jpnn.com, JAKARTA - Ketua MPR Bambang Soesatyo alias Bamsoet mengaku menemukan konsep legislasi bentuk dan dasar hukum pokok-pokok haluan negara (PPHN) yang paling pragmatis dan progresif tanpa amandemen.
Kandidat doktor ilmu hukum pada Universitas Padjajaran itu mengangkat judul 'PPHN sebagai Payung Hukum Pelaksanaan Pembangunan Berkesinambungan dalam Menghadapi Indonesia Emas dalam penelitian disertasi di dalam desertasinya.
BACA JUGA: Bamsoet Dorong ACN Perkuat Penerbangan Kargo di Indonesia
Bamsoet menjadikan sejumlah institusi, seperti BRIN, Lemhanas, Bappenas maupun riset di lima Kedutaan Besar negara sahabat seperti Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Rusia, Singapura, Irlandia, dan Jepang sebagai objek penelitian.
Di dalam disertasinya, dia melihat adanya benang merah yang menunjukkan negara yang sukses dalam menjalankan roda pembangunanannya, baik infrastruktur, sumber daya manusia, sumber daya alam, ideologi, ekonomi dan lainnya tanpa perencanaan yang baik, konsisten dan berkesinambungan meski berganti kepemimpinan.
BACA JUGA: Wakil Ketua MPR Tegaskan Penolakan Penghapusan Madrasah di UU Sisdiknas Harga Mati
"Dalam penelitian disertasi ini, saya menemukan konsep legislasi bentuk dan dasar hukum PPHN yang paling pragmatis dan progresif tanpa amandemen," kata Bamsoet seusai melakukan bimbingan sekaligus menyampaikan hasil penelitian disertasinya kepada Prof Ahmad M Ramly selaku promotor dan co-promotor Dr Ary Zulfikar, Sabtu (17/9).
Menurutnya, konsep legislasi bentuk dan dasar hukum PPHN tanpa amandemen itu, yakni dalam bentuk undang-undang berbasis konsensus atau konvensi ketatanegaraan dengan pengembangan penerapan teori hukum transpormatif dari Prof Ahmad M Ramly dan teori hukum pembangunan Prof Mochtar Kusumaatmaja.
"Jadi PPHN haruslah merupakan direction sekaligus pedoman pembangunan nasional yang sesuai dengan perkembangan zaman dalam menghadapi tantangan Revolusi Industri 4.0, Society 5.0, SDGs dan MDGs, dan menyongsong Indonesia Emas 2045," paparnya.
Temuan lain adalah MPR dapat mengeluarkan ketetapan yang bersifat beschikking (penetapan) dan bukan bersifat regling (mengatur).
Misalnya Tap MPR tentang pemberhentian presiden atau wakil presiden (pasal 39 ayat 1) atau dalam hal MPR memutuskan tidak memberhentikan presiden atau wakil presiden (pasal 39 ayat 2).
Contoh lain dalam praktiknya, lembaga tertinggi negara yang kini diketuainya pada pascareformasi juga pernah mengeluarkan Tap MPR Nomor 1/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan MPR periode 1960-2002.
"Jadi tidak betul jika ada anggapan MPR tidak bisa lagi mengeluarkan TAP MPR," tegasnya.
Dia menyampaikan konsesus melalui Konvensi Ketatanegaraan dapat saja dituangkan ke dalam Ketetapan MPR dalam bentuk beschikking (tanpa amandemen konstitusi) yang isinya mengamanatkan dibuatnya UU tentang PPHN yang bersifat lex specialis (bersifat khusus).
Karena itu, lanjut Bamsoet, untuk mengubah atau membatalkannya juga harus melalui Konvensi Ketatanegaraan kembali yang melibatkan seluruh lembaga tinggi negara yang diatur dalam UUD 1945.
"Mengapa? Karena jika hanya diatur dengan undang-undang biasa, rawan ditorpedo Perppu maupun di judicial review ke Mahkamah Konstitusi," jelas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar itu menambahkan sebenarnya bentuk atau payung hukum yang ideal untuk PPHN adalah tap MPR yang bersifat regeling melalui amandemen konstitusi.
Namun karena situasi politik tidak memungkinan melakukan amandemen konstitusi, harus dicarikan terobosan baru.
Terobosan baru tersebut, yakni menggunakan kewenangan MPR yang tersedia sehingga konsensus 'Konvensi Ketatanegaraan' yang melibatkan seluruh lembaga tinggi negara atau institusi-institusi negara yang secara langsung diatur atau memiliki kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945.
"Pilihan mana yang akan dipilih, kita serahkan sepenuhnya kepada keputusan Sidang Paripurna MPR," tegasnya. (mrk/jpnn)
Redaktur : Sutresno Wahyudi
Reporter : Sutresno Wahyudi, Sutresno Wahyudi