Diserbu Impor, Harga Gabah Lokal Anjlok

Sabtu, 25 Februari 2012 – 14:45 WIB

BREBES -Harga gabah di tingkat petani anjlok drastis hingga membuat para penjual menjerit. Harga yang semula mencapai Rp 380 ribu perkuintal, kini hanya Rp Rp 320 ribu perkuintal. Turunnya harga itu diduga akibat kebijakan impor beras yang membuat penyerapan padi lokal sangat minim.

"Sudah tiga hari ini harga gabah turun, para pedagang yang sudah terlanjur membeli padi dengan sistem ijon dipastikan merugi. Karena harganya jual sekarang turun. Tentunya tidak hanya pedagang, petani kita di Brebes yang mau panen juga bisa terancam rugi," ujar Ketua Poktan Sumber Pangan Desa Tegalglagah, Kecamatan Bulakamba M Subhan.

Pihaknya menuding pemerintah harus bertanggung jawab atas anjloknya harga gabah tersebut. Sebab, dengan adanya kebijakan impor beras oleh pemerintah pusat membuat tingkat penyerapakn produksi lokal turun. "Kenapa harus impor, padahal kita ini negara agraris sumbernya pangan. Didukung oleh geopolitik dan geoekonomi, kebijakan impor beras, dan komoditas pertanian lainnya seharusnya dipertimbangkan lagi," tandasnya.

Ketua Aliansi Petani Indonesia (API) M Fadil Kirom menjelaskan, anjloknya harga gabah yang diikuti harga beras lokal itu bisa dipicu oleh beberapa faktor. Pertama, kebijakan impor beras yang makin meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2010 impor beras nasional mencpai 1,28 juta ton dan meningkat menjadi 1,9 juta lebih perton di tahun 2011. Hal ini, kata Fadil, berakibat pada rendahnya angka penyerapan produksi lokal.

"Produksi nasional untuk gabah kita sekitar 36 juta ton pertahun, sedang beras sekitar 35 juta ton. Tapi yang terserap oleh pemerintah sangat sedikit sekali, hanya sekitar 9 persennya saja," terang Fadil.

Selain itu, penyebab lain penurunan harga juga akibat tidak berjalannya sistem distribusi maupun sistem pengaman pangan seperti lumbung pangan. Faktor lain adalah karena panjangnya mata rantai proses distribusi dari petani ke konsumen. "Dihitung saja, dari pedagang ke pedagang besar, ke kecamatan dan ke mata rantai seterusnya. Ini juga sangat memboroskan biaya, hingga harga di tingkat petani sedikit sekali," kata dia.

"Di samping itu kualitas produksi lokal yang kurang bermutu akibat teknologi yang manual. Kita butuh teknologi sistem pengeringan, tidak hanya mengandalkan sinar matahari. Sebab, saat musim hujan gabah yang masuk ke penggilingan rata-rata dalam kondisi tidak siap, sehingga beras yang dihasilkan pun tidak berkualitas," papar Fadil. (ism)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dilarang Ekspor, Petani Rotan Menganggur


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler