Menurut Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Supriano, tahun ini, jumlah guru yang mendaftar sebanyak 2.932 orang. Setelah melalui seleksi administrasi dan substansi, 94 orang ditetapkan memenuhi kriteria dan akan bertugas di Malaysia selama dua tahun.

"Jadi program ini sebagai tanggung jawab pemerintah untuk memberikan pendidikan kepada seluruh anak Indonesia. Kebetulan para pekerja migran, banyak membawa keluarganya sehingga anak-anak ini harus diberikan pendidikan layak. Alhamdulillah sejak program ini dilaksanakan pada 2006 minat guru mengajar ke Malaysia terus meningkat," tutur Supriano usai mendampingi Mendikbud Muhadjir Effendy melepas 94 guru non PNS tersebut di Kantor Kemendikbud, Kamis (17/10).

BACA JUGA: Tolong Pak Menteri, Jangan Hanya Guru Honorer yang Diperhatikan

Muhadjir mengungkapkan, sesuai Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, negara berkewajiban melaksanakan penyelenggaraan pendidikan wajib belajar 9 tahun untuk setiap warga negara, baik yang tinggal di dalam wilayah NKRI maupun di luar negeri.

Namun, kenyataan di lapangan memerlihatkan, anak-anak Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Malaysia, khususnya yang bekerja di sektor perkebunan mengalami kesulitan dalam memperoleh akses pendidikan.

BACA JUGA: Miris, Gaji Guru Honorer dan GTT Lebih Rendah dari Buruh Pabrik

Industri kelapa sawit di Malaysia memiliki daya tarik bagi sebagian Tenaga Kerja Indonesia (TKI) untuk mendulang rezeki di sana. Karena alasan tertentu, tak sedikit diantaranya membawa keluarganya. Padahal Undang-Undang di Malaysia menyebutkan bahwa pekerja migran yang memiliki gaji di bawah RM 5000 tidak diperbolehkan untuk membawa keluarga.

"Faktanya para pekerja migran tetap memaksakan untuk membawa keluarganya. Seiring perjalanan waktu, banyak anak yang dilahirkan di sana statusnya menjadi illegal karena tidak memilki dokumen sah," ucapnya.

Persoalaan di atas menjadi komplek ketika anak-anak tersebut memasuki usia sekolah. Anak-anak tidak dapat mendaftar pada pendidikan formal karena tidak memilki dokumen resmi.

Dengan adanya kondisi di atas, pemerintah Indonesia dan Malaysia telah sepakat untuk menyediakan wadah belajar anak Indonesia melalui Community Learning Center (CLC) sebagai upaya memenuhi hak asasi anak Indonesia untuk mendapatkan pendidikan dasar.

Sejalan dengan itu, sejak 2006, sebagai bagian dari upaya dan kewajiban pemerintah untuk mencerdaskan warga negaranya, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan setiap tahun mengirimkan guru- guru untuk bertugas mendidik anak-anak Indonesia terutama yang ada di Sabah dan Sarawak. (esy/jpnn)


Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler