Dinkes Ungkap 125 Anak di Jabar Ikut Prosedur Cuci Darah 

Jumat, 02 Agustus 2024 – 16:56 WIB
Petugas kesehatan sedang menyiapkan alat hemodialisis atau cuci darah untuk pasien gagal ginjal di Instalasi Hemodialisa RS Hasan Sadikin, Kota Bandung. Foto: Nur Fidhiah Shabrina/JPNN.com

jpnn.com, BANDUNG - Dinas Kesehatan (Dinkes) Jawa Barat mencatatkan jumlah pasien anak yang menjalani prosedur pengobatan cuci darah atau hemodialisis sebanyak 125 orang sepanjang tahun 2023.

Penyebab anak harus menjalani hemodialisis disebabkan oleh berbagai macam faktor.

BACA JUGA: Banyak Pasien Anak Cuci Darah di RSHS Bandung, Konon Ini Penyebabnya

Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinkes Jabar Rochady Hendra mengatakan, angka pasien anak yang menjalani cuci darah dari Januari - Juli 2024 sudah menyentuh 77 kasus.

"Kasus anak yang perlu di hemodialisis di Jawa Barat tahun 2023 sekitar 125 anak, dan 2024 sampai Juli ini tercatat 77 anak," kata Rochady, Jumat (2/8).

BACA JUGA: Minta Maaf kepada Seluruh Rakyat, Jokowi: Saya Manusia Biasa

Penanganan pasien anak yang menjalani cuci darah dilakukan di beberapa rumah sakit rujukan, seperti di Rumah Sakit (RS) Hasan Sadikin yang menyatakan ada 10-20 kasus anak cuci darah per bulannya.

Hanya saja, dia memastikan data yang dimilikinya berdasarkan pasien dadi kabupaten dan kota.

BACA JUGA: Analisis Reza soal Kasus Vina Setelah Widi & Mega Buka Suara, Waswas Kekacauan di Mabes Polri

Selain itu, beberapa rumah sakit di kabupaten dan kota di Jabar pun tidak semua mampu melayani perawatan cuci darah.

"Jadi, secara kumulatif dari beberapa kabupaten kota itu dilaporkan bahwa jumlah jiwa untuk anak-anak usia 0 sampai 15 tahun yang memerlukan pengobatan hemodialisis itu tahun 2023 itu ada 125 kasus, Kemudian untuk tahun 2024 sampai bulan Juli ini tercatat 77 kasus," jelasnya.

Lebih lanjut, Rochady menjelaskan bahwa hemodialisis ini merupakan suatu tindakan pengobatan yang umumnya dilakukan oleh pengidap masalah gagal ginjal baik itu akut hingga kronis. Dengan kondisi itu, pengidap akhirnya diberikan penanganan cuci darah.

"Memang dia memang akut itu misalnya perlu kayak hemodialisis tetapi ada gagal ginjal yang memang sudah bertahun-tahun, dia harus diterapi ya itu yang gagal ginjal akut, dulu pernah kita heboh gara-gara minum obat Paracetamol," terangnya.

Menurut Rochady, efek samping dari obat tertentu bisa berdampak kerusakan pada organ ginjal.

Selain itu, bisa terjadi karena adanya gangguan di aliran darah ke ginjal. Misalnya pada anak-anak yang terjadi pendarahan hebat, karena infekssi atau karena diare dengan dehidrasi berat.

"Dehidrasi berat membuat cairan tidak bisa masuk ke ginjal dan akhirnya ginjalnya mengalami kerusakan atau mungkin juga yang kronik, bisa disebabkan oleh penyumbatan di saluran kemih yang disebabkan oleh tumor. Jadi ada kanker di saluran kemihnya atau ada batu ginjal," jelasnya.

Soal konsumsi minuman dan makanan kemasan oleh anak, Rochady menjelaskan, hal itu memang bisa memicu timbulnya penyakit gagal ginjal. Namun, berangkatnya dari diabetes melitus.

"Efek samping dari penyakit gula pada anak atau diabetes melitus pada anak ini ujung-ujungnya akan ada kerusakan ginjal. Nah nanti kerusakan ginjal ini yang akhirnya anak itu perlu Hemodialisis atau tidak," terangnya.

Dengan begitu, Dinkes Jabar mendorong agar masyarakat menghilangkan anggapan jika gemuk itu merupakan tanda anak sehat. Selain itu masyarakat diminta rajin mengontrol kesehatan anak.

"Jangan menganggap bahwa gemuk itu sehat, obesitas itu akan menyebabkan kecenderungan gangguan bab. Kemudian lebih baik kita tahu status penyakitnya sekarang daripada kita berobat, ditakutkan nantinya penanganannya terlambat," tuturnya. (mcr27/jpnn)


Redaktur : M. Fathra Nazrul Islam
Reporter : Nur Fidhiah Sabrina

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler