Dina Hidayana: Political Gastronomy Harus jadi Landasan Program Makan Siang Gratis

Senin, 29 April 2024 – 07:13 WIB
Pengamat Pertahanan dan Pangan Dina Hidayana menilai program makan siang gratis yang digagas Prabowo-Gibran merupakan upaya merealisasikan moto kehadiran negara. Foto: source for jpnn

jpnn.com - JAKARTA - Pengamat Pertahanan dan Pangan Dina Hidayana menilai program makan siang gratis yang digagas Prabowo-Gibran merupakan upaya merealisasikan moto kehadiran negara mencetak generasi kokoh.

Mengutip sebuah ungkapan Adagium Mensana in corpore sano, yang berarti dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat, Dina menyebut ketersediaan, keterjangkauan, dan kualitas gizi pangan warga negara adalah keharusan.

BACA JUGA: Berkunjung ke Tiongkok, Prabowo Pelajari Budaya Makan Siang Gratis di Sekolah

"Membangun tubuh atau raga yang sehat merupakan pondasi utama untuk menghasilkan masyarakat yang produktif, cerdas, berjiwa kuat, dan memiliki usia harapan hidup yang lebih panjang," ujar Dina Hidayana dikutip di Jakarta, Senin (29/4).

Dina mengingatkan Indonesia masih dalam kategori kelaparan moderat, sebagaimana Global Hunger Index (GHI) 2022 yang merilis data negara-negara dengan tingkat kelaparan tertinggi.

BACA JUGA: Media Asing Kritik Perwakilan Bank Dunia Gegara Komentari Program Makan Siang Gratis Prabowo

GHI menyebutkan bahwa Indonesia berada di rangking 77 dari 121 negara yang diteliti, bahkan lebih buruk dari Negara Laos.

"Indonesia belum masuk pada fase kelaparan rendah. Artinya, kemiskinan, stunting, tingkat gizi, penyakit, kecerdasan, produktivitas dll masih menjadi polemik yang menggurita," kata Dina.

Menurut Dina, keinginan memberikan stimulus gizi berupa makan siang gratis bagi pelajar Indonesia, merupakan program strategis yang perlu dilengkapi dengan perbaikan tata kelola terintegrasi hulu ke hilir.

"Bukan saja sebagai upaya serius pembenahan sektor pertanian dalam makna luas untuk memastikan bahan baku makan siang dapat bertumpu pada kemampuan pertanian lokal, sekaligus membudayakan kembali selera pangan lokal (Political Gastronomy) dalam variasi menunya.

Sebab, kata Dina, beberapa penelitian terbaru yang mengkaji tentang preferensi generasi kekinian terhadap makanan menunjukkan signifikansi pergeseran dari selera tradisional ke modern, misalnya makanan impor lebih diminati dibandingkan jenis lokal.

Oleh karena itu, Dina memprediksi bagaimana jika kaum muda lebih menyenangi panganan asing dengan meminggirkan makanan khas tradisional Indonesia, maka kearifan lokal, terkhusus dalam hal pangan, dipastikan cepat atau lambat budaya pangan kita semakin hilang dari Bumi Pertiwi.

"Lebih jauh, kedaulatan dan jati diri kita sebagai bangsa Indonesia akan sekadar menjadi catatan sejarah. Akulturasi maupun internalisasi produk ataupun budaya asing jangan sampai menghilangkan keIndonesiaan kita," tegas Dina.

Dina pun menyarankan pemanfaatan Political Gastronomy dengan mensosialisasikan kembali panganan lokal yang ramah di lidah dan menarik selera anak muda masa kini.

"Political Gastronomy bisa dijadikan landasan dalam penerapan program makan siang gratis. Generasi kekinian, terkhusus pelajar Indonesia, akan dipertontonkan secara konkret kehadiran negara dalam mengurus hak fundamental warganya. Program pemerintah apapun harus sejalan dengan optimalisasi kekuatan sumber daya nasional yang dimiliki, dengan meminimalisir importasi," pungkas Dina.(mcr10/jpnn)


Redaktur & Reporter : Elvi Robiatul

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler