Dilema Dinasti

Sabtu, 23 Februari 2013 – 17:11 WIB
ADA hal menarik dari kedua negara yang memiliki hubungan bilateral hampir dua milenia yaitu Indonesia dan India. Garis keturunan dari dua pemimpin besarnya di era kemerdekaan, Soekarno dan Jawaharlal Nehru hingga saat ini terus memainkan peran sentral dalam urusan publik dan tata pemerintahan di masing-masing negaranya.

Mari kita lihat dari Indonesia. Negara yang berpenduduk lebih dari dua ratus juta jiwa ini sedang mempersiapkan diri untuk pemilihan presiden tahun depan – tentu tanpa ada lagi pencalonan Jenderal yang santun dan tak banyak bicara dari Pacitan itu, semua perhatian kembali tertuju kepada Ibu Megawati Soekarnoputri, putri dari Sang Deklarator. Setelah tetap tegas bertahan menjadi oposisi selama dua tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, Ibu Megawati beserta pengikutnya di PDIP akan menuai keberuntungan yang substansial di Pemilu 2014 mendatang.

Jika kita melihat sepak terjang PDIP, ia tidak seperti pihak kebanyakan yang antusias bergabung dengan partai pemenang dan menikmati gelimang kekuasaan. PDIP justru berada jauh di luar lingkaran pengaruh itu. Sepanjang perjalanannya, PDIP selamat dari godaan korupsi. Ia menghindari perangkap yang dialami oleh PKS, Golkar dan terutama Partai Demokrat.

Satu hal lagi pujian untuk Ibu megawati adalah upayanya untuk membangun basis yang cemerlang dengan menghadirkan pemimpin-pemimpin muda yang atraktif dan berkomitmen – mulai dari Ganjar Pranowo, Joko Widodo, dan Budiman Sujatmiko hingga Rieke Diah Pitaloka, Eva Kusuma Sundari dan Maruarar Sirait.  Nama-nama yang berjejer tersebut akan terus kita jumpai lagi dan lagi di dekade berikutnya. Semakin menjadi sebuah bukti bahwa dinamika dan energi perubahan dari PDIP tidak melulu berasal dari trah Soekarno.

Dari semua prediksi, tidak perlu diragukan lagi bahwa 2014 menjadi tahun yang menjanjikan bagi PDIP. Namun, hal itu belum tentu terjadi pada Ibu Megawati sendiri. Walaupun ia tetap menjadi pemimpin yang populer dan tak perlu diragukan lagi dalam memenangkan suara, terutama di Jawa Tengah, Bali dan bahkan Jakarta, masih terdapat keraguan besar jika ada kebijakan yang mengangkat ia menjadi kandidat presiden untuk keempat kalinya.

Jadi sebenarnya apa yang bisa Ibu Megawati lakukan? Disinilah saatnya ia belajar dari dinasti Nehru-Ghandi yang mampu bertahan dari tragedi dan kemunduran yang berulang. Pasca terbunuhnya Indira Gandhi pada tahun 1984 dan kemudian menimpa pada anaknya pada tahun 1991, Rajiv Gandhi, seorang mantan pilot maskapai penerbangan, maka legasi keluarga yang tersisa berada dalam genggaman Sonia Gandhi, janda Rajiv Gandhi kelahiran Italia yang masih belum berpengalaman menyentuh dunia politik.

Di saat seperti inilah dinasti tersebut kelihatan seolah-olah telah jatuh. Tidak hanya terbatas dari sebuah bungalow yang diwariskan oleh pendahulunya di New Delhi, Sonia bangkit dan mulai menata ulang dunia politik yang dahulu diwariskan oleh mertuanya. Anda bisa memuaskan rasa penasaran dan kelanjutan cerita ini dengan membaca karya sejarah kontemporer India yang luar biasa ditulis oleh Patrick French – “India: a Portrait”.

Dalam pembuatan buku tersebut, French menghabiskan beberapa dekade untuk melakukan riset di berbagai benua. Tak ayal, karyanya mampu membawa gairah dan intuisi dari dalam dan luar pada masa demokrasi terbesar kedua di dunia ini terjadi. French menggolongkan cerita dalam tiga bagian: Rashtra – Bangsa, Lakshmi – Kekayaan dan Samaj – Masyarakat.

French berhasil membuat buku ini sangat memikat dan layak diapresiasi. Namun yang terpenting adalah, bagaimana melihat titik kuncinya yaitu upaya Sonia Gandhi yang membangun kembali dan mempertahankan legasi Nehru-Gandhi dengan mundur dari kekuasaan resmi namun tetap memegang pengaruh utama.

Pada tahun 2004, Partai Kongres kembali mengambil alih kekuasaan, setelah berjuang mengalahkan Bharatiya Janata Party (BJP) yang sedang dilanda keterkejutan dan ketakutan. Namun Sonia berhadapan dengan dilema. Lawan politiknya mengancam kewarganegaraan asingnya itu dan dijadikan alat penggembos di kantong-kantong suara terbesarnya.

Mengutip dari buku French: “Ketika Sonia Ghandi menuju kursi parlemen, dia berkata kepada anggota perwakilan rakyat bahwa setelah mendengarkan ‘suara hati’ (meminjam frase dari Mahatma) dia telah memutuskan untuk menolak mundur. “Kekuasaan itu sendiri tidak pernah menarik perhatian saya, dan bukan pula tujuan saya mencari posisi,” ujarnya.

Pada dasarnya, Sonia telah mengejutkan musuh-musuhnya (baik di dalam maupun di luar Partai Kongres). Di saat ia menolak jabatan perdana menteri, ia masih mempertahankan pengaruh kuatnya.

Nah, mampukah Ibu Megawati menarik sebuah trik permainan yang sama? ini masih diperdebatkan. Sistem presidensial di Indonesia sangat berbeda dengan sistem republik federal di India dimana perdana menteri yang memimpin. Meskipun demikian, kebijaksanaan dan visi Sonia memungkinkan ia untuk melatih Rahul anak laki-lakinya sebagai penerusnya. Sedangkan Rahul juga mengijinkan ibunya untuk menjauh dari kancah perpolitikan.

Jadi singkat kata, meskipun setiap dinasti memiliki perbedaan, India dan sejarah trah Nehru/Gandhi nya memberi pelajaran yang penting untuk Ibu Megawati [*].

BACA ARTIKEL LAINNYA... Penang dan Konservasi

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler