Karena itu, Reza Ali dan Januar Jauri Darwis yang merasa menjadi korban berencana akan menemui Kapolri, Jenderal Timur Pradopo, untuk meminta kasus itu ditarik ke mabes Polri. "Saya akan temui Kapolri untuk melaporkan kasus ini. Penanganan di sini tidak netral. Jauh hari sebelumnya saya tegaskan periksa saya. Sekarang sudah lebih 60 hari surat izin pemeriksaan belum turun. Silahkan periksa saya," beber Reza Ali, Senin (24/12).
Kuasa Hukum Reza Ali dan Januar Jauri Darwis, yakni, Tajuddin Rahman, menilai, kasus yang membelit kliennya telah melanggar hak asasi manusia seseorang. Penilaian itu dikarenakan dalam proses hukum hingga penetapan tersangka, kliennya tidak diberikan kesempatan membela diri.
Meski tidak ada aturan dalam KUHAP, namun, sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka, seseorang yang menjadi terlapor terlebih dulu diberikan kesempatan untuk membela diri dengan memberikan klarifikasi dihadapan penyidik. Dalam kasus ini, hal itu tidak dilakukan.
"Sama sekali tidak ada pemeriksaan, pemanggilan, sampai adanya penetapan tersangka. Kami jelas heran," sebut, Januar Jauri. Tajuddin Rahman, menambahkan, tanpa adanya hak untuk membela diri yang diberikan penyidik terhadap kliennya, merupakan pelanggaran HAM.
"Sama sekali tidak ada pemanggilan, pemeriksaan, koq tiba-tiba langsung ditetapkan sebagai tersangka. Ini sama saja melanggar HAM. Hak setiap orang untuk membela diri dengan memberikan klarifikasi," jelasnya.
Lebih jauh, Tajuddin, menerangkan, seseorang dapat dipidana jika melakukan kesalahan. Kesalahan dilakukan jika ada perbuatan. Untuk kasus ini, Reza Ali dan Januar Jauri, tidak melakukan perbuatan apa pun. Reza Ali dan Januar Jauri, berada di lokasi setelah ada keributan.
Dimana saat itu, petugas Satpol PP melakukan penertiban bangunan yang tidak memiliki izin mendirikan bangunan (IMB). "Karena mendengar ada permasalahan di sana keduanya datang ke lokasi. Posisi Januar Jauri, hanya melihat dari kejauhan. Pak Reza, memarkir kendaraannya di lokasi setelah kejadian berlangsung. Apanya yang salah. Apakah orang yang melihat dan memarkir kendaraan di jalan umum itu salah?," jelasnya.
Terkait pengrusakan di dalam lokasi, juga membuat kubu Reza Ali dan Januar Jauri, bingung. Pasalnya, kata, Tajuddin, sejak tujuh tahun lalu, bahkan tiga tahun lalu, tanah itu masih milik Reza Ali. "Koq bisa tiba-tiba (beralih kepemilikan dan) klien kami disebut melakukan pengrusakan. Tanah dan gubuk itu milik pak Reza," jelasnya.
"Kalau disebut merusak apanya yang dirusak. Sampe skarang saya tidak tau. Itu tanah saya. Soal kepemilikan tanah, memang ada upaya untuk melemahkan saya. Seluruh bukti-bukti sudah saya serahkan dua tahun lalu ke Polrestabes Makassar. Yang saya minta kepolisian harus menangkap pemalsu sertifikat yang sudah ditetapkan DPO. Koq dia yang DPO itu masih berkeliaran bahkan terlihat jalan bareng dengan oknum (polisi). Tangkap dong. Sudah lima kali lokasi itu diserang sama kepolisian. Kepolisian datang tanpa ada surat perintah," imbuhnya.
Terpisah, Adi Rasyid Ali, menambahkan, dalam kasus ini dirinya hanya sebatas menjalankan tugas dan fungsinya sebagai anggota DPRD Kota Makassar. Saat melakukan kunjungan kerja dirinya melihat pembangunan yang tidak memiliki izin mendirikan bangunan.
"Di dalam lokasi juga ada oknum kepolisian. Masa oknum kepolisian menjaga aktivitas illegal pembangunan yang tidak memiliki IMB. Saya cukup surprise dengan surat yang mempersangkakan saya," tambahnya.
Siang kemarin, ketiga politisi itu akan menyiapkan langkah-langkah untuk melakukan perlawanan terkait kasus penyerobotan lahan di Kelurahan Sinrijala, Agustus, lalu. "Kami fokus dulu untuk kasus ini. Setelah itu, akan kita bahas lagi untuk mengambil langkah selanjutnya," sebut Tajuddin Rahman.
Kasatreskrim Polrestabes Makassar, AKBP Himawan Sugeha, mengatakan, permasalahan ini sebaiknya disikapi dengan arif. Tidak perlu berpolemik namun, sebaiknya mempersiapkan diri untuk proses sidik dan penuntutan ke depan.
Bagaimana dengan penerapan pasal 50 dan 51 KUHP ? Menurut, Himawan, pasal 50 KUHP mengatur tentang, barangsiapa yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana". Namun harus terpenuhi secara yuridis formil dan yuridis materil. Artinya perbuatan tersebut dilakukan karena tugas dan kewenangannya.
Apakah sesuai dengan maksud dan tujuan perbuatan dan tidak bertentangan dengan wewenang yang dimiliki.. "Mari kita nilai sejauh mana wewenang seorang legislator hingga mampu memerintahkan pengrusakan atau pembongkaran tanpa perintah undang-undang. Pemahaman yang dangkal terkait pasal 50 KUHP, sehingga menjadikannya sebagai pembelaan.
Penggunaan pasal tersebut, sambung dia, seyogianya hanya dapat dinilai oleh hakim mengingat unsur "tidak dipidana" adalah wewenang hakim. "Jadi biarlah kasus ini berjalan dan nanti hakim yang putuskan saat sidang apakah akan dipidana atau tidak," tandasnya. Sementara untuk pasal 51 KUHP dikenal sebagai klausul perintah jabatan.
Dimana disebutkan, "Tidaklah dapat dihukum barangsiapa melakukan suatu perbuatan untuk melaksanakan suatu perintah jabatan yang diberikan oleh suatu kekuasaan yang berwenang memberikan perintah tersebut," tambahnya.
Jika ini dijadikan pembelaan, mengindikasikan dasar pemahaman yang dangkal terhadap aturan itu. "Perlu didalami apakah surat tugas reses itu membenarkan seorang legislator memerintahkan orang lain atau bahkan bertindak melakukan pengrusakan dan penyerobotan? Mari kita sikapi kondisi ini dengan arif. Tidak perlu berpolemik sebaiknya mempersiapkan diri utk proses sidik dan penuntutan kedepan," tandasnya. (abg)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pemkot Makassar Didesak Sertifikasi Aset
Redaktur : Tim Redaksi