jpnn.com, NEW DELHI - Dirisak oleh staf akademik, dilarang memasuki laboratorium universitas dan bahkan ditolak menduduki kursi, Deepa P. Mohanan putus asa untuk dapat menyelesaikan PhD-nya sebagai wanita India kasta rendah. Tapi kemudian dia memutuskan untuk melawan.
Mohanan, yang meneliti pengobatan nano, menjadi gadis yang sosoknya terpampang di poster bagi puluhan ribu sesama mahasiswa Dalit ketika dia melakukan mogok makan untuk memprotes diskriminasi dan berhasil memaksa otoritas universitas memberikan janji reformasi..
BACA JUGA: Libas Ratu Bulu Tangkis India, Akane Yamaguchi Lolos ke Final Indonesia Masters 2021
"Saya sangat ingin menyelesaikan PhD saya dan menyadari bahwa itu tidak akan mungkin sampai saya secara terbuka menyerukan penghapusan diskriminasi kampus yang saya hadapi selama bertahun-tahun," kata Mohanan, 36, dalam sebuah wawancara telepon dari rumahnya di Kottayam di India selatan.
Mohanan mengakhiri mogok makan 11 harinya awal bulan ini setelah kepala Pusat Nanosains dan Nanoteknologi Universitas Internasional dan Antar Universitas Mahatma Gandhi diberhentikan menyusul keluhannya.
BACA JUGA: Indonesia Open 2021: Bantai Tunggal India, Kento Momota Curhat Soal Ini
Universitas itu juga telah membentuk sebuah komite di bawah wakil rektor untuk menyelidiki tuduhannya, yang menurut para aktivis hak asasi mencerminkan diskriminasi yang merajalela terhadap mahasiswa kasta rendah di kampus-kampus di seluruh negara berpenduduk 1,3 miliar orang itu.
Sekitar 200 juta orang dari kasta Dalit India, yang berada di anak tangga terbawah dari hierarki kasta kuno, masih berjuang untuk mengakses pendidikan dan pekerjaan enam dekade setelah India melarang diskriminasi berbasis kasta dan memperkenalkan kuota minimum untuk meningkatkan perwakilan mereka.
BACA JUGA: Pengakuan Pria Pembawa 100 Bahan Peledak Buatan India
"Diskriminasi kasta sangat lazim di kampus ... ruang kelas telah menjadi ruang yang mengerikan," kata Jenny Rowena, seorang profesor bahasa Inggris di Universitas Delhi.
Rowena, yang berkontribusi pada Saluran YouTube yang mendokumentasikan pengalaman Dalit dan komunitas terpinggirkan lainnya, mengatakan banyak siswa Dalit bolos kelas untuk menghindari dipermalukan atau putus sekolah sama sekali - memperburuk keterwakilan mereka.
Data pendidikan tinggi pemerintah menunjukkan pendaftaran siswa dari komunitas yang terpinggirkan atau kasta rendah pada 2019-20 adalah 14,7 persen dari semua siswa berusia 18-23, yang tak memenuhi kuota yang diamanatkan sebesar 15 persen di banyak bidang studi.
Mohanan, yang meneliti terbentuknya jaringan penyembuhan luka menggunakan nanopartikel, adalah satu-satunya siswa Dalit di angkatan 100 ketika ia bergabung dengan program pascasarjananya.
Seorang ibu tunggal, dia adalah orang pertama di keluarganya yang pergi ke universitas dan mengupayakan penelitian pascasarjana.
"Sungguh, saya tidak mengharapkan begitu banyak diskriminasi," kata Mohanan, yang sebelum mogok makan telah membuat banyak keluhan ke universitas dan mengajukan keluhan hukum.
"Akhirnya dalam percakapan itu terungkap bahwa jika seorang mahasiswa Dalit disukai maka akan memengaruhi kedisiplinan institusi. Saya awalnya merasa kalah tapi kemudian bertekad untuk melawan," ujarnya.
Bagi banyak mahasiswa Dalit, kehidupan kampus adalah perjuangan sehari-hari, kata Anuraji PR, wakil presiden nasional badan mahasiswa Bhim Army, yang mendukung protes Mohanan.
Banyak yang gagal dalam penilaian internal dan pengawas sering menolak untuk menjadi pemandu mereka untuk studi pascadoktoral atau mempertanyakan kemampuan mereka, kata seorang mahasiswa pascasarjana, yang meminta merahasiakan identitasnya karena dia akan mengikuti ujian.
Kuota penerimaan untuk siswa dari kelompok yang kurang terwakili, termasuk orang India kasta rendah, telah memicu diskriminasi, kata C. Lakshmanan, seorang profesor ilmu politik yang juga penyelenggara nasional Dalit Intellectual Collective.
"Siswa yang datang melalui reservasi dipandang tidak layak oleh rekan-rekan dan guru kelas atas perkotaan mereka, yang sebagian besar berasal dari ruang elite yang sama. Sangat disayangkan bahwa mogok makan diperlukan untuk memenuhi tujuan akademis."
Komisi Hibah Universitas, yang mengawasi pendidikan tinggi di India, menulis surat kepada institusi pada September mendesak mereka untuk secara ketat mencegah diskriminasi kasta di kampus.
Ia meminta universitas untuk memastikan daftar pengaduan dan situs web tersedia untuk siswa dan mengatakan sebuah komite harus dibentuk untuk memeriksanya.
Ketua dan sekretaris Komisi tidak menjawab saat dimintai komentar.
Abeda Salim Tadvi, yang memiliki putri bernama Payal yang berusia 26 tahun meninggal karena bunuh diri di kamar asrama kampusnya pada Mei 2019, menyalahkan diskriminasi kasta dan intimidasi atas kematiannya.
Sebagai dokter yang menempuh pendidikan spesialis di sebuah rumah sakit Mumbai, Payal sedang menjalani program master dalam kebidanan dan ginekologi, tetapi menghadapi pelecehan setiap hari - dari pemanggilan nama dan diminta untuk tidur di lantai oleh teman sekamar hingga dilarang menghadiri operasi penting.
"Kesedihan masih ada di hati saya ... saya tidak bisa melepaskannya," kata Tadvi, mengingat banyak percakapan dengan putrinya tentang bagaimana dia dilecehkan oleh mahasiswa yang lebih senior dalam program dokter spesialis.
"Kami mencoba mengabaikannya, mengeluh tentang hal itu tetapi pada akhirnya dia tidak bisa menghadapinya. Tidak ada mekanisme di kampus yang meyakinkan atau mendukungnya."
Tadvi, bersama dengan Radhika Vemula - yang putranya Rohith, seorang sarjana PhD di Universitas Hyderabad, bunuh diri pada 2016 dan menyinggung diskriminasi kasta dalam catatan bunuh diri - telah mengajukan petisi di pengadilan tinggi India menuntut tindakan.
Dalam petisi mereka dalam kasus yang sedang berlangsung, kedua wanita itu mengatakan semua universitas dan institusi pendidikan tinggi harus membentuk unit kesetaraan untuk memastikan keluhan tentang diskriminasi kasta ditangani.
Saat ini, jarang ada konsekuensi bagi pejabat perguruan tinggi jika kasus diskriminasi kasta dilaporkan di kampus mereka, kata pengacara perempuan, Disha Wadekar.
"Tanggapan paling umum terhadap keluhan adalah manipulasi psikis, di mana para siswa diberi tahu bahwa keluhan itu 'semua ada di kepala Anda'," katanya.
Tapi Tadvi berharap kasusnya akan membawa perubahan.
"Siswa dan orang tua harus terus mengeluh karena itulah satu-satunya cara untuk mencatat kasus yang terjadi dan menyoroti perjuangan kami," katanya dari rumahnya di Jalgaon di negara bagian Maharashtra.
Mohanan mengatakan dia juga berharap perjuangannya akan membantu membuat kehidupan siswa lebih mudah bagi Dalit lainnya.
"Begitu banyak siswa dari seluruh India menelepon saya setelah saya mengakhiri pemogokan. Mereka mengatakan merasa penuh harapan," katanya.
"Untuk mereka dan putri saya, saya senang saya angkat bicara." (ant/dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : Adil