Diplomasi Indonesia 2020

Oleh: H. Jazilul Fawaid, Wakil Ketua MPR RI

Kamis, 16 Januari 2020 – 16:33 WIB
Wakil Ketua MPR Jazilul Fawaid. Foto: Humas MPR RI

jpnn.com, JAKARTA - Dalam lima tahun ke depan, diplomasi Indonesia diproyeksikan akan menjadi sangat sibuk. Indikasinya sangat jelas. Keanggotaan Indonesia di beberapa organisasi regional dan global akan menjadi lebih strategis karena menduduki jabatan kunci. Indonesia akan menjadi Ketua ASEAN pada 2023.

Indonesia juga akan menjadi Ketua G-20, sebuah forum global yang beranggotakan negara-negara maju yang menguasai perekonomian dunia. Selain itu, Indonesia juga berkomitmen untuk lebih menggalakkan  peran dan kontribusi sebagai sebagai anggota Dewan Keamanan dan Dewan HAM PBB, serta Organisasi Maritim Internasional.

BACA JUGA: Masalah Natuna Bisa Diselesaikan Menggunakan Diplomasi Pintu Belakang

Partisipasi dalam kancah politik global merupakan pengejawantahan mandat Pembukaan UUD NRI 1945 bahwa Indonesia sebagai warga dunia harus ikut serta dalam memelihara perdamaian dunia, berdasarkan prinsip kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Keanggotaan dalam berbagai forum internasional juga merupakan perwujudan dari politik luar negeri bebas aktif yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa. Pelaksanaan kedua mandat tersebut akan menemukan momentumnya dalam waktu dekat merujuk peluang Indonesia untuk menjadi aktor politik internasional yang lebih strategis dan dominan dalam beberapa tahun ke depan.

Tantangan organisasional

BACA JUGA: Parlemen Maroko Dukung MPR RI Bentuk Forum Majelis Syuro Sedunia

Dalam konteks ASEAN sebagai organisasi regional negara-negara kawasan Asia Tenggara, Indonesia menyandang status sebagai founding father dan negara kunci. Namun demikian, status tersebut tidak serta-merta membawa keuntungan bagi Indonesia. Di sinilah tantangan yang harus dibuktikan Indonesia untuk menguji kredibilitas dan kapabilitas atas status yang disematkan tersebut. Tantangan dalam organisasi regional ini tidaklah mudah. Meskipun kedaulatan masing-masing negara dibuhulkan dalam satu komitmen bersama, konflik intra kawasan masih potensial terjadi terutama terkait sengketa perbatasan, klaim produk-produk seni dan budaya, serta polusi asap sebagai akibat kebakaran hutan.

Komitmen ASEAN untuk menjadi satu komunitas tunggal dalam berbagai bidang sebagai bagian dari Visi ASEAN 2020 juga masih menuntut soliditas dari seluruh negara anggota. Situasi geopolitik kawasan juga semakin memanas merujuk aksi unilateral Tiongkok di awal tahun yang melanggar hak berdaulat Indonesia di perairan Natuna Utara. Di satu sisi, tindakan Tiongkok ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah Indonesia untuk menyelesaikannya. Di sisi lain, tindakan Tiongkok menjadi modal soisial untuk mengukuhkan semangat satu ASEAN mengacu pada fakta bahwa Tiongkok sudah lama berkonflik dengan negara-negara anggota ASEAN lainnya terkait klaim kedaulatan di Laut Tiongkok Selatan.

BACA JUGA: Memperdalam PPKN, Siswa SMAN 1 Tanjung Batu Kunjungi MPR RI

Menjadi Ketua G-20 adalah hal yang prestisius bagi Indonesia. Forum yang beranggotakan 19 negara ekonomi maju ditambah Uni Eropa ini setidaknya menguasai 80 persen total perdagangan dan 90 persen produk nasional bruto dunia. Setidaknya ada dua tantangan besar yang harus direspons Indonesia bilamana menduduki posisi ini nantinya. Pertama, tantangan untuk menciptakan upaya-upaya regulatif dalam memitigasi potensi terjadinya krisis finasial global. Kedua, komitmen bersama negara anggota untuk mewujudkan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan harus peduli terhadap prinsip pemerataan dan keadilan bagi negara-negara berkembang lainnya di belahan dunia.

Indonesia mendapatkan batu ujian yang cukup keras terkait keanggotaannya di Dewan Keamanan dan Dewan HAM PBB. Keanggotaan yang singkat pada kedua badan strategis PBB ini pada prinsipnya harus dimanfaatkan seoptimal mungkin melalui peran dan kontribusi yang konkret. Isu reformasi struktur DK PBB tentu saja bukan hal yang tabu untuk terus menerus disuarakan. Indonesia yang akan menjadi Ketua DK PBB selama satu bulan pada Agustus 2020 nanti juga dihadapkan pada fakta bahwa negara anggota tetap seperti Amerika Serikat dan Tiongkok masih gemar menempuh langkah unilateral ketimbang menghayati posisinya sebagai polisi global di DK PBB.

Aksi militeristik Amerika Serikat di Irak yang menewaskan perwira tinggi Iran, Qassem Soleimani, menjadi preseden buruk yang dapat menyeret banyak negara ke medan perang. Irak yang menjadi lokus aksi unilateral tersebut merespons dengan melakukan pengusiran terhadap seluruh pasukan Amerika Serikat yang ada di wilayahnya. Iran bahkan memancangkan bendera merah di seluruh negeri, tanda bahwa mereka siap berperang. Dalam konteks HAM, Indonesia berkomitmen untuk menancapkan pengaruh yang lebih besar dalam hal penegakan HAM di dunia. Hal ini dibuktikan secara konkret melalui dukungan yang simultan terhadap perjuangan kemerdekaan Palestina.

Namun demikian, agenda menjadi bertambah tatkala isu diskriminasi terhadap etnis Uyghur di Xinjiang, Tiongkok, menggelinding menjadi isu global yang menyita perhatian dunia. Terlepas dari segala akar permasalahan yang ada di wilayah tersebut, apakah separatisme yang berbalut terorisme atau kausa lainnya. Hal-hal yang sifatnya diskriminatif dan melanggar HAM tetap harus dieliminir. Tiongkok boleh saja menganggap kasus ini sebagai isu domestik yang tidak boleh diintervensi negara lain, tapi kemanusiaan merupakan hal yang sifatnya universal dan harus diperjuangkan oleh semua bangsa dan negara di dunia.

Diplomasi Aktif dan Kontributif

Diplomasi secara sederhana merupakan langkah teknis dalam upaya mencapai kepentingan nasional. Diplomasi pada umumnya diletakkan dalam kerangka relasi antara kebutuhan domestik dan realitas internasional. Namun demikian, konteks diplomasi menjadi lebih bijak tatkala kepentingan nasional sebuah negara melebur sebagai komitmen bersama dalam sebuah organisasi supranasional. Inilah yang menjadi batu pijakan bagi Indonesia untuk tidak hanya bebas aktif, tapi juga kontributif melalui berbagai langkah nyata.

Pertama, diplomasi yang berkaitan dan kepentingan kedaulatan negara sedapat mungkin dilaksanakan secara tegas tapi lentur. Tegas artinya Indonesia tidak berkompromi dengan hal apapun yang berpotensi menggerus martabat bangsa, sedangkan lentur bermakna Indonesia menghindari perang dan penggunaan senjata dalam menyelesaikan konflik. Perang merupakan pilihan terakhir tatkala diplomasi menemui jalan buntu.

Kedua, berbagai tantangan global di bidang politik dan keamanan seoptimal mungkin diselesaikan dalam kerangka organisasi yang dinakhodai. Pilihan ini sangat rasional karena di era multilateralisme saat ini, kalkulasi kekuatan sebuah negara dalam menyelesaikan sebuah isu dihitung secara kumulatif dari kapasitas nasional dan bobot keanggotaannya dalam sebuah organisasi. Upaya menekan Tiongkok dalam kasus Natuna Utara misalnya, akan memiliki daya gebrak yang besar apabila Indonesia mengartikulasikan kepentingan nasionalnya melalui kerangka ASEAN dan DK PBB.

Ketiga, diplomasi ekonomi semakin menunjukkan urgensinya dalam dinamika hubungan antarnegara. Konflik di banyak negara lebih banyak diselesaikan dalam kerangka hubungan timbal-balik dalam hal ekonomi, bukan melalui tekanan politik dan agresi militer. Oleh sebab itu, keanggotaan di G-20 harus benar-benar dioptimalkan guna mendukung fundamental perekonomian Indonesia serta menopang ketahanan ekonomi kawasan.

Terakhir, diplomasi membutuhkan citra domestik yang kuat. Semua imej yang dibangun di tataran internasional akan menjadi pudar apabila di level domestik stabilitas politik dan ekonomi tidak dapat dikendalikan dengan baik. Beberapa momen penting skala nasional yang akan dihelat tahun ini seperti Pilkada 2020 harus bisa dikelola dengan baik dan dikonversi menjadi modal diplomatik di panggung global. Dengan komitmen yang kuat serta konsistensi dalam mewujudkan tujuan nasional melalui diplomasi, kiprah Indonesia diharapkan akan semakin bersinar terang.(jpnn)


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler