Dirikan Sekolah Alternatif di Pedalaman Pesisir Papua

Minggu, 01 Desember 2013 – 06:34 WIB

KUALITAS pendidikan di Papua yang masih tertinggal menginspirasi John Rahail untuk membuat terobosan. Dia memberikan pelayanan pendidikan untuk anak-anak pedalaman dengan mendirikan sekolah kampung. Hasilnya konkret dan bergema hingga Jakarta.
------------
M. HILMI SETIAWAN, Jakarta
------------
SETIAP akhir bulan menjadi saat-saat yang mendebarkan bagi John Rahail. Sebab, dia harus melakukan perjalanan jauh ke pedalaman Papua. Yakni, ke pesisir Kabupaten Sarmi, sekitar 300 km dari Jayapura.

Pada akhir bulan dia memang menyediakan waktu khusus untuk memberikan pelayanan pendidikan gratis ke anak-anak suku Manirem yang tinggal di dalam hutan Sarmi.

BACA JUGA: Tangani Kasus Soeharto hingga Angelina Sondakh dan dr Ayu

’’Sekarang jalannya sudah agak enak. Dulu tanah dan sulit ditempuh. Apalagi kalau hujan,’’ ujar dosen FKIP Universitas Cenderawasih itu seusai konferensi pers menjelang penganugerahan Apresiasi Peduli Pendidikan Kemendikbud 2013 di Jakarta Jumat (29/11).

John merintis sekolah pedalaman itu pada Juni 2007. Awalnya dia meneliti kualitas pendidikan anak-anak usia sekolah. Hasilnya, anak-anak di daerah pesisir tersebut ternyata belum bisa membaca dan menulis.

BACA JUGA: Bayi yang Selamat Itu Jadi Bocah Mungil yang Lucu

’’Padahal, sudah ada sekolah. Karena itu, pasti ada yang tidak beres,’’ katanya.

John lalu melakukan kajian khusus. Diperoleh solusi berupa sekolah alam. Dia tidak menggunakan sistem pendidikan konvensional seperti di SD–SMA yang ada. Intinya, dia ingin menumbuhkan kecintaan anak-anak untuk belajar.

BACA JUGA: Saksi Bisu Pertempuran Terakhir Shogun dan Kaisar Meiji

Awalnya anak-anak prasekolah yang disasar. Tapi, seiring perjalanan waktu, siswa yang bergabung beragam usia.

’’Anak-anak remaja sampai ibu-ibu ikut sekolah. Materi pelajarannya membaca dan berhitung,’’ kata guru kelahiran Merauke, 19 Juni 1966, itu.

John mengatakan, ternyata sistem belajar di sekolah kampung dengan cepat menarik hati masyarakat. Sebab, materi dan model belajar yang dipakai bersumber dari masyarakat setempat.

Dengan tekun John terus menggali budaya-budaya setempat. Di antaranya, dongeng-dongeng dan aneka permainan adat. Dia mencontohkan keyakinan masyarakat tentang turunnya hujan. Nah, keyakinan itulah yang dia pakai menjadi materi ajar di kelas.

Budaya lokal lainnya yang dia adopsi adalah sistem penghitungan tradisional. Di Kampung Beneraf, Distrik Pantai Timur, orang tidak mengukur panjang dan pendek dengan satuan meter. Tetapi, memakai ukuran dari potongan kayu. ’’Cara itu kita pakai sebagai dasar belajar menghitung,’’ paparnya.  

Karena John mengambil materi kearifan lokal itu, murid sekolah kampung makin banyak. Sekolah tersebut pun tidak bermaksud mematikan sekolah formal yang ada.

’’Sekolah kampung itu sekolah alternatif dan pelengkap layanan pendidikan formal yang sudah ada,’’ ujarnya.

Dia mengakui, kondisi sekolah umum yang ada memang memprihatinkan. Bangunan fisiknya tak terurus. Para pengajarnya pun malas-malasan. ’’Para guru mengajar jika mau ujian semester atau ujian nasional saja. Mereka sering tidak masuk,’’ katanya.

Akibatnya, lama-lama aktivitas sekolah itu ’’mati’’ dan para siswa telantar.

Setelah berjalan lebih dari lima tahun, sekolah kampung mendapatkan pengakuan dari masyarakat setempat. Yang menggembirakan, anak-anak didik John sekarang lebih pintar daripada siswa-siswa yang hanya belajar di sekolah formal.

’’Sebelumnya anak-anak di situ tak berani bertanya atau menjawab pertanyaan guru. Sekarang mereka mengacungkan jari jika ada pertanyaan dari guru. Itu salah satu hasil konkretnya,’’ cerita dia.

Saat ini jumlah siswa sekolah kampung sekitar 40 anak, plus ibu-ibu yang nimbrung pada hari-hari tertentu. Sekolah itu kini juga punya fungsi lain. Yakni, menjadi tempat sosialisasi bahaya penularan HIV/AIDS untuk para remaja. Pasalnya, Papua termasuk daerah endemi penyakit yang belum ditemukan obatnya itu. Jumlah penderita di sana cukup banyak.

’’Bahkan, ibu-ibu memanfaatkan untuk kegiatan posyandu. Jadi, sekolah itu kini jadi multifungsi.’’

Perjuangan John menghidupkan sekolah kampung bukan tanpa halangan. Pada awalnya dia ditentang masyarakat. Mereka menilai pendidikan tidak terlalu penting. John sempat hendak diusir. ’’Kata mereka, anak-anak ke sekolah juga hanya bermain,’’ ujarnya.

Karena itu, yang dilakukan John kali pertama adalah memberikan kesadaran tentang betapa pentingnya pendidikan bagi anak-anak. Sampai akhirnya John mengetahui bahwa struktur suku Manirem sangat kompleks.

Dalam suku itu ternyata sudah ada bagian yang membidangi urusan pendidikan masyarakat. ’’Mereka baru senang ketika fungsinya sebagai pamong pendidikan diaktifkan lagi melalui kampung sekolah,’’ katanya.

Para pamong adat yang membidangi urusan pendidikan langsung direkrut menjadi guru di sekolah kampung.

Keberhasilan John membuat sekolah kampung akhirnya tercium Pemkab Sarmi. Pemkab pun berniat mereplikasi model sekolah alternatif itu untuk disebar ke kawasan lain. John mengaku sangat senang dengan komitmen pemda itu.

Yang lebih membahagiakan lagi, pemkab kemudian mengeluarkan perda yang menjadi dasar penganggaran untuk keberlanjutan sekolah kampung. Selama ini operasional sekolah tersebut ditanggung swadaya masyarakat.

Selain dengan perda, keberlangsungan sekolah itu makin jelas dengan menjadikannya sebagai laboratorium mengajar bagi mahasiswa FKIP Universitas Cenderawasih. ’’Saya berharap sekolah ini akan ada terus sampai nanti,’’ tandasnya. (*/c10/ari)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Berkat Ilmu Tidur Empat Jam dari Basket


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler