jpnn.com, MANADO - Kepala Dinas Kesehatan Nganjuk, Jawa Timur, Achmad Noeroel Cholis mengatakan, daerahnya mendapat peringkat pertama angka kematian bayi (AKB) pada 2009.
Pada 2012 tercatat sebanyak 25 ibu hamil dan 291 bayi meninggal.
BACA JUGA: Sektor Kesehatan Indonesia Menunjukkan Keberhasilan
"Tahun 2013 sebanyak 44 bayi stunting," kata Achmad dalam Seminar Nasional III Pra Munas KAGAMA bertajuk Kesehatan Indonesia Menghadapi Revolusi Industri 4.0 di Gedung Eks DPRD Sulawesi Utara, Kamis (19/9).
Menurutnya, angka-angka tersebut muncul disebabkan beberapa faktor. Di antaranya, kurang optimalnya regulasi, kompetensi SDM, lingkungan, sarana dan prasarana faskes, pembiayaan, peran serta masyarakat, kemitraan dengan lembaga lain, dan mekanisme.
BACA JUGA: Revolusi Kesehatan melalui Strategi Kebudayaan
Hal itu mendorong pihaknya untuk melakukan terobosan dengan memanfaatkan teknologi informasi.
Menurutnya, penting untuk membangun komitmen pimpinan semua angkatan, kampanye dan perubahan perilaku, juga koordinasi dan konvergensi semua tingkatan.
BACA JUGA: Ketahuilah, 7 Manfaat Mengonsumsi Sayuran Hijau untuk Kesehatan
"Sektor ketahanan pangan dan gizi serta pemantauan dan evaluasi juga penting dilakukan," ungkapnya.
Salah satu terobosan Pemerintah Kabupaten Nganjuk antara lain melaksanakan konvergensi melalui koordinasi dalam upaya penurunan angka kematian ibu dan bayi, gizi buruk serta stunting.
Pihaknya melakukan perencanaan dengan menggunakan data analisis baik secara elektronik maupun laporan bulanan.
Peran dan tanggung jawab di masing-masing level tingkatan sesuai tupoksinya, meliputi OPD, kecamatan dan desa, juga dikawal dengan baik
"Kami membuat gerakan dalam pemberdayaan masyarakat untuk membangun masyarakat dalam upaya penurunan angka kematian ibu dan bayi, gizi buruk serta stunting," paparnya.
Salah satunya, Pemkab Nganjuk mengembangkan aplikasi Aplikasi Ojo Stunting.
Aplikasi ini diperuntukkan bagi para ibu muda yang melek teknologi informasi, terutama yang ingin mengetahui risiko kehamilan dan anak secara dini yang berpotensi lahir anak stunting.
Selain inovasi teknologi, pihaknya juga gencar menggelar pelatihan dan pendampingan di masyarakat.
"Sejak 2009 kami melaksanakan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh kader bersama tim kesehatan, meliputi pemeriksaan okeh ahli gizi, penyulihan, hingga pendampingan," ungkapnya.
Berbagai inovasi dan konvergensi lintas sektor tersebut pun membuahkan hasil.
Angka kematian ibu dan bayi mengalami penurunan dari 17 dan 212 pada 2010, menjadi 7 dan 57 pada 2018.
"Status gizi balita di Kabupaten Nganjuk berdasarkan survei PSG juga mengalami penurunan. Pada 2013 balita stunting sebanyak 34,3 persen, sedangkan pada 2018 diketahui hanya sebanyak 16,1 persen," kata Achmad.
Berkat itu pula, kata Achmad, Kabupaten Nganjuk memperoleh banyak penghargaan. Antara lain penghargaan Kabupaten Layak Anak (KLA) tahun 2018 oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, dan penghargaan Puskesmas Patianrowotahun 2019 sebagai Puskesmas Ramah Anak dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI.
"Keberhasilan ditentukan komitmen pimpinan di semua level secara terus menerus," imbuh Achmad.
Hal senada juga disampaikan oleh Dirjen Kesehatan Masyarakat (Kesmas) Kemenkes RI Kirana Pritasari.
Pihaknya sangat berharap para pimpinan daerah di kabupaten dan kota melakukan inovasi seperti Kabupaten Nganjuk.
Menurutnya, otoritas pemerintah daerah diperlukan untuk mendorong keberlangsungan sistem kesehatan di daerah yang bersangkutan.
"Dari capaian yang disampaikan Pak Achmad tadi, artinya sistem kesehatannya berjalan efektif. Kami dorong pemerintah kabupaten dan kota yang lain bisa melakukan itu," pungkas alumnus Fakultas Kedokteran UGM itu. (jos/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... 188.996 Balita di Kabupaten Bogor Mengalami Stunting
Redaktur : Tim Redaksi