JAKARTA - Kesenjangan atau disparitas kualitas kesehatan antardaerah masih sangat tinggi. Salah satu indikatornya adalah perbedaan yang sangat mencolok terkait Angka Harapan Hidup (AHH). Untuk itu, Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) berkolaborasi dengan Kementerian Kesehatan memprioritaskan penempatan tenaga kesehatan di 158 daerah tertinggal.
’’Tenaga kesehatan, khususnya bidan desa, akan kami tempatkan pada 24 pulau terluar berpenghuni. Tenaga tersebut akan diambil dari tujuh universitas yang bekerja sama dengan kami,’’ kata Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal Helmy Faishal Zaini di Jakarta, Senin, (11/3).
Pria asli Cirebon, Jawa Barat tersebut menjelaskan, kesenjangan yang sangat tinggi tentang kualitas kesehatan antardaerah membutuhkan perhatian yang sangat khusus. Berdasarkan data Susenas 2010 dapat dilihat kualitas kesehatan provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Kalimantan Selatan (Kalsel), dan Banten yang diwakili dengan AHH berturut-turut di antaranya 62,11; 63,8; dan 64,9. Tertinggal jauh dibandingkan dengan AHH Jogjakarta sebesar 73,22 merupakan provinsi tertinggi AHH secara nasional.
Hal ini menunjukkan bahwa dibutuhkan waktu sebanyak 37 tahun untuk NTB, 29 tahun untuk Kalsel, 26 tahun untuk Banten dalam mengejar AHH Jogjakarta dengan mempertimbangkan pertumbuhan AHH selama 10 tahun sejak 2000 – 2010. Kebijakan nasional pembangunan daerah tertinggal dalam kerangka pencapaian misi pembangunan yang inklusif dan berkeadilan diarahkan pada pembangunan sumber daya manusia dan ekonomi lokal, dengan sasaran IPM 72,2; Pertumbuhan Ekonomi 7,1; dan Kemiskinan 14,2 persen pada 2014. Situasi kesenjangan antara kondisi aktual saat ini dan target yang harus dicapai, membutuhkan kebijakan yang bersifat afirmatif dan inovatif.
Percepatan pembangunan kesehatan di daerah tertinggal ditujukan pada penjaminan dan pengutamaan bagi ketersediaan lima determinan faktor utama kualitas kesehatan yaitu; Dokter Puskesmas, Bidan Desa, Air Bersih, Sanitasi dan Gizi seimbang, terutama pada ibu hamil, ibu menyusui dan balita.
Helmy mengatakan, dalam waktu dekat ini akan dikeluarkan Peraturan Menteri PDT tentang Pedoman Tata Kelola Perdesaan Sehat sebagai acuan Kementerian/Lembaga dan stakeholders lainnya agar sinergi, sinkron dan terintegrasi sehingga efektif dan efisien. KPDT dan Kemenkes memiliki komitmen yang sama untuk mendukung percepatan peningkataan pelayanan kesehatan dasar (promotif dan preventif) yang berkualitas dan peningkatan keberdayaan masyarakat dalam pembangunan kesehatan berbasis perdesaan di daerah tertinggal, terdepan, terluar dan pasca konflik.
’’Pelaksanaan tatakelola perdesaan sehat melalui kelompok kerja (Pokja) Perdesaan Sehat yang sekretariatnya berada di Kementrian PDT,’’ ujarnya.
Pada bagian lain, Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi mengatakan, pihaknya sepakat dengan KPDT untuk memeratakan distribusi tenaga medis di daerah. Di sejumlah daerah terpencil memang masih sangat minim tenaga medis. Apalagi ini diperparah dengan program dokter PTT yang hanya setahun. ’’Tahun ini kami programkan PTT itu harus dua tahun agar benar-benar bisa melayani warga dengan baik,’’ ujarnya.
Nafsiah juga sudah mengirimkan rekomendasi kepada kementerian terkait untuk masalah kesenjangan antara tenaga medis di perkotaan dan daerah terpencil. ’’Selain soal gaji yang minim, kami akan mengembangkan program telemedicine. Jadi nanti pasien tak perlu dibawa ke kota. Asal ada internet di puskesmas, bidan terkait bisa berkonsultasi dengan rumah sakit tertentu untuk membantu dalam pengananan pasien lewat teknologi Skype,’’ pungkasnya. (irz)
’’Tenaga kesehatan, khususnya bidan desa, akan kami tempatkan pada 24 pulau terluar berpenghuni. Tenaga tersebut akan diambil dari tujuh universitas yang bekerja sama dengan kami,’’ kata Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal Helmy Faishal Zaini di Jakarta, Senin, (11/3).
Pria asli Cirebon, Jawa Barat tersebut menjelaskan, kesenjangan yang sangat tinggi tentang kualitas kesehatan antardaerah membutuhkan perhatian yang sangat khusus. Berdasarkan data Susenas 2010 dapat dilihat kualitas kesehatan provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Kalimantan Selatan (Kalsel), dan Banten yang diwakili dengan AHH berturut-turut di antaranya 62,11; 63,8; dan 64,9. Tertinggal jauh dibandingkan dengan AHH Jogjakarta sebesar 73,22 merupakan provinsi tertinggi AHH secara nasional.
Hal ini menunjukkan bahwa dibutuhkan waktu sebanyak 37 tahun untuk NTB, 29 tahun untuk Kalsel, 26 tahun untuk Banten dalam mengejar AHH Jogjakarta dengan mempertimbangkan pertumbuhan AHH selama 10 tahun sejak 2000 – 2010. Kebijakan nasional pembangunan daerah tertinggal dalam kerangka pencapaian misi pembangunan yang inklusif dan berkeadilan diarahkan pada pembangunan sumber daya manusia dan ekonomi lokal, dengan sasaran IPM 72,2; Pertumbuhan Ekonomi 7,1; dan Kemiskinan 14,2 persen pada 2014. Situasi kesenjangan antara kondisi aktual saat ini dan target yang harus dicapai, membutuhkan kebijakan yang bersifat afirmatif dan inovatif.
Percepatan pembangunan kesehatan di daerah tertinggal ditujukan pada penjaminan dan pengutamaan bagi ketersediaan lima determinan faktor utama kualitas kesehatan yaitu; Dokter Puskesmas, Bidan Desa, Air Bersih, Sanitasi dan Gizi seimbang, terutama pada ibu hamil, ibu menyusui dan balita.
Helmy mengatakan, dalam waktu dekat ini akan dikeluarkan Peraturan Menteri PDT tentang Pedoman Tata Kelola Perdesaan Sehat sebagai acuan Kementerian/Lembaga dan stakeholders lainnya agar sinergi, sinkron dan terintegrasi sehingga efektif dan efisien. KPDT dan Kemenkes memiliki komitmen yang sama untuk mendukung percepatan peningkataan pelayanan kesehatan dasar (promotif dan preventif) yang berkualitas dan peningkatan keberdayaan masyarakat dalam pembangunan kesehatan berbasis perdesaan di daerah tertinggal, terdepan, terluar dan pasca konflik.
’’Pelaksanaan tatakelola perdesaan sehat melalui kelompok kerja (Pokja) Perdesaan Sehat yang sekretariatnya berada di Kementrian PDT,’’ ujarnya.
Pada bagian lain, Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi mengatakan, pihaknya sepakat dengan KPDT untuk memeratakan distribusi tenaga medis di daerah. Di sejumlah daerah terpencil memang masih sangat minim tenaga medis. Apalagi ini diperparah dengan program dokter PTT yang hanya setahun. ’’Tahun ini kami programkan PTT itu harus dua tahun agar benar-benar bisa melayani warga dengan baik,’’ ujarnya.
Nafsiah juga sudah mengirimkan rekomendasi kepada kementerian terkait untuk masalah kesenjangan antara tenaga medis di perkotaan dan daerah terpencil. ’’Selain soal gaji yang minim, kami akan mengembangkan program telemedicine. Jadi nanti pasien tak perlu dibawa ke kota. Asal ada internet di puskesmas, bidan terkait bisa berkonsultasi dengan rumah sakit tertentu untuk membantu dalam pengananan pasien lewat teknologi Skype,’’ pungkasnya. (irz)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Lebih Akrab, Merpati pun Butuh Belaian
Redaktur : Tim Redaksi