BANJARMASIN – Gubernur Kalsel Rudy Ariffin membantah data Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) yang menyebut Kalsel sebagai daerah terkorup di Indonesia. Menurut Rudy, penilaian tersebut hanya melihat dari belum selesainya sejumlah bagian dan disimpulkan berpotensi ada penyelewengan.
“Yang diumumkan oleh Fitra tersebut mungkin hanya temuan saja. Hanya tidak lanjut dari hasil BPK. Tapi belum tentu adanya terbukti tindakan korupsi di situ,” kata Rudy Ariffin sebagaimana diberitakan Radar Banjarmasin, Selasa (25/6).
Ia menambahkan, ada sejumlah aspek yang menyebabkan adanya temuan tersebut, seperti masih ada sejumlah denda proyek yang belum terbayar. Denda ini diberikan karena pengerjaan lapangan yang tidak tepat waktu. Atau pengerjaan selesai belum pada waktunya. Hal ini dinilai dapat berpotensi menyebabkan kerugian negara.
“Jadi itu semua hanya potensi dari temuan. Tidak serta merta ada penyimpangan. Belum tentu itu ada ditemukan kerugian. Tidak bisa langsung menyebut Kalsel menjadi daerah terkorup di Indonesia,”cetusnya.
Di Kalsel, terdapat 8 temuan dengan nilai indikasi kerugian Rp 10,8 miliar. Menanggapi itu, Rudy memilih untuk mendalami laporan tersebut. “Nanti akan dilihat dulu apa saja delapan temuan tersebut. Akan kami telusuri terlebih dahulu,” ucapnya.
Sementara Ketua DPRD Kalsel Nasib Alamsyah memilih untuk tidak memberikan komentar mengenai laporan tersebut. Nasib Alamsyah malah mempertanyakan objektivitas dari laporan Fitra. “Penilaian tersebut apakah objektif atau tidak. Saya tidak berkomentar untuk masalah itu,” ucapnya singkat.
Sebelumnya, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) merilis ada 5 provinsi di Indonesia yang terindikasi terkorup dalam penggunaan anggaran belanja modal untuk fasilitas umum. Hal ini berdasarkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di semester II di tahun 2012.
Lima provinsi itu di antaranya Papua Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Aceh, dan Maluku Utara. "Paling tinggi temuan dari provinsi Papua Barat dengan jumlah kasus sebanyak 10 temuan dengan nilai indikasi kerugian Rp 86.7 miliar," kata Koordinator Advokasi FITRA, Maulana dalam jumpa pers di Jakarta Pusat, Minggu (23/6).
Sementara itu, di Kalimantan Timur terdapat 2 temuan dengan nilai Rp 29,6 miliar. Di Kalsel, terdapat 8 temuan dengan nilai indikasi kerugian Rp 10,8 miliar. Di Aceh terdapat 18 temuan dengan nilai indikasi kerugian Rp 7,8 miliar. Terakhir di Maluku Utara terdapat 28 temuan dengan nilai Rp 5,7 miliar.
Menurut Maulana dari temuan-temuan dugaan kerugian itu kebanyakan berasal dari modus pekerjaan/proyek tidak sesuai kontrak, pemberian jaminan pelaksanaan proyek tidak sesuai prosedur dan denda keterlambatan pekerjaan/ proyek yang belum ditagih atau disetor ke kas negara/daerah.
"Hal ini menunjukkan ada yang tidak beres dalam penyelenggaraan lelang pengadaan barang dan jasa di pemerintahan daerah," tandas Maulana. (mrn/fuz/jpnn)
“Yang diumumkan oleh Fitra tersebut mungkin hanya temuan saja. Hanya tidak lanjut dari hasil BPK. Tapi belum tentu adanya terbukti tindakan korupsi di situ,” kata Rudy Ariffin sebagaimana diberitakan Radar Banjarmasin, Selasa (25/6).
Ia menambahkan, ada sejumlah aspek yang menyebabkan adanya temuan tersebut, seperti masih ada sejumlah denda proyek yang belum terbayar. Denda ini diberikan karena pengerjaan lapangan yang tidak tepat waktu. Atau pengerjaan selesai belum pada waktunya. Hal ini dinilai dapat berpotensi menyebabkan kerugian negara.
“Jadi itu semua hanya potensi dari temuan. Tidak serta merta ada penyimpangan. Belum tentu itu ada ditemukan kerugian. Tidak bisa langsung menyebut Kalsel menjadi daerah terkorup di Indonesia,”cetusnya.
Di Kalsel, terdapat 8 temuan dengan nilai indikasi kerugian Rp 10,8 miliar. Menanggapi itu, Rudy memilih untuk mendalami laporan tersebut. “Nanti akan dilihat dulu apa saja delapan temuan tersebut. Akan kami telusuri terlebih dahulu,” ucapnya.
Sementara Ketua DPRD Kalsel Nasib Alamsyah memilih untuk tidak memberikan komentar mengenai laporan tersebut. Nasib Alamsyah malah mempertanyakan objektivitas dari laporan Fitra. “Penilaian tersebut apakah objektif atau tidak. Saya tidak berkomentar untuk masalah itu,” ucapnya singkat.
Sebelumnya, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) merilis ada 5 provinsi di Indonesia yang terindikasi terkorup dalam penggunaan anggaran belanja modal untuk fasilitas umum. Hal ini berdasarkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di semester II di tahun 2012.
Lima provinsi itu di antaranya Papua Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Aceh, dan Maluku Utara. "Paling tinggi temuan dari provinsi Papua Barat dengan jumlah kasus sebanyak 10 temuan dengan nilai indikasi kerugian Rp 86.7 miliar," kata Koordinator Advokasi FITRA, Maulana dalam jumpa pers di Jakarta Pusat, Minggu (23/6).
Sementara itu, di Kalimantan Timur terdapat 2 temuan dengan nilai Rp 29,6 miliar. Di Kalsel, terdapat 8 temuan dengan nilai indikasi kerugian Rp 10,8 miliar. Di Aceh terdapat 18 temuan dengan nilai indikasi kerugian Rp 7,8 miliar. Terakhir di Maluku Utara terdapat 28 temuan dengan nilai Rp 5,7 miliar.
Menurut Maulana dari temuan-temuan dugaan kerugian itu kebanyakan berasal dari modus pekerjaan/proyek tidak sesuai kontrak, pemberian jaminan pelaksanaan proyek tidak sesuai prosedur dan denda keterlambatan pekerjaan/ proyek yang belum ditagih atau disetor ke kas negara/daerah.
"Hal ini menunjukkan ada yang tidak beres dalam penyelenggaraan lelang pengadaan barang dan jasa di pemerintahan daerah," tandas Maulana. (mrn/fuz/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Biaya Cerai Ternyata lebih Mahal
Redaktur : Tim Redaksi