jpnn.com - JAKARTA - Ketua Presidium Indonesia Police Watch Neta S. Pane mengatakan, selain korupsi, di negeri ini aksi pungutan liar (pungli) juga menggila di berbagai sektor pelayanan pemerintah.
Karenanya, ia menyarankan kepolisian membentuk Detasemen Khusus Antipungli, bukanDensus Antikorupsi.
BACA JUGA: Presiden Tegaskan Lagi, Kemacetan Tanggung Jawab Kepala Daerah
"IPW menilai ketimbang Kapolri Sutarman membentuk Densus Antikorupsi seperti usulan Komisi 3 DPR, lebih baik membentuk Densus Antipungli," katanya, Minggu (10/11).
Menurutnya, kasus korupsi sudah diurus sama Komisi Pemberantasan Korupsi. Sedangkan pungli belum ada institusi penindaknya. Akibatnya aksi pungli terbiarkan dan terus menerus merugikan masyarakat. "Untuk itu sudah saatnya pemerintah membentuk Densus Antipungli," paparnya.
BACA JUGA: Hari Ini, 484 WNI Overstayers Tiba di Tanah Air
Dijelaskan Neta, Densus ini nantinya turun ke lapangan untuk memantau, menangkap, memproses, dan melimpahkan kasus tangkap tangan aksi pungli agar bisa dibawa ke pengadilan.
Menurutnya, tidak adanya institusi yang menindak praktek-praktek pungli membuat aparatur pemerintah bebas melakukan pungli kepada masyarakat.
BACA JUGA: KPK Larang Adik Atut Ikut Melayat
"Aksi pungli terjadi mulai dari pengurusan akte kelahiran, pengurusan IMB, izin Amdal di BPLHD, dokumen Imigrasi, di lembaga pemasyarakatan, pengurusan Kir angkutan umum, pengurusan SIM, STNK, dan BPKB, sampai pengurusan izin pemakaman," jelasnya.
Dia menegaskan nilai pungli di masing-masing institusi bisa mencapai puluhan miliar rupiah perhari. Ombudsman misalnya, menemukan pungli di Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jabodetabek antara Rp 30 juta sampai Rp 50 juta untuk satu surat Amdal. ICW Kepri menemukan, satu TKI dipungut Rp 150 ribu saat melintas Batam Center dan setiap hari ada 500 TKI yang melintas.
Artinya terjadi pungli Rp 75 miliar perhari. Data Migrant Care menyebutkan, setiap TKI yang melintas di Terminal TKI Cengkarang dipungut biaya troli sekitar Rp 20.000. "Padahal setiap hari ada 800-1000 TKI yang pulang," ujarnya.
Dalam pengurusan KIR resminya Rp 87.000, nyatanya masyarakat harus membayar Rp 300 ribu. Begitu juga dalam pengurusan SIM, resminya hanya Rp 110 ribu tapi faktanya masyarakat dipersulit dengan berbagai cara hingga akhirnya terpaksa membayar antara Rp 500 ribu sampai Rp 600 ribu untuk mendapatkan SIM.
"Praktek pungli ini perlu segera diberantas karena tak kalah ganasnya dengan aksi korupsi pejabat pemerintah. Untuk itu perlu dibentuk Densus Antipungli," pungkas Neta. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Presiden Sampaikan Rasa Duka
Redaktur : Tim Redaksi