Direktur TIDI Apresiasi Positif DPR yang Segera Mengesahkan RUU PSDN

Senin, 23 September 2019 – 23:27 WIB
Direktur Eksekutif The Indonesian Democracy Initiative (TIDI), Arya Sandhiyudha . Foto: Dokpri for JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Rancangan Undang-Undang tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional (PSDN) Untuk Pertahanan Negara segera menjadi Undang-Undang. Hal ini akan menjadi sejarah baru karena sejak adanya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, 17 tahun yang lalu, baru pada Komisi I DPR RI periode 2014-2019 di bawah pimpinan Ketua Komisi I Abdul Kharis Almasyhari dapat diselesaikan Rancangan Undang-Undang yang mengatur Bela Negara, Komponen Pendukung (Komduk) dan Komponen Cadangan (Komcad).

Menanggapi hal tersebut, Direktur Eksekutif The Indonesian Democracy Initiative (TIDI), Arya Sandhiyudha menilai positif RUU PSDN akan segera disahkan.

BACA JUGA: Menhan: Program Bela Negara Turut Mendukung Terwujudnya SDM Unggul

“Ini sangat baik dari sisi proses dan muatan pembahasan. Masukan masyarakat sipil terkait demokrasi, hak asasi manusia (HAM), dan supremasi sipil juga masuk dalam RUU ini. Kedua pihak, baik Pemerintah (Kementrian Pertahanan) maupun DPR RI (Komisi I) sangat akomodatif dan peka terhadap aspirasi yang berkembang,” kata Arya di Jakarta, Senin (23/9/2019)

Lebih lanjut, Arya menilai RUU ini juga telah sukses mengakomodasi aspirasi masyarakat karena telah memasukkan penegasan bahwa Komcad sifatnya sukarela, bukan wajib.

BACA JUGA: Ryamizard Ryacudu, Bapak Bela Negara Indonesia

“Yang diwajibkan nanti hanya pendidikan Bela Negara. Kalau latsarmil (Latihan Dasar Militer) sebagai Komcad tidak wajib tetapi sukarela untuk mendaftar. Tampaknya, skema usulan Komisi I disepakati sebagai mekanisme,” ucapnya.

Menurut Pengamat Politik Internasional itu, perubahan tersebut yang membuat akhirnya dalam RUU terkini Komcad bersifat sukarela dengan cara mendaftarkan diri.

BACA JUGA: Ada Usul Bela Negara Naik Level Jadi Wajib Militer, Menhan Merespons Begini

Ia berpendapat, untuk negara Indonesia memang paling tepat memilih model voluntary (sukarela) seperti di Kanada, Inggris, dan Australia.

Negara yang menerapkan wajib militer, lanjut Arya, biasanya punya 2 alasan, pertama adalah ukuran geografis dan populasinya sangat kecil seperti Singapura. Bisa juga punya persepsi potensi perang yang sangat tinggi, diantaranya seperti Mesir, Israel, Turki, Iran, Korea Utara, Korea Selatan, Amerika Serikat, dan Rusia.

Adapun terhadap kekhawatiran kedua yaitu mengenai kritik tidak ada opsi bagi Komcad menolak ketika mobilisasi. Sedangkan sewaktu sudah menjadi Komcad lalu ada mobilisasi tentu tidak ada opsi lain.

“Di semua negara begitu, termasuk negara-negara demokrasi. Kalau nggak mau ya jangan daftar Komcad. Justru itukan tujuannya seorang mendaftar Komcad,” sebut Master bidang Studi Strategis Nanyang Technological University (NTU) Singapura itu.

Menurutnya, mobilisasi dalam RUU ini juga telah diatur sedemikian rupa, “Mobilisasi hanya dalam darurat dan dalam proses pembahasan RUU akhirnya dimasukkan klausul musti ada persetujuan DPR RI,” tukasnya.

Arya yang merupakan Doktor bidang Ilmu Politik dan Hubungan Internasional ini kembali menilai, bahwa prinsip sukarela untuk menjadi Komcad sudah cukup dianggap menghormati HAM.

“Pilih status komcad di awal secara sukarela itu sudah menghormati HAM. Saya sudah enggak melihat ada hal lain yang lebih penting, karena prinsip sukarela sudah diakomodasi. Pembatasan lain yang juga memenuhi unsur HAM adalah Komcad sendiri memiliki Batasan waktu, jadi tidak berlangsung terus-menerus,” tuturnya.

Perihal kekhawatiran ketiga, masalah pembiayaan dari sumber selain APBN dan APBD, Doktor Bidang Ilmu Politik dan Hubungan Internasional dari Istanbul University, Turki itu melihat dan sepakat, bahwa pembiayaan harus diikat dengan mekanisme APBN.

“Jadi Kementerian Keuangan nanti mesti membuat Peraturan Menteri (Permen) untuk mengatur mekanisme. Pembiayaan sumber lain tidak boleh berjalan sebelum Permen itu dikeluarkan dan disahkan,” tambahnya.

Namun di sisi lain, sambungnya, ini justru membuka peluang warga negara untuk berpartisipasi, misalnya pihak swasta dapat ikut menyukseskan pendidikan bela negara tanpa mesti membebankan APBN.

“Ini adalah ruang partisipasi publik yang sangat positif dalam agenda bela negara,” katanya.

Pada bagian lain, Arya melihat, di luar kekhawatiran kelompok masyarakat sipil tersebut, sejumlah poin perbaikan dari draf awal Pemerintah juga telah memperkaya muatan menjadi jauh lebih maju dan progresif dalam ukuran demokrasi, HAM, dan kebebasan sipil.

Arya meyakini masuknya asas proporsionalitas itu juga bagus sekali. Asas itu untuk memastikan bahwa tindakan negara dalam melakukan mobilisasi harus proporsional.

“Asas proporsionalitas ini juga yang kerap digunakan oleh pengadilan HAM Internasional,” katanya.

Hybrid Threats Masuk Lingkup Ancaman

Poin lain yang juga positif, menurut Arya, terdapat muatan baru yang disepakati dalam pembahasan RUU ini yang menegaskan urgensi optimalisasi sumber daya nasional selain untuk ancaman nyata seperti Separatisme, namun juga untuk ancaman terkini.

“Draf awalnya hanya ancaman militer dan non-militer, namun RUU terkini lebih aktual menyepakati hybrid threats, artinya serangan siber, disinformasi, tekanan ekonomi, pengiriman sekelompok pasukan non-militer juga dimasukkan dalam konsideran. Sebab memang tipe ancaman pertahanan sudah demikian berubah dari aspek kecepatan, skala, dan intensitas,” terangnya.

Jadi, Arya menggarisbawahi, doktrin dasarnya tetap pertahanan semesta, tapi potensi yang diberdayakan lebih beragam secara kompetensi dan kepakaran.

Dibanding draf awal yang banyak sekali kekurangan, Arya Sandhiyudha juga menilai banyak hal progresif yang layak diapresiasi dari kedua pihak pembahas, baik Komisi I DPR-RI ataupun Kementerian Pertahanan.

“Itu artinya mereka mendengar, dan mengakomodir ragam kritik perbaikan,” pungkasnya.(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler