Dinilai Pro Asing, MK Harus Batalkan UU Migas

Jumat, 18 Mei 2012 – 17:50 WIB
Anggota Komisi VII DPR RI Halim Kalla (ta) hadir sebagai salah satu pembicara dalam Diskusi Publik bertema MINYAK untuk RAKYAT. Hadir pula pemerhati kebijakan publik Agus Pambagio (ki) dan pelaku usaha Iwan Piliang (ka) sebagai pembicara. Foto : Arundono/JPNN

JAKARTA - Iwan Piliang selaku Citizen Journalist sekaligus pelaku usaha Migas menyatakan, langkah Judicial Review UU Migas NomoR 22 tahun 2001 harus didukung semua elemen masyarakat.

"Saya mendukung apa yang dikatakan Din Syamsudin bahwa MK harus membatalkan UU Migas secara keseluruhan karena bertentangan dengan UUD 1945," kata Iwan Piliang saat bicara dalam diskusi Minyak Untuk Rakyat di Gedung Dakwah PP Muhammadiyah, Menteng, Jakarta, Jumat (18/5),

Disebutkan juga bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam UU Migas bertentangan dengan semangat pasal 33 UUD 1945. Selain itu UU Migas ini memberi peluang dan dominasi asing untuk menguras dan mengeruk sumber daya alam Indonesia. Sehingga menyengsarakan rakyat.

Dalam telaahnya, Iwan menyampaikan bahwa UU Migas telah membuat beberapa praktek merugikan negara. Seperti mekanisme pasar yang dipaksakan mengikuti harga international yang terindikasi membuat bobolnya keuangan negara.

"Sebut saja transfer pricing (TP) baik dalam bentuk ekspore maupun impor. Kemudian instrumen yang dipakai berupa badan yang dibentuk seperti Petral. Timbulnya kolusi membuat negara dirugikan ratusan triliun dari ekspore minyak 900.000 barel per hari," ujar Iwan. Selain itu, lanjutnya, penggelembungan cost recovery di lifting Migas yang terindikasi merugikan negara setara Rp70 triliun dalam setahun.

Jadi dalam kerangka berfikir "Minyak Untuk Rakyat", tambah Iwan, kebijakan negara belum berorientasi pada kepentingan rakyat. Jaringan distribusi bermasalah yang mengakibatkan langkanya minyak di daerah hingga harga yang tinggi.

"Seperti di Papua, Kalimantan, harga bensin mencapai Rp15 ribu per liter. Logika menghemat energi termasuk listrik sebagai bentuk ketidakberhasilan negara mensuplai minyak yang cukup dengan harga rendah untuk rakyat," tegas Iwan Piliang.

Di tempat yang sama,  Anggota Komisi VII DPR RI, Halim Kalla menilai, pelaksanaan Undang-undang `Nomor 22 Tahun 2011 tentang Minyak dan Gas (Migas), sebagai pengganti UU Nomor 8 Tahun 1971, masih menyisakan masalah krusial.

UU Migas, lanjutnya, menghilangkan peran ganda PT Pertamina sebagai perusahaan yang bertindak sebagai regulator sekaligus operator.

"Hasilnya dalam UU Migas 22 Tahun 2001, Pertamina hanya ditempatkan sebagai operator," kata Halim Kalla.

Sementara, tugas sebagai regulator dan pemangku Kuasa Pertambangan diserahlan kepada institusi baru yang namanya Badan Pelaksana Minyak dan Gas (BP Migas) yang berbentuk Badan Hukum Milik Negara (BHMN).

Namun, aturan itu masih dianggap belum pas dan karenanya UU Migas direvisi. Menurut Halim Kalla, pembahasan revisi UU Migas ini di DPR masih berlangsung dan telah mengundang banyak kalangan untuk mendapat masukan.

Pernah dari kalangan Kampus ITB mengusulkan beberapa perubahan dalam pasal 4 ayat 3, dimana Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan membentuk Badan Pelaksana. (fat/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Uniliver Anggarkan Belanja Modal Rp 1,7 Triliun


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler