Diskusi, Puisi, hingga Bernyanyi, Bedah Buku Jadi Temu Kangen

Kamis, 28 Agustus 2014 – 17:58 WIB
AKRAB: Ishadi (bertopi) bernyanyi disaksikan Dirut Jawa Pos Koran Azrul Ananda (empat dari kiri), Gus Ipul (tengah), dan Direktur Jawa Pos Koran Leak Kustiya (empat dari kanan). Guslan Gumilang/Jawa Pos/JPNN.com

jpnn.com - KALAU biasanya menjadi orang di balik layar, Ishadi Soetopo Kartosapoetro atau yang biasa dikenal sebagai Ishadi S.K. kali ini menjadi bintang dalam film pendeknya sendiri. Bak seorang pertapa, pria kelahiran Majene, 71 tahun silam, itu menikmati perkembangan dunia jurnalistik dalam keheningan dan kesejukan alam Sukabumi.


Laporan Rima Gusriana Harahap, Surabaya
=====================================

BACA JUGA: Kisah Bupati Kukar yang Takut Korupsi dan tak Peduli Gaji


Semua tergambar lewat video singkat yang diputar sebagai pembuka acara bedah buku Media dan Kekuasaan: Televisi di Hari-Hari Terakhir Presiden Soeharto di Semanggi Room, Graha Pena Jawa Pos,kemarin (27/8).

”Baru kali ini saya bedah buku, yang datang dikasih gratis. Biasanya beli,” canda Ishadi disambut gelak tawa hadirin. Bersama Jawa Pos,komisaris Trans Media itu melangsungkan bedah buku untuk kali ke-9 dalam lima bulan terakhir. Sebelumnya dia ke Jakarta, Semarang, dan Palembang sambil menyambangi beberapa universitas dan forum diskusi.

BACA JUGA: Dulu Jadi Bahan Ejekan, Kini Role Model

Bedah bukunya kali ini, dituturkan Ishadi, ibarat pulang ke rumah sendiri. Atmosfer kewartawanan begitu kentara. Didampingi Wakil Gubernur Jawa Timur Saifullah Yusuf, redaktur buku Jawa Pos Tatang Mahardika, berikut kolumnis Ruang Putih Jawa Pos A.S. Laksana, Ishadi memaparkan berbagai cerita di balik suka duka dunia newsroom,terutama di masa-masa akhir kekuasaan Soeharto.

Buku yang merupakan adaptasi populer dari disertasinya 12 tahun silam itu serupa kliping sejarah yang mengejewantahkan kembali peristiwa-peristiwa heroik di balik meja redaksi dan bagaimana media –khususnya televisi– bisa begitu berperan dalam mencetak jejak baru perjalanan suatu bangsa. ”Siapa menguasai media, menguasai dunia,” tutur Ishadi mengutip pernyataan John Naisbitt, public speaker asal AS.

BACA JUGA: Mama Kolektor Hello Kitty, Anak Penggemar Action Figure

Peran media, ungkap dia, menjadi amat penting dalam mengawal proses perkembangan suatu bangsa. Indonesia tengah berada dalam era transisi, yakni saat sumber daya manusia dan kekayaan alam melesat maju dan saling melengkapi. Optimisme itulah yang senantiasa harus dijaga. Caranya, dengan tindak tanduk media dalam menyajikan tayangan-tayangan yang mencerdaskan.

Dua sisi media yang kini dinikmati diharapkan senantiasa berimbang. Dua hal itu, yakni kebebasan dan tanggung jawab, sempat berjalan timpang di era Orde Baru. Saat itu belenggu kekuasaan dirasakan betul dalam kontrol segmen pemberitaan.

Era pascareformasi seperti sekarang, sebagai wujud transformasi media dari yang semula agen pemerintah (agent of government), media tumbuh menjadi sebuah industri dan menyatakan diri sebagai mitra pemerintah.

”Pers itu subur hidupnya kalau ada kebebasan, tapi akan survive kalau ada tanggung jawab,” ujar pria kelahiran 30 April 1943 tersebut. Pers, ujar dia, bahkan bisa jadi partai sendiri dalam urusan isu-isu politik. Perkembangan itulah yang kini patut diapresiasi sebagai bagian dari perkembangan demokrasi.

Perjalanan hidup yang bagi Ishadi mengalir bagaikan air itu telah mengantarkannya memilih jalan pengabdian sebagai insan media yang kukuh memberikan manfaat.

Hal tersebut tergambar lewat berbagai hasil karyanya untuk mass media sejak terjun pertama sebagai reporter TVRI pada 1968. Ishadi menggawangi perjalanan kejurnalisan di berbagai stasiun televisi pemerintah dan swasta.

Sekitar 60 menit Ishadi memutar kembali ingatan orang-orang terhadap pergolakan bangsa di era reformasi 1998. Sebagai pelaku sejarah lewat perannya di Departemen Penerangan RI, Ishadi paham betul geliat pers serta tantangannya kala itu. Mengumpulkan referensi dari sumber-sumber langsung, Ishadi meramu kembali potongan-potongan berita menjadi suatu kisah yang utuh. Menghadirkan kembali dalam bentuk disertasi dan rangkuman sejarah yang menyeluruh.          

Jejak perkembangan media juga sempat dicicipi sastrawan Jawa asal Surabaya Suparto Brata. Duduk di deretan bangku terdepan peserta diskusi, Suparto mem-flash back masa lalunya saat kali pertama berkenalan dengan Ishadi. ”Tahun ’69 atau ’70 kami harus berangkat satu hari dari Surabaya ke Jakarta untuk mengirimkan kaset video pembangunan di daerah. Dulu saya mengantarkan langsung ke Pak Ishadi di TVRI,” ujar pria 82 tahun itu.

Zaman sekarang, tutur Suparto, dunia pers berkembang begitu cepat. Apa yang terjadi sekarang sudah bisa langsung diberitakan di televisi. ”Tapi, saya lebih suka baca koran,” tutur dia.

Isi buku Ishadi yang sarat muatan juga diakui kritikus sastra A.S. Laksana, mantan mahasiswa Ishadi. Penuturan yang lengkap dan mengalir, ujar dia, diibaratkan bagai cerita dari seorang guru kepada muridnya.

Hal serupa diungkapkan Wakil Gubernur Jawa Timur Saifullah Yusuf yang juga pernah mengecap dunia pewartaan. Buku yang dibuat seorang jurnalis, ujar Gus Ipul (sapaan Saifullah Yusuf), terasa berbeda dan memiliki kekuatan bercerita. ”Wartawan harus terus belajar hingga tulisannya menarik dibaca dan mencerdaskan masyarakat,” tutur Gus Ipul.

Setelah bernostalgia dengan pergelutan pers era reformasi, Ishadi menunjukkan sisi romantismenya lewat seuntai puisi, Dua Tubuh Satu Jiwa,salah satu prosa gubahannya dari karya Puisi untuk Meis: Puisi-puisi Cinta dan Sebayanya. Puisi itu diciptakan saat dia kuliah di Ohio pada 1982.

Berdua, kami berdua/ berdua, kami kemarin/ berdua, kami hari ini/ berdua, kami esok/ berdua, kami kemudian/ berdua, kami berdua/ berdua, kami dilahirkan untuk senasib/ karena kami adalah dua tubuh, satu jiwa.

Ya, puisi adalah salah satu cara peraih gelar doktor komunikasi Universitas Indonesia itu mencurahkan isi hati. Tak cukup sampai di situ, larik-larik Pohon Oak Tua pun turut disyairkan suami Djuwariyah tersebut.

Acara berlanjut dengan sesi tanya jawab yang penuh pertanyaan menggelitik dari hadirin. Tak menjawab semua, Ishadi justru memaparkan secara umum tentang perkembangan pers yang menjadi dunianya. Sesi bedah buku kemudian ditutup dengan pekik semangat pria yang berdomisili di Sukabumi itu lewat lantunan suara renyahnya dalam tembang Bongkar.

Siang itu, waktu keberangkatan pesawat ke Jakarta sudah mepet. Tapi, niat ayah dua anak tersebut tak surut untuk menyalurkan hobi bernyanyinya.

Sesudah menikmati santap siang, Ishadi kembali menghibur lewat tembang Yank dari Wali Band serta Country Road,duet bersama Gus Ipul. Ya,Ishadi benar-benar merasa pulang ke rumah sendiri. (*/c10/dos)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Berawal dari Pengabdian Tulus PNS Golongan Rendah


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler