Posyandu Garda Terdepan Upaya Pencegahan Stunting

Selasa, 14 Januari 2020 – 11:33 WIB
Gerakan Posyandu. Ilustrasi Foto: Istimewa for JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Langkah pemerintah memberikan perhatian khusus terhadap gerakan Posyandu sebagai ujung tombak menurunkan angka stunting di Tanah Air dinilai sebagai langkah yang tepat.

Hal ini karena salah satu pekerjaan rumah (PR) besar dalam 100 hari pemerintahan Presiden Jokowi dan Wapres KH Ma’ruf Amin adalah mengatasi masalah stunting yang masih ditemukan di berbagai wilayah tanah air.

BACA JUGA: Gerakan Posyandu Sukses di Zaman Pak Harto, Perlu Digencarkan Lagi

Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto, yang diberi tugas khusus mengatasi stunting, sudah melakukan observasi di lapangan dan ternyata solusinya cukup mudah. Yaitu dengan menggiatkan kembali program Posyandu, sebagai garda terdepan untuk melakukan deteksi dini gejala stunting.

Peneliti kesehatan masyarakat dari Universitas Indonesia (UI) Dinda Srikandi Radjiman menilai Posyandu terbukti dapat berfungsi secara komprehensif sebagai pendeteksi awal, penanganan, pencegahan, serta konsultansi yang dilakukan oleh kader Posyandu.

BACA JUGA: Satgas Pamtas Yonif 411 Kostrad Gelar Posyandu Bagi Warga Perbatasan RI-PNG

“Artinya, Posyandu merupakan garda terdepan upaya pencegahan stunting. Ini yang perlu dijabarkan dalam rencana aksi secara konkret di lapangan,” kata Dinda Srikandi Radjiman, beberapa waktu lalu.

Dijelaskannya, peran strategis Posyandu terbilang sukses di masa Presiden Soeharto sehingga pemerintahan saat ini dapat mencontoh dan meneruskan program tersebut.

BACA JUGA: Gaji Pokok PPPK dari Honorer K2 Terendah Rp 2,9 Juta

“Artinya, tidak ada salahnya jika Posyandu diberi perhatian khusus dan digerakkan lagi. Dalam arti, perhatian khusus itu bisa berupa anggaran yang memadai untuk menggerakkan program di lapangan. Sebab, jangan salah karena people moved by incentives dari pemerintah,” jelasnya.

Dipaparkannya, kekuatan utama Posyandu ada di deteksi awal dan kader di lapangan. Deteksi awal terkait dengan pemantauan pertumbuhan dan perkembangan bayi seiring berjalannya usia, sehingga bila ada abnormalitas pertumbuhan anak di usia 0-23 bulan bisa terdeteksi.

Sementara itu Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto menjelaskan bahwa stunting itu bisa diatasi dengan cara Temukan, Screening, dan Intervensi serta memanfaatkan kearifan lokal dalam pemenuhan gizi balita. Salah satu langkah yang harus dilakukan untuk menurunkan angka stunting adalah dengan lebih meningkatkan lagi kegiatan-kegiatan yang ada di posyandu.

"Posyandu harus digiatkan lagi. Komunikasi antara ibu-ibu menjadi baik, tidak ngerumpi saja, tapi menolong bayi-bayi, menolong saling membantu pemberian peningkatan gizi," kata Menkes Terawan usai melakukan blusukan ke Gorontalo, akhir tahun lalu.

Menkes Terawan juga akan mengecek kota-kota atau daerah-daerah dengan angka stunting yang paling tinggi. "Kalau bisa remote area, terluar, tersulit, atau tidak terjangkau aksesnya," katanya.

"Saya kebetulan tentara, bisa meninjaunya sampai (ke pelosok). Sehingga bisa dilihat-lihat juga kearifanlokalnya mau kita bangun seperti apa," ujar Terawan.

Ia menilai negeri ini dengan potensi yang ada mampu menurunkan angka stunting melebihi standar dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). "Kami akan berjuang," katanya.

Program Posyandu yang akan digiatkan kembali oleh Menkes Terawan merupakan program pemberdayaan rakyat kecil berbasis komunitas yang diprakarsai Presiden kedua RI Soeharto.

Pada 1984, pemerintahan Presiden Soeharto memperkenalkan Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu), yaitu pengembangan kesehatan anak mulai dari penimbangan badan dan mengatasi kekurangan gizi. Posyandu mempunyai lima program, yaitu Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), keluarga berencana (KB), Gizi, penaggulangan diare, dan imunisasi.

Terkait program Posyandu, bahkan Ibu Negara Iriana Joko Widodo pun sempat memuji peran para kader Posyandu dan Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) dalam menurunkan angka stunting di wilayah tempat mereka mengabdi. Hal tersebut disampaikan Ibu Iriana saat berdialog dengan peserta Sosialisasi Konvergensi Pencegahan Stunting di Desa, yang digelar di The Radiant, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Kamis (3/10).

"Kira-kira berapa persen (angka stunting) yang di Cirebon? Ibu-ibu Posyandu pasti tahu," tanya Ibu Iriana. "Sepuluh persen," kata para kader Posyandu serempak.

"Oh sudah turun, Alhamdulilah. Karena ibu-ibu semua sudah turun ke lapangan," lanjut Ibu Iriana disambut riuh tepuk tangan peserta.

Mengutip data Kementerian Kesehatan, stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama, sehingga mengakibatkan gangguan pertumbuhan pada anak yakni tinggi badan anak lebih rendah atau pendek (kerdil) dari standar usianya.

Prevalensi stunting Indonesia berdasarkan hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) 2016 mencapai 27,5 persen.Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), masalah kesehatan masyarakat dapat dianggap kronis bila prevalensi stunting lebih dari 20 persen. Artinya, secara nasional masalah stunting di Indonesia tergolong kronis, terlebih lagi di 14 provinsi yang prevalensinya melebihi angka nasional.

Posyandu memang menjadi salah satu solusi termujarab untuk mengatasi stunting. Posyandu juga menjadi media deteksi dini kasus-kasus malnutrisi dan kekurangan gizi pada bayi dan balita.

Sekilas rekam jejak di masa Orde Baru, gebrakan Pak Harto lewat Posyandu memang menunjukkan hasil signifikan. Survei Demogarafi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007 menunjukkan angka kematian ibu melahirkan menurun dari 390 kematian per 100.000 kelahiran pada 1990 menjadi 228 kasus pada 2007.

Angka kematian bayi menurun dari 70 kematian per 1.000 bayi lahir pada 1986 menjadi 34 pada 2007. Demikian pula angka kematian balita, yang menurun dari 69 kematian per 1.000 kelahiran pada 1993 menjadi 44 pada 2007. Prestasi tersebut bahkan membuat Honduras mengadopsi konsep Posyandu dan malah mengembangkannya lebih baik daripada Indonesia saat ini.

Bahkan, keberhasilan program Posyandu di era Orde Baru juga mendapat apresiasi dari asosiasi kesehatan publik di Amerika Serikat. Jeremy Shiffman dari American Public Health Association menulis dalam artikel “Generating Political Priority for Maternal Mortality Reduction in 5 Developing Countries” yang dimuat dalam American Journal of Public Health, keberhasilan Pemerintah Orde Baru menurunkan angkan kematian ibu dan anak didorong oleh apa yang dia sebuah sebagai “political entrepreneurship” yang dimiliki Pak Harto.

Shiffman menulis Pak Harto memimpin langsung kampanye kebijakan, menambah anggaran untuk mengurangi angka kematian ibu dan anak, dan memobilisasi pemerintah provinsi serta kabupaten/kota untuk memerhatikan masalah yang sama.

Selama kepemimpinan Pak Harto, Puskesmas dan Posyandu menjadi ujung tombak sekaligus implementasi program di bidang kesehatan.

Pelayanan kesehatan dan Posyandu yang tersebar hingga desa terpencil berhasil menekan angka kematian bayi, mengendalikan penyebaran penyakit menular, dan memperbaiki kondisi kesehatan masyarakat.

Melalui program Inpres Sarana Kesehatan pada 1994 hingga 1995 telah dibangun 6.984 unit Puskesmas, 20.477 unit Puskesmas Pembantu, dan 3.794 unit Rumah Dinas untuk dokter di daerah terpencil.

Dalam memenuhi kebutuhan tenaga medis, Pak Harto mengupayakan penempatan dokter di daerah-daerah tertinggal yang dikenal dengan program dokter Inpres Desa Tertinggal (IDT).

Pada 1994-1995 telah ditempatkan lebih dari 3.000 dokter PTT dan 800 dokter gigi PTT. Jumlah tersebut terus meningkat untuk tahun-tahun berikutnya.

Tidak salah jika pemerintahan sekarang di bawah komando Menkes Terawan mulai menggiatkan kembali program Posyandu. Demi tujuan yang mulia, menurunkan angka stunting di negeri ini yang menjadi masalahan krusial. (esy/jpnn)


Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler