NAMA teh Arab yang lazim dikonsumsi oleh warga negeri gurun di kawasan Puncak menarik perhatian banyak orang belakangan ini.
Maklum, daun tanaman Chata Edulis atau Ghat atau juga Khat yang menjadi bahan baku teh yang familiar di timur tengah (Timteng) sudah dipastikan mengandung zat Cathinone atau Katinona. Tanaman ini pun kemudian ramai-ramai diburu untuk dimusnahkan.
------
Zat chatinone yang kemudian disebut Badan Narkotikan NAsional (BNN) sebagai psikotropika jenis baru pada kasus Raffi Ahmad. Namun, sajian the Arab masih belum dipastikan apakah masuk kategori halal atau haram untuk dikonsumsi.
Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) Lukmanul Hakim mengungkapkan hal itu kepada INDOPOS, kemarin.
Menurut Lukamnul, sebagai senyawa tunggal, katinona memiliki dampak membahayakan. Tapi, apakah jika kemudian dauh Ghat dengan kandungan katinona yang diseduh sebagai teh juga memiliki dampak serupa masih belum bisa dipastikan. Lukman menyebut, daun yang diseduh bisa memunculkan dua kemungkinan. Antagonis dan sinergis.
Kemungkinan antagonis adalah yang bersifat meracun atau membahayakan, sedangkan sinergis adalah kebalikannya. Dalam selembar daun Ghat, patut diduga bukan hanya mengandung katinona saja. Ada kemungkinan zat-zat lain yang bisa saja justru memantik fungsi sinergis seduhan daun Ghat.
’’Saya rasa perlu penelitian lebih jauh untuk memastikan apakah seduhan daun Ghat itu berbahaya atau tidak,’’ katanya. Kepastian tersebut dinilai penting untuk memberikan informasi yang jelas kepada banyak orang tentang halal dan haramnya teh Arab.
Lukman mengambil contoh cafein yang terdapat dalam kopi. ”Andai kopi diesktrak sedemikian rupa dan cafein menjadi zat senyawa tunggal lalu dikonsumsi, dampaknya pasti membahayakan. Tetapi, bukan lantas kami mengklasifikasikan kopi sebagai sesuatu yang haram bukan?” katanya.
Lukman memastikan pihaknya tidak berani sembarangan menyatakan sesuatu masuk kategori halaldan haram. Butuh proses serius sebelum keputusan halal haram keluar dan sah menjadi panduan bagi publik di tanah air.
Lukmanul mengingatkan, walau katinona belum masuk sebagai bahan adiktif berbahaya dalam undang-undang, bukan berarti zat tersebut dibenarkan untuk dikonsumsi.
Menurutnya, katinona sebagai senyawa tunggal terbukti berbahaya dan dengan sendirinya masuk klasifikasi tidak halal untuk dikonsumsi. ”Sekali lagi, itu sebagai senyawa tunggal. Sebagai sebuah sajian teh seduh, belum tentu. Harus ada peneltian lebih jauh untuk memastikannya. Ini menjadi wacana juga untuk melakukan penelitian,” tegasnya.
Berdasarkan informasi jaringan LPPOM MUI dengan sejumlah lembaga serupa diluar negeri, Lukamnul memastikan belum ada informasi tentang halal haram teh Arab.
Terlepas dari haram dan halalnya, Lukamnul menyatakan dukungan terhadap langkah pembasmian tanaman Ghat di kawasan Puncak. Pemsunahan tersebut dia sebut sebagai tindakan preventif yang sepantasnya diambil. ’’Takutnya kalau kemudian ada yang kreatif melakukan pelarutan senyawa katinona pada daun itu,’’ jelasnya.
Sebelumnya, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyatakan tidak memiliki kewenangan untuk mengawasi peredaran katinona. Alasannya, zat tersebut tidak termasuk dalam kategori obat-obatan dan narkotika dengan efek terapi. ’’Jadi kita tidak punya wewenang untuk mengawasi,’’ ujar Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapeutik dan Napza BPOM Antonia Retno Tyas Utami.
Menurut Retno, katinona belum pernah masuk laboratorium untuk uji klinis kemanfaatannya bagi kesehatan manusia. Selama ini, BPOM hanya mengawasi zat-zat yang masuk dalamn kategori psikotropika yang sudah terbukti secara klinis bagi manusia.
Sementara itu, BNN terus memberantas pohon khat di sejumlah titik di Puncak, Jawa Barat. Sekitar lima hektar kebun kathinone di Cisarua, Bogor, disegel BNN. Rencana selanjutnya, tanaman narkoba itu akan dimusnahkan.
Hanya saja, para petani pemilik tanaman yang masuk dalam Golongan I daftar narkoba itu meminta ganti rugi. ”Harapannya diganti pakai pohon apa saja. Dihancurin enggak apa-apa. Asal saya enggak melanggar hukum,” ujar Nanang Surantawijaya, alias Jack ,47, salah seorang pemilik 300 meter persegi kebun pohon katinon di Cisarua.
Menurut Nanang, asal pohon katinon adalah dari pengunjung asal Timur Tengah. Warga Jalan Pasir Tugu, RT 001 RW 005, Cisarua, Bogor, itu sendiri menanam pohon tersebut sejak 2005.
Hasil panen daun katinon juga dibeli oleh turis asal Timur Tengah. Jika musim liburan, tak tanggung-tanggung, Jack bisa meraup laba Rp 3,4 juta per minggu.
"Kata orang Arab buat penambah stamina. Bagus katanya," ujarnya. Selain penambah stamina, beredar kabar bahwa pucuk daun katinon berkhasiat untuk obat berbagai macam penyakit, antara lain diabetes dan diare. Oleh karena itu, sesekali warga sekitar juga mengonsumsi untuk tujuan pengobatan.
Menurut Jack, karena menguntungkan, warga di sana terus membudidayakan ”teh arab” yang ternyata dilarang hukum itu. Apalagi, tanaman tersebut mudah tumbuh dan tidak memerlukan biaya perawatan khusus. Dalam waktu lima hari saja, pucuk muda bisa dipanen.
"Di kampung saya saja ada empat petani. Belum di luar sana, total semua ada 2 atau 3 hektar. Keuntungannya menggiurkan,” katanya.
Kabag Humas BNN, Sumirat Dwiyanto mengatakan, hingga kini, pihaknya belum menindak para petani yang menanam pohon katinon. Petani katinon tidak tahu bahwa tanaman itu adalah salah satu jenis narkotika ilmiah golongan I.
Dikatakan, pihaknya memilih akan menempuh program persuasif dengan sebutan alternative development bagi petani. Program tersebut bertujuan untuk membinaa para petani kationo untuk mengganti dengan tanaman komoditas lain. ”Kalau memang itu tanaman terkait dengan narkotika, pasti akan dilakukan seperti alternative development, seperti yang kita lakukan pada bekas petani tanaman ganja di Aceh,” ujar Sumirat.
Sementara itu, pakar Farmasi dan Kimia BNN, Mufti Djusnir, mengungkapkan, hingga saat ini, belum ada penelitian resmi yang menyatakan bahwa daun katinon memiliki khasiat dalam menyembuhkan penyakit. Dalam batas konsumsi yang wajar, pucuk daun kat tersebut tak memiliki efek negatif.
Namun, dalam jumlah konsumsi tertentu, zat chatinone yang ada dalam daun kat dapat menimbulkan reaksi layaknya zat amphetamine, bahan dasar pembuat sabu atau ekstasi, yakni memiliki efek stimulan dalam jangka panjang.
”Efek itu membuat (detak) jantung meningkat, aliran darah meningkat. Kalau tubuh masih bisa toleransi, masih bisa tahan. Namun, kalau tidak, pasti jatuh. Artinya, lebih besar negatifnya daripada positifnya,” ujar Mufti. (tir/dni)
Teh Arab, Favorit di Puncak
Harga
- Paket kecil : Rp 300.000
- Paket medium : Rp 500.000
- Paket besar : Rp 1,2 juta
Wilayah Tanam di Puncak
- 55 titik kebun
- Titik tanam di pekarangan rumah
- Total luas 5 hektar
Efek
- Konsumsi wajar tak memiliki efek negative
- Konsumsi rutin zat chatinone di daun khat dapat menimbulkan reaksi layaknya zat amphetamine.
