"Jika tidak segera ditolong, kondisi keuangan PLN saat ini berpotensi terancam bangkrut. Indikasinya dapat dilihat dengan cara mengukur tingkat kesehatan perusahaan terhadap Debt Service Coverage Ratio (DSCR) atau perbandingan pendapatan bersih perusahaan dengan kewajiban membayar utang," kata Sadar Subagyo, di gedung DPR, Senayan Jakarta, Kamis (29/3).
Menurut anggota Komisi XI itu, perusahaan dikatakan sehat apabila minimal DSCR sekitar 3. Jka negatif, imbuh dia, maka perusahaan dapat dianggap colaps.
"PLN sesungguhnya berpotensi kolaps jika subsidi PLN tahun ini hanya Rp45 triliun (sesuai APBN 2012), maka PLN akan tekor hingga Rp35,72 trilliun, yang terdiri dari net income minus Rp17,25 trilliun dan kewajiban membayar hutang sebesar Rp18.47 trilliun,” ungkap Sadar.
Daruratnya kondisi PLN tersebut, lanjut dia, memaksa Pemerintah harus menambah subsidi PLN minimal Rp40 trilliun hingga DSCR PLN menjadi positif meski jauh dibawah minimum DSCR sehat sekitar 3. Karena keadaan darurat maka cara yang ditempuh juga cenderung darurat dan termudah, imbuh dia, yakni merubah asumsi makro APBN dan menaikan harga BBM bersubsidi yang sekaligus memenuhi tuntutan IMF yaitu mengurangi subsidi BBM.
“Sekarang menjadi sangat masuk akal jika pemerintah ngotot merubah asumsi makro serta menaikan harga BBM bersubsidi sebesar Rp1,500 karena perubahan asumsi makro akan menambah pemasukan sebesar Rp47 trilliun dan penaikan harga BBM bersubsidi akan menambah pemasukan Rp60 trilliun sehingga total penerimaan akan bertambah Rp107 trilliun,” kata anggota Fraksi Gerindra itu.
Penambahan penerimaan dari hasil penaikan BBM ini, kata dia akan digunakan untuk menambah subsidi listrik (menyelamatkan PLN) sebesar Rp43 trilliun, pemberian BLT Rp30,6 trilliun, tambahan subsidi BBM Rp13,8 trilliun. Sisanya sebesar Rp19,6 trilliun untuk tambahan belanja infrastruktur dan pendidikan.
Dari urutan besarnya penggunaan tambahan penerimaan negara, terlihat alokasi paling besar menolong PLN. "Pembengkakan subsidi BBM yang selama ini digembar-gemborkan sebagai biang kerok penghambat pembangunan ada pada urutan bontot," tegasnya.
Fakta ini kata Sadar, sangat mengusik rasa keadilan, karena kesalahan perhitungan PLN dibebankan ke rakyat.
“Dan mengapa pemerintah terkesan menutupi permasalahan ini? Mengapa berdalih subsidi BBM membengkak? Padahal yang sesungguhnya terjadi adalah operasi penyelamatan PLN serta pembenaran untuk pemberian BLT,” kritiknya.
Sebenarnya, banyak cara untuk menyelamatkan PLN tanpa harus membebani dan menambah kesengsaraan rakyat. Salah satunya adalah menaikan harga listrik (TDL) sebesar 10 persen yang akan menambah penerimaan sekitar Rp9 trilliun. "Penaikan harga listrik dampak negatifnya jauh lebih kecil dibanding kenaikan harga BBM dan akan merangsang tumbuhnya pembangkit-pembangkit swasta yang mengandalkan renewable energi," sarannya.
Diakuinya, angka Rp9 trilliun masih jauh dari mencukupi karena sesuai kesepakatan terakhir minimal dibutuhkan tambahan subsidi listrik sebesar Rp43 trilliun. Tapi kekurangan itu dapat ditutup dengan penerbitan obligasi konversi senilai Rp40 triliun yang dijamin oleh negara atau pemerintah dan BUMN serta Pemda yang berkemampuan wajib membelinya sebagai upaya mengurangi parkirnya dana Pemda di BI dalam bentuk SBI.
“Ini mungkin menjadi salah satu alternatif solusi yang lebih bijak dan tidak menambah sengsara rakyat,” tegas dia. (fas/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... ICW Ancam Laporkan Dugaan Korupsi Subsidi BBM
Redaktur : Tim Redaksi