Skenario terburuk dari perang dagang global adalah menguatnya nilai tukar dolar Australia sampai 6 persen, sementara pertumbuhan ekonomi turun menjadi 2,5 persen.
Kondisi ini kemudian akan menyebabkan tingkat pengangguran meningkat 0,25 persen dan inflasi turun 0,2 persen.
BACA JUGA: Tingkat Kejahatan Paling Rendah di Victoria Dalam Tiga Tahun Terakhir
Demikian terungkap dalam laporan internal Reserve Bank of Australia (RBA) yang disusun bulan Maret lalu. Laporan ini diperoleh media Blommberg setelah dimintai di bawah UU Kebebasan Informasi.
Penelitian RBA dilakukan sebelum pemerintahan Trump memutuskan untuk mengecualikan Australia dari ketentuan tarif atas baja dan aluminium.
BACA JUGA: Mantan Gubernur Jenderal Australia yang Atheis Akhirnya Berpaling ke Agama
Dalam skenario tersebut, Amerika Serikat mengenakan tarif 20 persen untuk impor dari semua negara, serta setiap negara (kecuali Australia) membalas dalam bentuk pengenaan bea atas impor dari AS.
Untuk mengimbangi efek ini dalam jangka panjang, RBA mengatakan pihaknya bisa memotong suku bunga resmi sebesar 0,5 poin ke "rekor terendah" 1 persen.
BACA JUGA: Komisi Anti Korupsi Malaysia Kembali Tangkap Najib Razak
Ekspor terdorong jika dolar AUS turunDolar Australia jatuh di bawah 60 sen AS satu dekade lalu setelah bank investasi terbesar keempat AS Lehmann Brothers ambruk.
RBA mengakui dalam keadaan normal, perekonomian global yang memburuk akan menyebabkan banyaknya tindakan "penghindaran risiko", harga komoditas lebih rendah dan penurunan mata uang lokal.
Jika hal itu terjadi, RBA menilai bahwa mata uang yang lebih lemah bisa menguntungkan "karena akan mendukung ekspor" ke mitra dagang Australia.
Bank sentral ini menganggap Australia mungkin tidak serentan dibandingkan dengan negara lain.
"Di sisi lain, Australia mungkin kurang terdampak skenario itu dibanding negara lain yang lebih mengandalkan arus perdagangan global sebagai sumber permintaan untuk produk mereka serta memiliki sektor manufaktur lebih besar," kata RBA dalam laporannya.Perang dagang buruk bagi Australia
Awal pekan ini, perang dagang AS dan China mengalami eskalasi dengan pemberlakukan tarif lebih banyak atas produk masing-masing negara.
Washington menetapkan tambahan tarif 10 persen atas impor dari China senilai 200 miliar dolar AS.
Sebagai balasan, Beijing mengumumkan tarif 5-10 persen senilai 60 miliar dolar AS untuk impor dari Amerika.
"Perang dagang AS-China kemungkinan mempengaruhi perekonomian AS, Cina dan Australia," kata RBA.
Sentimen itu disampaikan kembali dalam pertemuan RBA bulan September. Saat itu bank sentral ini memperingatkan adanya "ketegangan signifikan seputar kebijakan perdagangan global yang merupakan risiko terhadap prospek perekonomian".
Australia berada dalam posisi yang sulit karena ekonominya paling bergantung pada China. Namun di sisi lain, AS adalah sekutu utama dalam bidang pertahanan.
China menyerap 29 persen ekspor Australia, khususnya komoditas logan, sehingga tercatat sebagai mitra dagang terbesar Australia.
Sebaliknya, menurut RBA, AS menyumbang menyerap 6,8 persen ekspor Australia.
"Kejutan negatif terhadap ekspor China akan membebani permintaan komoditas, namun setiap stimulus kompensasi domestik dapat memberikan penyeimbangan," kata RBA.
Tapi sisi negatifnya adalah memperburuk struktural jangka panjang dan berkontribusi terhadap risiko keuangan.
Simak beritanya dalam Bahasa Inggris di sini.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Berdandan Ala Duo Williams Bersaudara, Pemain Footy Tasmania Dikecam