Diprediksi, Pilkada Bakal Marak Jual Beli Suara

Kamis, 16 April 2015 – 21:29 WIB

jpnn.com - JAKARTA – Sejumlah pegiat pemilu mengajukan pengujian undang-undang (PUU) terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015, tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota yang kini telah diubah menjadi UU Nomor 8 Tahun 2015 ke Mahkamah Konstitusi (MK).

PUU diajukan karena  sejumlah aturan yang terdapat dalam UU tersebut, dinilai tidak tegas. Antara lain pasal 73 yang tidak mengatur sanksi diskulasifikasi terhadap pasangan calon dan pelaku politik uang.

BACA JUGA: KPK Juga Happy Badrodin Jadi Kapolri

“Selain tidak adanya sanksi politik uang, undang-undang juga tidak mengatur sanksi bagi jual beli dukungan partai politik,” ujar pegiat pemilu, Ramdansyah, Kamis (16/4).

Menurut Ramdansyah, undang-undang hanya mengatur penjatuhan sanksi terhadap jual beli dukungan partai politik, harus didahului putusan pengadilan. Sementara tidak ada materi sanksi yang dapat digunakan untuk menjatuhkan putusan pengadilan.

BACA JUGA: Besok, Jokowi Lantik Badrodin jadi Kapolri

Kondisi ini dinilai tidak baik, karena dikhawatirkan dapat menyebabkan ketegangan sosial di masyarakat. Sebab undang-undang seolah merestui dan melegalkan tindakan politik uang dan jual beli suara partai politik.

“Tentu saja masih banyak cacat materil yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Makanya kami kembali mengajukan PUU, meski sebelumnya pengajuan terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014, tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota, ditolak, karena proses persetujuan di DPR mendahului proses di MK,” ujarnya.

BACA JUGA: DPR Ingin Pesawat Tempur Baru, Tapi Pemerintahan SBY Pilih F-16 Bekas

Alasan lain, PUU diajukan karena menurut Ramdansyah, penggunaan Pasal 149 KUHP juga tidak dapat menjerat politik uang. Karena politik uang di dalam KUHP hanya dua unsur yakni “agar pemilih tidak menggunakan hak pilih” dan “agar pemilih menggunakan hak pilih dengan cara tertentu”. Pasal 149 KUHP tidak mengenal unsur “agar memilih pasangan calon tertentu”. Padahal politik uang di Indonesia ditujukan agar memilih pasangan calon tertentu.

“Jadi kita mengajukan PUU agar jangan sampai format Pilkada langsung seolah menjadi hadiah bagi rakyat Indonesia, tapi ternyata justru menjadi bencana,” ujarnya.

Karena beberapa Putusan Perselisihan Hasil Pemilu Kepala Daerah yang diputus MK beberapa waktu lalu, seperti terhadap Kabupaten Kotawaringin Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah, dan Kabupaten Mandailing Natal, menyatakan politik uang dan jual beli dukungan partai politik merupakan kejahatan yang merusak sendi-sendi demokrasi.

“Selain itu, pasangan calon yang menang dalam Pilkada Langsung yang akan berlangsung, bisa dipastikan hanya mereka yang punya uang, modal, dan kekuasaan saja,” katanya.(gir/jpnn)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ternyata KPK Turuti Keinginan Alex Noerdin


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler