Dikecewakan Dunia Aktivis, Suciwati Membuka Usaha

Sebagian Keuntungan untuk Korban Pelanggaran HAM

Sabtu, 02 Juli 2011 – 14:43 WIB
Suciwati di toko suvenirnya. Foto: Malang Post/JPNN.
Suciwati sengaja kembali ke Malang dan membuka usaha untuk menjaga jarak dengan banyak rekan aktivis yang dia nilai telah menggadaikan idealismeDia tak mau "menjual" Munir di tokonya.

TIGA deret rak berukuran besar mengisi toko di Jalan Panglima Sudirman Kavling 4 No

BACA JUGA: Menelusuri Jalan Tol Termahal di Dunia yang Ada di Jepang

16, Karangploso, Malang, itu
Dua berdiri tepat di kiri-kanan tembok ruangan, satu lainnya di tengah keduanya.

Rak-rak tersebut penuh cemilan khas Malang, seperti kerupuk, keripik tempe, dan buah-buahan

BACA JUGA: Prefektur Miyagi, Tiga Bulan setelah Dihantam Tsunami (2-Habis)

Di rak bagian depan, tepat di dekat pintu masuk, dipajang suvenir kerajinan tangan berbahan kayu
Lemari kaca di sampingnya berisi suvenir berbahan kain batik.

"Yang ini buatan ibu-ibu warga sekitar sini (Karangploso)," terang Suciwati, sang pemilik toko, saat ditemui Jawa Pos awal pekan ini.

Ya, itulah kesibukan terbaru Suciwati, janda almarhum Munir Said Thalib, tokoh pembela hak asasi manusia yang tewas diracun dalam penerbangan dengan maskapai Garuda Indonesia menuju Amsterdam, Belanda, pada 7 September 2004

BACA JUGA: Sabah, Negara Bagian Terjauh dari Kuala Lumpur yang Pariwisatanya terus Menggeliat

Toko seluas 110 meter persegi itu telah dibuka selama sekitar satu bulan.

Toko tersebut memang dikonsep sebagai toko oleh-oleh dan suvenirKarena itu, selain berbagai penganan dan batik khas Malang tadi, ada pula kaus yang lazim dijadikan buah tangan"Kaus-kaus itu titipan Usman (Usman Hamid, ketua Kontras, organisasi yang dulu dipimpin Munir, Red)," tambahnya.

Keinginan membuka toko itu tidak datang dengan tiba-tibaSuci "sapaan akrab wanita kelahiran Batu" itu sudah memendamnya sejak menikah dengan Munir pada 1996Sebab, alumnus IKIP Malang tersebut sadar benar dengan posisinya sebagai istri seorang aktivis.

Sebisa-bisanya, dia harus berkomitmen mendukung idealisme MunirCaranya, dengan membagi tugas"Saya bergerak di bidang profit dan almarhum tetap konsisten di jalur idealismenyaBerapa sih penghasilan seorang aktivis," ujarnya.

Semula, dia berniat membuka toko pernak-pernik sepak bolaSebab, Malang punya klub sepak bola Arema Malang yang didukung penuh warga Malang RayaJadi, potensi bisnisnya besar.

"Tempatnya sudah ada (kala itu)Tapi, karena hamil (anak pertama), rencana itu gagal," kenang Suci.

Sebab, setiap kali hamil, Suci harus merasakan sejumlah gangguan fisik yang sangat membatasi aktivitasnyaDi antaranya mual-mual parah hingga usia kehamilan empat  bulan.

Begitu si anak pertama yang diberi nama Soultan Alif Allende lahir, konsentrasi Suci justru kian pecahSebab, Alif yang kini telah berusia 12 tahun itu didiagnosis menderita autis saat baru menginjak umur 1 tahun.

"Untuk itu, saya pun memanfaatkan masa emas Alif, 1?5 tahun, untuk memberikan terapi autis," kenangnya.

Perhatian penuh Suci tidak sia-siaKini kondisi Alif meningkat secara signifikanKakak Diva Suukyi Larasati, 8, itu bahkan membuat Suci bangga karena mampu mengambil beberapa keputusan penting untuk masa depannya sendiri"Termasuk memilih untuk mondok (belajar di pondok pesantren)," tambah SuciKini ibu dua anak tersebut hanya bertemu Alif "yang mondok di sebuah pesantren di Malang" seminggu sekali, yaitu saat akhir pekan.

Nah, ketika kondisi Alif semakin membaik, tepatnya pada 2003, Munir meminta Suci ke Jakarta untuk menemani hari-harinyaSetahun kemudian rencana membuka usaha kembali muncul.

"Waktu itu, rencana saya mau kembali ke Malang dan mulai usaha setelah almarhum balik dari Belanda (meneruskan pendidikan S2)," tuturnya.

Namun, Tuhan berkehendak lainPada 7 September 2004, Munir meninggalDalam perjalanannya ke Negeri Kincir Angin itulah, aktivis HAM yang lantang mengkritik tentara itu dibunuh dengan racun arsenikSuci pun langsung menanggalkan rencana memulai usaha tadiDia memilih kembali ke jalan untuk menguak misteri kematian sang suami tercinta.

Perjuangan itu penuh onak dan kerikilBerbilang kali dia mengalami teror, tapi tidak sedikit pun Suci mundurBahkan, ketika sejumlah orang yang diduga terlibat pembunuhan berencana terhadap Munir itu sudah mulai disidang, Suci yang sebelum menikah sudah aktif bergerak sebagai aktivis buruh itu tidak mengendurkan perjuanganSebab, dia merasa keadilan atas sang suami belum sepenuhnya ditegakkan.

Sampai akhirnya Suci memutuskan kembali ke Malang pada 2009Bukan karena jenuh atau karena merasa perjuangannya telah mencapai hasil yang memuaskan"Saya kecewa dengan dunia aktivis," keluhnya"Dan, untuk menjaga hati saya, saya harus menjaga jarak (dengan para aktivis)," tandas peraih Human Right First bersama almarhum Munir pada 2006 itu.

Kekecewaan itu semakin membuncah ketika banyak rekan aktivis yang selama ini sejalan-beriringan memilih menjual idealismeMereka merapat ke lingkaran kekuasaan dan berbalik menyerang dirinya"Banyak sahabat, khususnya angkatan 98, yang menganggap, dengan masuk ke dalam kekuasaan akan bisa banyak membantu perjuangan kamiTapi, mana buktinya" sergahnya dengan nada tinggi.

Secara khusus, dia menyebut contoh seorang mantan aktivis yang kini menjadi anggota parlemen dari sebuah partai besarSuci merasa dikhianati betul ketika si aktivis yang kini selalu tampil klimis itu dalam suatu kesempatan menuding dirinya telah terbius kekuasaan.

"Dia bilang dia bisa ngomong seperti itu karena bersahabat erat dengan MunirLha, saya ini lho istrinya Munir yang delapan tahun bersama almarhumSayalah yang tahu almarhum luar dalamSakit sekali saya pas dibilang seperti itu," kenang Suci dengan nada tinggi.

Didorong akumulasi kekecewaan  itu, Suci pun bertekad menapaktilasi lagi keinginan lamanya untuk membuka usaha, tanpa harus meninggalkan jalur advokasi"Konsistensi itu penting karena para pelanggar HAM masih eksis dan berkeliaran di luar sanaDan, kita tidak ingin kejadian yang menimpa saya dan keluarga korban lainnya terulang," tegas perempuan yang hingga kini masih menjabat sebagai Tim Kampanye Kasus Munir di Komite Solidaritas untuk Munir tersebut.

Karena itu, Suci masih sering bolak-balik Malang-Jakarta jika diminta untuk melakukan advokasi terhadap sejumlah korban pelanggaran HAMBahkan, sebagian keuntungan dari usahanya saat ini pun akan dikontribusikan kepada keluarga korban"Saya pikir untuk menjaga idealisme dan militansi mereka, kemampuan ekonomi juga perlu diperkuat," terang Suci yang juga menjadi ketua presidium Jaringan Solidaritas Keluarga Korban itu.

Dalam rangka menjaga idealisme itu pula, Suciwati tidak menjual satu pernik pun bermotif MunirPadahal, di Jakarta pernah beredar kaus atau pin bergambar Munir di kalangan tertentu"Enggak adaSaya berpikir, dengan menjual itu, berarti menjual dia (Munir)," tambahnya.

Suciwati menyebut, modal untuk membuka usaha yang tentu tidak sedikit itu berasal dari tabungan pribadi"Saya kan punya tabungan, saya juga pernah bekerja," ungkap  Suci yang pernah bekerja di bagian keuangan sebuah perusahaan swasta dan pernah pula berpengalaman sebagai guru itu(*/ttg/ito/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Belajar dari Twitter, Pesan Nasi Goreng dan Ucapkan Apa Kabar


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler