Dipotong dalam Satu Kali Tebasan Leher, Biaya Miliaran

Jumat, 27 April 2018 – 03:25 WIB
Kerbau diarak mengitari kompleks Tongkonan Santorayan di Kilometer 9, Loa Janan, Kukar. Foto: IBRAHIM/KPALTIM POST

jpnn.com - Rambu Solo’, upacara adat pemakaman jenazah pada masyarakat Toraja tak pernah kehilangan daya pikat. Sejumlah atraksi menarik dan rangkaian ritual sarat nilai budaya pada upacara adat tersebut terkenal hingga mancanegara. Kali ini, Rambu Solo’ dalam rangka pemakaman mendiang Luther Kombong.

IBRAHIM, Loa Janan

BACA JUGA: Luncurkan Toraja Marathon 2017, Menpar Berbagi Jurus Pengembangan Sport Tourism

SELASA siang (24/4), pukul 10.15 Wita, butir-butir gerimis membasahi kompleks Tongkonan Santorayan yang terletak di Kilometer 9, Jalan Soekarno-Hatta, Loa Janan, Kutai Kartanegara (Kukar). Kondisi alam ini seakan menambah suasana duka yang tengah melingkupi keluarga almarhum Luther yang berkumpul di rumah adat Toraja bernama Tongkonan.

Di tengah suasana murung itu, tampak seorang laki-laki duduk tenang mengenakan kain sarung berwarna hitam di depan Tongkonan. Sambil menatap ke arah teras bangunan, Luther Lappa, menikmati asap rokoknya.

BACA JUGA: Film Tentang Tana Toraja Dilirik Aktor Luar Negeri

Dia salah satu anggota rombongan keluarga almarhum yang datang langsung dari Toraja, Sulawesi Selatan ke Loa Janan. Dia hadir untuk mengikuti rangkaian upacara Rambu Solo’ atas meninggalnya Luther Kombong pada 9 Juni 2017.

Keluarga mendiang dari berbagai daerah hadir. Rambu Solo’ merupakan upacara pemakaman secara adat, menjadi salah satu tradisi sakral dalam masyarakat Tana Toraja. Ini juga sudah menjadi warisan tradisi Aluk Todolo—kepercayaan leluhur Toraja. Acara ini digelar di Tongkonan Santorayan, Loa Janan hingga Sabtu (28/4).

BACA JUGA: Menhub: Nanti Kami Akan Selesaikan

Rambu Solo’ mendiang Luther, dikatakan Lappa, dihelat meriah. Keluarga almarhum setidaknya mempersembahkan 27 te’dong—sebutan masyarakat Toraja untuk kerbau. “Sebanyak 27 kerbau itu dari keluarga. Ada lagi tambahan dari kerabat bisa berupa kerbau atau babi. Jumlahnya belum tahu nanti berapa banyak,” ujar Lappa.

Hari pertama Rambu Solo’ ditandai dengan Mengissi Lantang. Prosesi di mana keluarga yang telah berkumpul mengisi pondok (lantang) di tempat acara, kompleks Tongkonan Santorayan. Jumlahnya ada 50 lantang. Akan terisi penuh pada hari kedua dan ketiga Rambu Solo’.

Di pondok itu, keluarga melakukan persiapan untuk menerima tamu. Tamu laki-laki disuguhi rokok. Sedangkan tamu perempuan disuguhi sirih dan pangan.

Setelah itu, para tamu yang membawa sumbangan, baik babi, kerbau, maupun hewan lainnya, dicatat oleh panitia khusus. Sumbangan dari setiap tamu diumumkan protokol acara. Upacara adat Rambu Solo’ atas meninggalnya Luther Kombong ini diperkirakan menghabiskan biaya hingga miliaran rupiah.

Hari pertama Rambu Solo’ digelar, satu kerbau dipotong di tengah lapangan. Pemotongan yang dilakukan pengembala yang oleh masyarakat Toraja disebut pakambi itu menandai Rambu Solo’ resmi dihelat. Kerbau dipotong dengan satu kali tebasan leher oleh pakambi. Pemotongan satu kerbau ini dilakukan tiap hari hingga kurban kerbau massal pada Jumat (28/4).

Sebanyak 27 kerbau persembahan keluarga mendiang Luther itu dikumpulkan di lapangan menjelang tengah hari. Prosesi ini disebut Ma’ Pasa’ Tedong. Setelah pengumpulan, kerbau diarak mengitari kompleks Tongkonan Santorayan.

Namun, sebelum diarak, kerbau itu dihias dengan kain merah yang dibalutkan ke tanduk. Ada yang disarungkan di punggung kerbau. Ada pula yang dihias dengan kalung dari bambu kecil.

Pengarakan kerbau itu diiringi oleh pujian-pujian dan syair untuk mengenang almarhum Luther, menggunakan pengeras suara yang terdengar jelas di kompleks Tongkonan Santorayan. Ma’Pasa’ Tedong sendiri dilakukan sebagai bentuk ucapan terima kasih anak, istri, saudara, dan keluarga mendiang Luther untuk berbagai komunitas yang hadir dalam Rambu Solo’.

Kepada penulis, Pendeta Luther Taruk menjelaskan, Rombo Solo’ merupakan acara duka sakral bagi masyarakat adat Toraja. Dulu sebelum masyarakat Toraja menganut agama, Rambu Solo’ dimaknai sebagai penghormatan terakhir kepada mendiang yang telah pergi, dengan harapan agar arwahnya dapat abadi (puya).

Kerbau dimaknai sebagai kendaraan arwah. Namun, setelah masuknya agama, Rambu Solo’ dimaknai mengantar roh ke surga. “Adat tetap dipakai. Hanya pemahaman diubah. Mengantar arwah ke surga,” papar Pendeta Luther Taruk.

Kerbau, kata Pendeta Luther Taruk, bakal dikurbankan pada Jumat (27/4). Tapi tidak semua dari kerbau yang dipersembahkan keluarga itu bakal dipotong. Beberapa kerbau akan diserahkan dalam kondisi hidup kepada komunitas tertentu.

Proses hari pertama ini berlanjut hingga malam hari dengan gelaran tarian tradisional adat Toraja. Puluhan laki-laki dan perempuan melingkar di lapangan yang terletak di kompleks Tongkonan Santorayan. Mereka melingkar sambil berdoa untuk mengenang perjalanan hidup mendiang Luther Kombong yang banyak berkontribusi bagi masyarakat.

Doa tersebut agar mantan anggota DPD dan DPR RI itu mendapatkan penghormatan Tuhan atas jasa selama hidup. Sekaligus mengambil pelajaran dari sosok almarhum agar terus berbuat baik kepada sesama. “Sebelum itu, ada ibadah kutbah. Nyanyian-nyanyian bersama dipandu oleh pendeta,” jelas dia. (rom/k11)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Bandara Pong Tiku Bakal Dikembangkan


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler