"Ansor jangan terpancing melakukan kekerasan. Karena inilah sikap yang paling baik menghadapi gempuran dari pihak lain yang dipicu pemberitaan sebuah majalah berita mingguan, soal 'Algojo 65'," kata Nusron saat membuka sarasehan kebangsaan bertema "Mengingat Kembali Pemberontakan PKI Tahun 1948-1965", diselenggarakan PP GP Ansor di kantor pusat GP Ansor, Jakarta, Senin malam (15/10).
Sarasehan menampilkan pembicara Sejarahwan Taufiq Abdullah, penulis dan pelaku sejarah Salim Said, mantan Ketua Umum PB NU KH Hasyim Muzadi, sesepuh Ansor KH Chalid Mawardi dan, Wakil Ketua PBNU Asad Said Ali.
Menurut Nusron, boleh semua pihak melakukan rekonstruksi sejarah masa lalu seperti peristiwa G 30 S PKI, tapi harus komprehensif dan tidak merugikan pihak lain. "Jangan menampilkan sejarah secara sepenggal-sepenggal dan tidak utuh karena bisa merugikan pihak lain seperti kita Ansor. Jika terus seperti itu, tentu kita akan mengambil langkah hukum," tegas anggota DPR dari Fraksi Golkar itu.
Nusron juga setuju dalam kaitan peristiwa 65 ini tidak perlu lagi meminta maaf pada pihak manapun, karena semuanya menjadi korban. "Yang perlu dilakukan adalah instropeksi guna menatap masa depan," katanya.
Berbagai peristiwa berdarah dalam sejarah politik Indonesia seperti Peristiwa Madiun1948 dan Gerakan 30 September1965 (G 30 S) dikaitkan juga dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), adalah peristiwa situasional yang penuh konflik dan dendam. Karena itu, apapun bisa terjadi dalam kondisi seperti itu, ujarnya.
"Jadi dalam melihat peristiwa masa lalu itu, kita harus arif karena konteknya kekerasan bahkan pembunuhan. Usulan meminta maaf tidak relefan dan hanya bernuansa politis, yang berpotensi membuka dendam lama kembali," imbuh Nusron.
Salim Said saat peristiwa berlangsung meliput dari awal peristiwa Gestapu dan mengikuti operasi militer yang dilakukan TNI AD menegaskan, permintaan maaf dalam kaitan pembunuhan yang terjadi tahun 1965, tidak menyelesaikan masalah, karena yang menjadi korban bukan hanya orang-orang PKI, tetapi juga ulama, kader Ansor dan warga Marhaenis.
"Berhentilah meminta maaf. Dan mulailah membantu semua korban yang masih ada sambil menunjukan empati yang tinggi, demi kearifan masa lalu," tegas Salim Said.
Salim menjelaskan, kondisi politik Indonesia pertengahan tahun 65, penuh intrik, konflik dan dendam, diperparah karena lambannya Presiden Soekarno menyelesaikan situasi, yaitu tuntutan membubarkan PKI. Hal ini mendorong terjadinya banyaknya pembunuhan.
"Jadi siapapun yang menang dalam situasi konflik itu, pembunuhan tidak bisa dihindarkan. Termasuk diinternal PKI yang berbeda ideologi diantara mereka," ungkap Salim.
Pendapat sama dikemukakan Taufiq Abdullah. Tidak ada urgensi yang penting dari meminta maaf dari peristiwa masa lalu. Karena yang terjadi adalah situasi di luar jangkauan kita saat ini.
Pemaksaan atas permintaan maaf hanya akan menimbulkan dendam baru. "Sampai kapan bangsa Indonesia terus didera oleh dendam masa silam," tanya Taufiq Abdullah.
Menurut Taufiq, kita harus melihat sejarah 65 dengan arif dan mengambil hikmahnya, bukan dengan memaksakan pihak lain untuk meminta maaf. Ia juga sependpat dengan Salim Said bahwa dalam suasana konflik seperti itu, apapun bisa terjadi.
Soal tidak perlunya meminta maaf juga dikemukakan Chalid Mawardi. Menurut dia, umat Islam terutama ulama dan santri banyak menjadi korban kebiadapan PKI. Dia menyindir pemberitaan sebuah majalah mingguan yang mengungkap kembali peristiwa 65 dari sisi yang menurut umat Islam menyudutkan. (fas/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... KPK Belum Perlu Garap Mallarangeng Bersaudara
Redaktur : Tim Redaksi