Maklum, daun tanaman Chata Edulis atau Ghat atau juga Khat yang menjadi bahan baku teh yang familiar di timur tengah (Timteng) sudah dipastikan mengandung zat Cathinone atau Katinona. Tanaman ini pun kemudian ramai-ramai diburu untuk dimusnahkan.
------
Zat chatinone yang kemudian disebut Badan Narkotikan NAsional (BNN) sebagai psikotropika jenis baru pada kasus Raffi Ahmad. Namun, sajian the Arab masih belum dipastikan apakah masuk kategori halal atau haram untuk dikonsumsi.
Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) Lukmanul Hakim mengungkapkan hal itu kepada INDOPOS, kemarin.
Menurut Lukamnul, sebagai senyawa tunggal, katinona memiliki dampak membahayakan. Tapi, apakah jika kemudian dauh Ghat dengan kandungan katinona yang diseduh sebagai teh juga memiliki dampak serupa masih belum bisa dipastikan. Lukman menyebut, daun yang diseduh bisa memunculkan dua kemungkinan. Antagonis dan sinergis.
Kemungkinan antagonis adalah yang bersifat meracun atau membahayakan, sedangkan sinergis adalah kebalikannya. Dalam selembar daun Ghat, patut diduga bukan hanya mengandung katinona saja. Ada kemungkinan zat-zat lain yang bisa saja justru memantik fungsi sinergis seduhan daun Ghat.
’’Saya rasa perlu penelitian lebih jauh untuk memastikan apakah seduhan daun Ghat itu berbahaya atau tidak,’’ katanya. Kepastian tersebut dinilai penting untuk memberikan informasi yang jelas kepada banyak orang tentang halal dan haramnya teh Arab.
Lukman mengambil contoh cafein yang terdapat dalam kopi. ”Andai kopi diesktrak sedemikian rupa dan cafein menjadi zat senyawa tunggal lalu dikonsumsi, dampaknya pasti membahayakan. Tetapi, bukan lantas kami mengklasifikasikan kopi sebagai sesuatu yang haram bukan?” katanya.
Lukman memastikan pihaknya tidak berani sembarangan menyatakan sesuatu masuk kategori halaldan haram. Butuh proses serius sebelum keputusan halal haram keluar dan sah menjadi panduan bagi publik di tanah air.
Lukmanul mengingatkan, walau katinona belum masuk sebagai bahan adiktif berbahaya dalam undang-undang, bukan berarti zat tersebut dibenarkan untuk dikonsumsi.
Menurutnya, katinona sebagai senyawa tunggal terbukti berbahaya dan dengan sendirinya masuk klasifikasi tidak halal untuk dikonsumsi. ”Sekali lagi, itu sebagai senyawa tunggal. Sebagai sebuah sajian teh seduh, belum tentu. Harus ada peneltian lebih jauh untuk memastikannya. Ini menjadi wacana juga untuk melakukan penelitian,” tegasnya.
Berdasarkan informasi jaringan LPPOM MUI dengan sejumlah lembaga serupa diluar negeri, Lukamnul memastikan belum ada informasi tentang halal haram teh Arab.
Terlepas dari haram dan halalnya, Lukamnul menyatakan dukungan terhadap langkah pembasmian tanaman Ghat di kawasan Puncak. Pemsunahan tersebut dia sebut sebagai tindakan preventif yang sepantasnya diambil. ’’Takutnya kalau kemudian ada yang kreatif melakukan pelarutan senyawa katinona pada daun itu,’’ jelasnya.
Sebelumnya, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyatakan tidak memiliki kewenangan untuk mengawasi peredaran katinona. Alasannya, zat tersebut tidak termasuk dalam kategori obat-obatan dan narkotika dengan efek terapi. ’’Jadi kita tidak punya wewenang untuk mengawasi,’’ ujar Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapeutik dan Napza BPOM Antonia Retno Tyas Utami.
Menurut Retno, katinona belum pernah masuk laboratorium untuk uji klinis kemanfaatannya bagi kesehatan manusia. Selama ini, BPOM hanya mengawasi zat-zat yang masuk dalamn kategori psikotropika yang sudah terbukti secara klinis bagi manusia.
Sementara itu, BNN terus memberantas pohon khat di sejumlah titik di Puncak, Jawa Barat. Sekitar lima hektar kebun kathinone di Cisarua, Bogor, disegel BNN. Rencana selanjutnya, tanaman narkoba itu akan dimusnahkan.
Hanya saja, para petani pemilik tanaman yang masuk dalam Golongan I daftar narkoba itu meminta ganti rugi. ”Harapannya diganti pakai pohon apa saja. Dihancurin enggak apa-apa. Asal saya enggak melanggar hukum,” ujar Nanang Surantawijaya, alias Jack ,47, salah seorang pemilik 300 meter persegi kebun pohon katinon di Cisarua.
Menurut Nanang, asal pohon katinon adalah dari pengunjung asal Timur Tengah. Warga Jalan Pasir Tugu, RT 001 RW 005, Cisarua, Bogor, itu sendiri menanam pohon tersebut sejak 2005.
Hasil panen daun katinon juga dibeli oleh turis asal Timur Tengah. Jika musim liburan, tak tanggung-tanggung, Jack bisa meraup laba Rp 3,4 juta per minggu.
"Kata orang Arab buat penambah stamina. Bagus katanya," ujarnya. Selain penambah stamina, beredar kabar bahwa pucuk daun katinon berkhasiat untuk obat berbagai macam penyakit, antara lain diabetes dan diare. Oleh karena itu, sesekali warga sekitar juga mengonsumsi untuk tujuan pengobatan.
Menurut Jack, karena menguntungkan, warga di sana terus membudidayakan ”teh arab” yang ternyata dilarang hukum itu. Apalagi, tanaman tersebut mudah tumbuh dan tidak memerlukan biaya perawatan khusus. Dalam waktu lima hari saja, pucuk muda bisa dipanen.
"Di kampung saya saja ada empat petani. Belum di luar sana, total semua ada 2 atau 3 hektar. Keuntungannya menggiurkan,” katanya.
Kabag Humas BNN, Sumirat Dwiyanto mengatakan, hingga kini, pihaknya belum menindak para petani yang menanam pohon katinon. Petani katinon tidak tahu bahwa tanaman itu adalah salah satu jenis narkotika ilmiah golongan I.
Dikatakan, pihaknya memilih akan menempuh program persuasif dengan sebutan alternative development bagi petani. Program tersebut bertujuan untuk membinaa para petani kationo untuk mengganti dengan tanaman komoditas lain. ”Kalau memang itu tanaman terkait dengan narkotika, pasti akan dilakukan seperti alternative development, seperti yang kita lakukan pada bekas petani tanaman ganja di Aceh,” ujar Sumirat.
Sementara itu, pakar Farmasi dan Kimia BNN, Mufti Djusnir, mengungkapkan, hingga saat ini, belum ada penelitian resmi yang menyatakan bahwa daun katinon memiliki khasiat dalam menyembuhkan penyakit. Dalam batas konsumsi yang wajar, pucuk daun kat tersebut tak memiliki efek negatif.
Namun, dalam jumlah konsumsi tertentu, zat chatinone yang ada dalam daun kat dapat menimbulkan reaksi layaknya zat amphetamine, bahan dasar pembuat sabu atau ekstasi, yakni memiliki efek stimulan dalam jangka panjang.
”Efek itu membuat (detak) jantung meningkat, aliran darah meningkat. Kalau tubuh masih bisa toleransi, masih bisa tahan. Namun, kalau tidak, pasti jatuh. Artinya, lebih besar negatifnya daripada positifnya,” ujar Mufti. (tir/dni)
Teh Arab, Favorit di Puncak
Harga
- Paket kecil : Rp 300.000
- Paket medium : Rp 500.000
- Paket besar : Rp 1,2 juta
Wilayah Tanam di Puncak
- 55 titik kebun
- Titik tanam di pekarangan rumah
- Total luas 5 hektar
Efek
- Konsumsi wajar tak memiliki efek negative
- Konsumsi rutin zat chatinone di daun khat dapat menimbulkan reaksi layaknya zat amphetamine.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Guru Besar Kedokteran UGM Bikin Komik untuk Jelaskan Manusia Purba Sangiran
Redaktur : Tim Redaksi