Dieksekusi Cak Sakera di Hari Pemilu

Jumat, 09 Januari 2009 – 15:01 WIB
ALKISAH, seorang calon anggota legislative (caleg) dirundung resah gelisah semenjak Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa suara terbanyaklah yang menjadi king makerBukan daftar nomor urut

BACA JUGA: Betapa Dahsyatnya Ekonomi Labbaik

Ia kecut membayangkan harus bersaing dengan caleg separtaiJika dulu yang menyoblos gambar partai akan diraih caleg nomor jidat (yang teratas), kini diberikan kepada  caleg dengan suara terbanyak, walaupun terpuruk di nomor sepatu (urutan bawah)“Sepatu” bisa lebih terhormat dibanding “jidat” adalah gejala dekonstruksi politik teranyar.
Pada Pemilu 2009, setiap caleg sudah mengandaikan  akan dikepung oleh para kompetitor, baik di kiri-kanan dan depan-belakang rekan separtai dan partai pesaing
Bingung yang mana “kawan” dan mana “lawan.”  Tak heran jika banyak caleg kehilangan gairah  menyumbang dana untuk kampanye partaiYang telanjur memberi, tinggal mengurut dadaYang sempat membayar separo agar ditempatkan di daftar urut jidat, kini menunggak karena merasa masalah nomor urut tak lagi efektif merebut kursi.
Selayang pandang tampaknya posisi partai telah dibonsai oleh putusan MK ituTapi, tidak! Yang terjadi adalah kristalisasi, pemurnian partaiPartai yang selama ini hanya dikuasai untuk kepentingan elit tertentu, sehingga merugikan rakyat sebagai “pangeran” demokrasi, telah dikritisi dengan putusan MK itu.
Tak lagi rahasia, penyusunan nomor urut caleg selama ini, tak selalu ditentukan oleh kompotensi, ketokohan dan yang mengakar di tengah masyarakatBahkan, mungkin kerap terjadi karena kedekatan dan lobi dengan pengurus partai, dan terbuka kemungkinan “jual beli” daftar urut nomor “jidat” hingga “leher”, “bahu” dan “dada.”      
Begitupun, dengan putusan MK itu, partai tetap saja eksisTetap saja yang  berhak mengajukan daftar caleg maupun calon presiden/wakil presidenKecuali untuk keterpilihan caleg telah ditentukan oleh suara terbanyakPartai sebagai wadah aspirasi rakyat, haruslah menghormati kedaulatan rakyatTidak ada partai tanpa rakyat, tidak ada demokrasi tanpa partai, dan tidak ada demokrasi tanpa rakyat.
Jika rakyat lebih berkuasa dibanding partai, tak perlu gundah gulanaKondisi itu sudah berada di jalan yang benar, dan membuat partai menemukan jati dirinya yang murni sebagai pengemban amanat rakyatJika dibaratkan sebuah PT (perseroan terbatas), maka pemegang saham terbesar dalam partai adalah rakyatElit pengurus hanyalah sekedar para direksi dan komisaris yang dipilih oleh Rapat Umum Pemegang Saham, dalam hal ini rakyat melalui pengurus daerah dan cabang-cabangnya.
Mungkin, karena masih di masa transisi, keterpilihan bukan karena nomor urut terasa telah menjebol tradisi partaiPadahal, tradisi itu justru berasal dari keputusan formal organisatoris partai, sehingga diangap wajar dan demokratisAkibatnya partai menjadi feodalis dan elitisKetika diubah dengan putusan MK itu, tradisi partai itu kehilangan legitimasi dan hanya sekedar “macan kertas.”
Partai politik memang punya biografi, tradisi dan otonomi  yang berdaulatTetapi pada akhirnya mereka tak bisa mengukir sejarah seenak jidat sendiri, tanpa mempertimbangkan bahwa hakikat demokrasi adalah one man one voteSinyalemen Ben Anderson tentang kesenjangan yang prinsip antara antara Barat sebagai negeri asal demokrasi dengan kosmologi yang feodal dan tradisional di Indonesia, pada akhirnya mengalami senjakala.
Dengan begitu, prosfek Pemilu 2009, dan seterusnya, diprediksi semakin demokratisOrang akan berlomba-lomba meraih suara rakyat dengan basis dukungan, kompotensi, popularitas dan kualitas sehingga rakyat tidak lagi bagai memilih kucing dalam karungBuka kulit tampak isiTidak ada lagi caleg “buah kedondong” yang mulus di luar tetapi di dalam berserabutPutusan MK itu telah merintis jalan menuju demokrasi yang lebih tulen.

Wisdom Pemilih
Anehnya, terdengar juga suara sumbangSeakan-akan dengan putusan MK yang mengidolakan suara terbanyak itu, ada yang menduga bahwa money politics akan semakin beranak-pinakSeolah-olah siapa yang paling banyak membagi-bagikan duit kepada rakyat sudah pasti meraih suara terbanyakDugaan itu rada under estimate kepada rakyat yang seakan-akan dapat dibeli dengan uangPengalaman rakyat mengikuti sembilan kali Pemilu sejak 1955, seperti dilecehkan, termasuk Pemilu 2004 yang diusung dengan system pemilihan langsung.
Ada sebuah anekdot dari masa Pemilu Orde Baru, yakni apa pernah kondang dengan sebutan wisdom ala Cak Sakera dari MaduraKala itu, Cak Sakera dan warga sekampung mengaku sebagai pendukung Golkar karena, konon,  pemerintah telah membuat rakyat sejahteraEh, ternyata mereka memilih PPPMengapa? “Bertahun-tahun kami menjadi anggota Golkar, dan hanya dua menit menjadi anggota PPP di bilik suara,” kata Cak SakeraIa tergelak-gelak“Leh-Boleh lah, pak!” lanjutnya.
Caleg yang mengandalkan bagi-bagi uang untuk meraih suara, tak mustahil sia-sia, arang habis besi binasaJika benar politik uang akan merajalela dengan putusan MK itu, maka semua caleg akan berlomba melakukan money politicsSudah pasti rakyat akan menerimanya dengan suka cita, apalagi dampak krisis keuangan global akan semakin mencekam tahun iniAda rejeki nomplok, mengapa dilewatkan?
Tapi, siapakah yang mereka pilih di bilik suara ketika semua caleg berlomba membagi-bagi duit? Kita khawatir, para caleg itu hanya sekedar “ATM” berjalanKita pun membayangkan, duit akan berhamburan kian kemari mengingat jumlah pemilih sangat banyakJika semua caleg mendistribusikan duit, maka pameran itu menjadi sangat terbuka sehingga selain memalukan juga dengan mudah ditangkap basah oleh KPU, dan Panwaslu.
Celakanya, tak ada jaminan bahwa rakyat memilih si caleg tertentu yang memberikan duit tersebutRakyat pemilih mula-mula mungkin rada bingung sedemikian banyaknya caleg yang membagi-bagi duitTetapi, berbekal pengalaman berbagai Pemilu, rakyat pemilih akan mengembangkan wisdom yang “mengahajar” para caleg yang pamer uang ituAmbil duitnya tapi pilih yang lain.
Menganggap pemilih yang menerima duit caleg tertentu sudah pasti memilihnya adalah pelecehan kepada kecerdasan rakyatDulupun, saban kampanye rakyat selalu menerima kaos oblong, nasi bungkus, atau sekedar uang transport dari berbagai partai dengan hati yang sudiTak heran, masa kampanye merupakan panen kecil-kecilan bagi rakyatWalaupun akibatnya bisa-bisa duit para caleg ludas tandas, tapi suara pemilih beralih ke caleg lain.
Siapa yang kesengsem hendak duduk di kursi DPR dan DPRD yang terhormat itu, kemudian nekad memilih menghambur-hamburkan uang, bersiap-siaplah untuk terkaget-kaget dipermainkan “tipu-daya” politik versi Cak SakeraKultural politik rakyat itu bisa mengeksekusi politik uang sehingga mati tak berkutik**

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler