Diskualifikasi Capres, Preseden di Pilkada dan Kelenturan Definisi TSM

Oleh Zaenal A Budiyono*

Minggu, 18 Desember 2016 – 17:17 WIB
Ilustrasi: dokumen JPNN.Com

jpnn.com - DPR melalui Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang Pemilu (RUU Pemilu) sedang membahas aturan yang akan menjadi payung hukum pelaksanaan pemilu legislatif dan presiden secara serentak pada 2019. Hal yang sedang mencuat adalah pembatalan calon presiden (capres) karena melakukan politik uang atau money politics.

Dalam RUU Pemilu, kewenangan pembatalan capres ada di Mahkamah Agung (MA). Syarat mutlak pembatalan capres adalah money politics yang tergolong terstruktur, sistematis dan masif (TSM).

BACA JUGA: Warga Curhat Soal Minimnya Fasilitas di Sekolah, Begini Tanggapan Bang Sandi

Ini merupakan terobosan penting, karena praktik money politics bertentangan dengan semangat fair play dan bisa membiaskan tujuan pendidikan politik pemilih melalui pemilu. Dengan makin kecilnya peluang capres/cawapres melakukan politik uang, diharapkan kualitas pemilu semakin meningkat, kedaulatan rakyat semakin nyata dan peluang memilih calon terbaik -yang tidak mengandalkan uang- juga sangat terbuka.

Bicara peluang apakah usulan itu bakal lolos di DPR, sepertinya memang punya peluang besar. Sudah ada preseden sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

BACA JUGA: Lari Pagi Bersama Komunitas Jakarta Berlari, Sandi Sapa Warga

Gampangnya, besar kemungkinan DPR akan mengakomodasi usulan tentang pembatalan capres/cawapres yang melakukan money politik secara TSM. Tidak mungkin semangat positif yang sudah muncul di pilkada akan dinegasikan di level pemilu nasional.

Meski begitu, aturan yang ideal tidak selalu mudah dieksekusi dalam tahapan pemilihan atau di level politik praktis. Kerasnya tarik-menarik kepentingan antar-kelompok politik di belakang pasangan capres/cawapres tentu membuat pelaksanaan hukuman diskualifikasi jauh dari bayangan.

BACA JUGA: Rano Karno Akan Revitalisasi Pasar Tradisional

Apalagi ekses politik, keamanan dan sosial dari pembatalan capres tentu sangat besar dan mahal. Ekses pembatalan calon kepala daerah karena money politik tentu tidak bisa disamakan pada diskualifikasi capres.

Belum lagi proses pembutikan pelanggaran politik uang TSM yang pastinya akan sangat kompleks di lapangan. Tafsir hukum yang berlainan dari berbagai pihak yang berkepentingan terhadap TSM juga berpotensi terjadi, sehingga akan memperlambat pemberian sanksi.

Intinya aturan itu memang ideal. Tapi di sisi lain juga berpotensi membentur tembok besar dalam pelaksanaan.

Jangan sampai UU nantinya hanya menjadi macan kertas yang garang di konsep, tapi lemah dalam pelaksanaan. Dan itu bukan hal baru di negeri ini.

Apalagi sejauh ini belum ada preseden dibatalkannya calon kepala daerah oleh KPUD karena terbukti melakukan politik uang secara TSM. Di samping pembuktiannya yang berliku, definisinya pun bisa sangat lentur.

Apakah memberikan “uang transpor” kepada massa dalam kampanye pilkada masuk kategori TSM? Apakah calon yang menyebutkan angka rupiah dalam program kerjanya juga bisa didiskuslifikasi?

Pada kasus terakhir sepertinya terjadi perbedaan pandangan antara KPUD dan penyelenggara pemilu lainnya. Khusus pilkada DKI Jakarta, KPUD secara tegas menolak program bantuan langsung sementara (BLS) yang ditawarkan pasangan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY)-Sylviana Murni sebagai politik uang yang tergolong TSM.

Tapi penyelenggara pilkada lainnya tak satu suara dengan KPU DKI. Bawaslu DKI bahkan menyebut janji Agus Yudhoyono yang akan menggelontorkan dana Rp 1 miliar per tahun untuk setiap RW sebagai bentuk politik uang.

Karenanya, di sinilah terlihat pasal TSM di UU Pilkada menjadi tidak populer sekarang ini khususnya di DKI pasca-munculnya pendapat KPUD. Sebaliknya, setelah ada pendapat KPUD, calon lain di DKI justru mengikuti pola AHY-Sylvi yang bicara APBD dalam programnya.

Kesimpulannya, untuk sementara masyarakat boleh bertepuk tangan jika KPU diberi kewenangan mendiskualifikasi pasangan yang terindikasi melakukan money politics. Tapi jangan sampai tepuk hanya berlangsung sejenak karena sulitnya memgeksekusi aturan ini. Untuk itu perlu penjelasan dari pasal TSM yang detail sehingga tidak ada lagi ruang intepretasi yang tidak perlu.

Terakhir, perlu adanya komitmen dari para elit politik untuk mengawal pasal ini, dengan cara tunduk pada aturan hukum dan perundang-undangan yang disepakati bersama.(***)

*Penulis adalah Direktur Eksekutif Developing Countries Studies Center (DCSC)/Dosen FISIP Universitas Al Azhar Indonesia.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Warga Punya NIK Ganda tak Bisa Nyoblos


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler