Dilarang Bisa Mudik Tetapi di Kota Hidup Merana, Tak Dapat Bantuan Pula

Sabtu, 09 Mei 2020 – 04:00 WIB
Ilustrasi Pedagang Kaki Lima Tahu Tek. Foto: dok. Ngopibareng

jpnn.com, SURABAYA - Para pedagang kecil yang tak memiliki KTP Kota Surabaya mengeluhkan PSBB yang diterapkan saat ini.

Pasalnya, PSBB menyebabkan omzet jualan turun drastis sementara tak ada bantuan warga perantau yang berasal dari luar Surabaya.

BACA JUGA: Pemkot Surabaya Evaluasi Hari Ketujuh Pelaksanaan PSBB, Hasilnya?

Sedangkan, mereka juga tak bisa mudik ke kampung halaman. Ini dikeluhkan pedagang tahu tek asli Lamongan, Ahmad Nasrul.

Dia menuturkan, setiap harinya diperbolekan berjualan di jalan raya depan perkampungan Karangan Wiyung.

BACA JUGA: Pasien Covid-19 Bertambah, Pemprov Jatim Kritik Pemkot Surabaya Lagi

Semenjak PSBB Surabaya diterapkan, pedagang keliling pun tidak boleh memasuki wilayah tersebut.

Nasrul diperbolehkan berjualan antara pukul 18.00 hingga 21.00. Melebihi jam itu Satpol PP siap membubarkan dengan pengeras suara.

BACA JUGA: 5 Berita Terpopuler: Jemaah Ijtimak Ulama Gowa Mana Suaranya? Jenazah ABK WNI di Kapal Tiongkok

Hingga saat ini tercatat Nasrul sudah diobrak selama tiga kali.

“Ini saya bingung setiap harinya ngga boleh masuk kampung. Berjualan pun juga harus sampai pukul 21.00. Kalau nggak gitu diobrak. Saya sendiri sudah tiga kali ini diobrak sama polisi," katanya dihubungi lewat Whatsapp.

Meski porsi jualannya sudah dikurangi, tetapi masih banyak tahu tek tersisa.

Makanan tersebut terpaksa dibuang atau diberikan kepada orang lain. Hal ini disebabkan lontong dan tahu tidak bisa dijual di kemudian hari.

Selama ini Nasrul bisa bertahan dari uang yang dihutangnya dari paman di desa. Dirinya tidak tahu bisa bertahan hingga kapan di tengah kondisi yang seperti ini. Ia sering terpaksa libur lantaran jualan tahu teknya tidak membawa hasil. Sehari hanya laku tiga hingga empat bungkus.

“Ini saya nggak tahu lagi kalau kondisinya masih seperti ini. Banyak ruginya, yang beli sehari bisa tiga sampai Empat. Kalau di dalam perkampungan laku banyak” tambahnya.

Nasrul merupakan orang rantau dari Lamongan sehingga tidak memungkinkan untuk mendapat bantuan finansial dari pemerintah.

Meski sempat ada bantuan sembako dari RT setempat, tetapi persediaan tersebut sudah habis. Sementara, pilihan untuk kembali ke kampung juga tidak memungkinkan.

“Ini saya bingung apakah dapat bantuan dana atau nggak, saya berharap dapat. Saya rantau bukan asli Surabaya, ini bertahannya gimana. Di sini jualan nggak untung, tapi nggak bisa mudik” keluhnya.

Senada dengan Ahmad Nasrul, Teguh Suryanto, pedagang tempe penyet asal Kota Babat juga mengungkapkan hal yang sama.

Teguh berharap pembelakukan PSBB dilakukan secara penuh. Yaitu penghentian kegiatan dan aktivitas apapun secara penuh. Sehingga semua terdampak secara merata.

Teguh menjelaskan lebih lanjut, PSBB yang sekarang menghancurkan perekonomian orang kecil sepertinya.

 “Harusnya PSBB dilakukan secara penuh, semua dihentikan dari aktivitas apapun. Kalau seperti ini yang terdampak hanya masyarakat kecil. Jualan cuma tiga jam itu nggak bisa dapat banyak” kata Teguh.

Teguh juga berharap akan adanya bantuan secara finansial agar dirinya bisa bertahan lebih lama di Surabaya.

Selama ini dia bertahan dari sisa jualan sebelum adanya PSBB. Sedangkan, kembali ke Lamongan pun tidak bisa.

“Semoga akan ada bantuan dana, saya bingung bertahannya gimana. Saya orang rantau, yang dapat bantuan hanya pribumi. Selama ini belum ada bantuan dari manapun,” tutupnya. (ngopibareng/jpnn)


Redaktur & Reporter : Natalia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler