jpnn.com, JAKARTA - Wajah dan arah demokrasi Indonesia akan sangat terlihat jelas pasca-pilpres 2019 nanti. Namun saat ini sinyal-sinyal atau tanda-tanda perwujudan wajah dan arah demokrasi Indonesia sudah mulai telihat.
Pakar Komunikasi Politik Universitas Indonesia Boni Hargens melihat bahwa gerakan radikalisme dan fundamentalisme yang kemudian mencapai titik paling ekstrim yakni aksi terorisme mewarnai proses politik dan demokrasi di Indonesia.
BACA JUGA: MPR Sampaikan Duka Mendalam pada Korban Bencana di Sulteng
“Belakangan sejak 2016, kami punya data yang cukup banyak tentang gerakan radikalisasi fundamentalisme yang kemudian pada titik paling ekstrim pun menjadi terorisme ini terjadi setelah 2016, menjelang Pilkada DKI Jakarta,” kata Boni dalam Diskusi Empat Pilar MPR RI dengan tema “Nilai-Nilai Kebangsaan Menangkal Budaya Radikalisme” di Ruang Diskusi Media Centre Parlemen, Kompleks Gedung MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta, Senin (1/10/208).
Pembicara lain dalam diskusi ini adalah Anggota MPR Fraksi Partai Golkar Satya Widya Yudha dan anggota MPR RI dari Fraksi Gerindra Sodik Muhajid.
BACA JUGA: Harapan Ketua MPR kepada Kontingen Paragames Indonesia
Para pembicara Diskusi Empat Pilar MPR RI di Media Center Parlemen, Senin (1/10). Foto: Friederich Batari/JPNN.com
BACA JUGA: Kampanye Pilpres Harus Bisa Menjaga Kebinekaan
Lebih lanjut, Boni mengungkapkan gelombang radikalisasi meningkat sangat panjang yang memang sudah ada jauh sebelumnya tahun 1983. Di era orde baru ternyata cukup kuat untuk meredam kekuatan radikalisme. Tetapi setelah 1998, kepemimpinan demokrasi memungkinkan sebuah ‘kelompok’ kemudian hidup.
Namun, Boni melihat tidak ada ancaman yang serius dari kelompok radikalisme pada era 1998-2004. Tahun 2004-2014 ini yang sebetulnya menjadi masa inkubasi yang sangat efektif buat kelompok radikal. Ketika itu, pemerintahan kala itu tidak banyak memberi perhatian untuk menangkal perkembangbiakan kelompok-kelompok radikal. Ini akhirnya apa selama 10 tahun ‘mereka’ berkembang dan masuk ke berbagai institusi.
“Memang ganjalan demokrasi Indonesia adalah selain radikalisme juga komunisme, namun pasca kejadian pemberontakan G 30 S/PKI dan memang PKI kemudian ditetapkan menjadi organisasi terlarang, namun dalam konteks kekinian kembali hidupnya PKI menurut saya banyak ilusinya sedangkan radikalisme sampai mengarah ke terorisme adalah fakta yang harus diwaspadai,” ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, anggota MPR RI Fraksi Golkar Satya Widya Yudha mengatakan bahwa dalam dunia perpolitikan global saat ini, ada satu tren yang muncul bermula dari Amerika Serikat terutama kemenangan Donald Trumph dalam perebutan kursi Presiden Amerika Serikat yakni Trumph membawa isu conservative politics atau politik konservatif. Dari situlah, mulai ada tren pergeseran dunia politik dari modern politics ke concervative politics dan tren tersevut masuk juga ke Indonesia.
“Politik konservatif memang lahir dari perbedaan. Jadi dia membawa isu ras, isu agama, dia membawa isu yang membedakan satu dengan yang lain, itulah konservatif. Hillary Clinton waktu itu juga berhasil memakai isu konservatif. Dia merangkum keberagaman menjadi satu tujuan dan dia menang karena justru keberagamannya. Dia bisa membawa ke Unity in diversity seperti Indonesia dengan segala macam perbedaan yang bersatu itulah bangsa Amerika,” katanya.
Politik konservatif kemudian menjadi isu yang masuk ke Indonesia dan gejala masuknya isu tersebut menjadi kekhawatiran semua.
“Tapi, jika kita kembali acuan politik kita kepada Empat Pilar maka selesai sudah tidak akan ada gejolak dan masalah. Sebab, yang digugat dalam konservatif politik di dunia politik dan demokrasi Indonesia itu mau mengobrak abrik Empat Pilar itu sendiri. Jadi, kalau kita mau mengakui founding father kita yang sudah menyelesaikan keberbedaan kita semua menjadi satu tujuan dan kita yakini itu maka, isu konservatif menjadi tidak relevan lagi,” terangnya.
Anggota MPR RI Fraksi Gerindra Sodik Mujahid mengajak seluruh rakyat Indonesia dalam menyikapi persoalan radikalisme dalam politik Indonesia agar tidak terburu-buru mencap satu pihak sebagai radikal atau radikalisme hanya karena berbeda pendapat atau pandangan atau melakukan pengembangan terhadap Pancasila.
Menurutnya, Pancasila tidak ada kalau Bung Karno tidak berpikir radikal antara kapitalisme dan komunisme. Tanggal 28 Oktober tidak akan ada sumpah pemuda, kala tidak berpikir radikal. Jadi, harus jelas ukuran radikalisme itu apa. Jadi ini juga harus kita waspadai dan cermat apa ukuran radikalnya, apa langkah-langkahnya,” kata Sodik.
“Bisa jadi yang di lapangan itu mereka tidak merupakan bagian dari mainstream pikiran-pikiran radikal, itu katakanlah oknum-oknum. Dan mereka tidak punya acuan-acuan yang kuat. Tapi, kalau sampai ingin mengganti Pancasila itu yang tidak boleh dan harus dilawan,” katanya lagi.(adv/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Cak Imin Ajak Generasi Milenial Aktif jadi Relawan Persatuan
Redaktur & Reporter : Friederich