DISTRIBUSI ternak, terutama sapi, hingga kini masih menjadi masalah. Ini salah satu penyebab tingginya harga sapi di tanah air. Ini diperparah dengan dugaan adanya permainan kuota impor sapi untuk menguntungkan para importir. Jika distribusi ternak bagus dan hemat, bisa jadi ini bisa menekan angka impor sekaligus menekan harga dasing sapi di pasaran.
---------------------------------
Di Jawa, sampai saat ini pengangkutan sapi dari berbagai daerah masih mengandalkan transportasi darat dengan armada truk. Distribusi ternak dengan truk memiliki risiko yang tidak sederhana. Penyusutan bobot hingga kematian ternak di jalan menjadi hal biasa yang harus dihadapi para pebisnis ternak.
”Sapi itu bisa stres juga di jalan Mas. Makin lama di jalan, makin stres. Bobot sapi sudah tentu akan turun,” ujar Brian Windupraja, pebisnis sapi yang secara rutin menerima ternak dari Jawa Timur dan Jawa Tengah. Menurutnya, sampai saat ini Jakarta dan sekitarnya adalah pasar sapi terbesar yang ada di Indonesia. Namun, distribusi ternak menuju ibu kota dan sekitarnya semakin hari justru semakin bermasalah. Masalah pada distribusi tersebut pada akhirnya menyebabkan harga sapi menjadi lebih mahal dari yang seharusnya.
”Kami kan pedagang. Tentu risiko di jalan harus dihitung sebagai biaya yang ikut menjadi komponen penentu harga akhir,’’ katanya. Dalam hitungan Brian, sapi yang diangkut melalui jalur darat setidaknya mengalami penyusutan bobot hingga 10 persen. Malah, tidak sedikit yang menyusut hingga 15 persen dari bobot sebelum diberangkatkan.
Semakin lama sapi berada di jalanan, hampir pasti makin banyak pula risiko yang ditanggung, termasuk penyusutan bobot. Celakanya, saat ini jarak tempuh jalur darat dari Jawa Timur maupun Jawa Tengah bukannya semakin lancar.
”Pantura semakin ramai, dengan sendirinya waktu distribusi semakin panjang. Makin tekor kita jadinya,” katanya. Brian menyebut, ongkos sewa armada pengangkut ternak sebenarnya relatif tidak terlalu berat. Biaya sewa armada bisa disebut stabil selama tidak ada kenaikan bahan bakar atau onderdil. Apalagi, rata-rata pebisnis ternak sudah punya semacam kerjasama jangka panjang dengan pemilik jasa pengiriman dan ada kesepakatan harga di depan hingga rentang waktu tertentu.
Menurutnya, mengirimkan sapi dari daerah tidak sama dengan mendistribusikan barang konsumsi. ”Ada risiko-risiko alam yang tidak bisa diprediksi. Seperti sapi stres atau mati. Walaupun di tiap titip provinsi ada semacam karantina untuk memastikan kesehatan ternak, tetap saja risiko itu tak bisa hilang seratus persen,’’ papar Brian. Jenis armada angkut juga ikut berpengaruh. Semakin besar truk yang diangkut, semakin besar pula risiko mengalami macet di jalan dan dengan sendirinya risiko-risiko kerugian meninggi.
Brian menyebut, tidak sedikit pebisnis ternak yang memilih menggunakan truk ukuran tiga per empat sebagai andalan. Truk ukuran ini mampu mengangkut sekitar 10 ekor sapi sekali jalan. ”Truk ukuran tiga per empat relatif tak terlalu besar. Lebih lincah di jalan, tapi terbatas kuota daya tampungnya,” katanya. Truk yang berukuran lebih besar banyak dihindari walau sebenarnya punya kapasitas angkut lebih banyak. Brian menambahkan, angkutan ternak dengan kereta dulu sempat ada. Namun, kini sudah tidak lagi beroperasi.
Di tempat terpisah, Budi A.S pemilik jasa pengangkutan TN Trans mengakui ongkos sewa truk untuk ternak tidak sama dengan biaya untuk non ternak. ”Ada fee tambahan untuk awak angkutan. Sampeyan bisa bandingkan bedanya nyopir truk ngangkut sapi sama kain kan Mas?” katanya. Selain itu, Budi menyebut pegangkutan hewan ternak yang selama ini dia lakukan selalu meminta kepada pemberi order menyertakan satu orang khusus untuk mengurus ternak di sepanjang perjalanan.
”Ternak itu butuh tetap makan di jalan. Malah dikasih jamu segala biar nggak masuk angin. Lalu, ada pula pemeriksaan petugas khusus di beberapa daerah perbatasan. Pawang ini yang mengurus semuanya,’’ katanya. Tanpa pawang, Budi mengaku memilih menolak order pengangkutan. Maklum, awak armadanya sama sekali tidak memiliki keahlian untuk mengurus ternak dan fokus pada perjalanan menuju lokasi tujuan. Menurutnya, biaya sewa kendaraan untuk ternak rata-rata lebih mahal 15-20 persen dari biaya angkut jenis armada yang sama dengan beda isi.
Jabodetabek dan Bandung selama ini memang menjadi pasar daging ternak, terutama sapi, yang paling besar di Indonesia. Selain dari Jawa, pasokan terbesar untuk ibu kota dan sekitarnya didapat dari Lampung dan NTB. Untuk distribusi dari luar Jawa, pengangkutan dengan kapal menjadi andalannya. Namun, setali tiga uang dengan jalur darat, angkutan ternak lewat laut sama tinggi risikonya selama berada di perjalanan.
Sebelumnya, Kementerian Perhubungan berencana membangun dua terminal khusus pengangkut sapi dan hewan ternak di Sumba dan Lampung. Pembangunan tersebut diharapkan mampu memperlancar arus distribusi hewan ternak yang selama ini masih bergantung penuh pada jalur darat.
Rencananya, pembangunan dua terminal dilakukan pada semester dua tahun anggaran ini. Lampung dan Sumba sengaja dipilih mengingat di dua titik inilah yang menjadi titik terpadat pengangkutan sapi.
”Dalam beberapa rapat Kabinet selalu dibicarakan soal upaya membenahi pengangkutan sapi dari berbagai pulau dalam upaya peningkatan ketahanan pangan Indonesia. Kami pun langsung mempelajarinya dari Australia,” ujar Menteri Perhubungan E.E Mangindaan.
Kemarin, Mangindaan TELAH melakukan kunjungankerja ke Darwin, Australia. Di negeri Kangguru tersebut menteri asal Partai Demokrat ini sempat meninjau sistem pengangkutan ternak sebelum menandatangani Air Service Agreement kedua negara hari ini di Canberra.
Rencana pembangunan dua pelabuhan khusus sapi di Lampung dan Sumba akan dilakukan dengan dukungan kapal khusus pengangkut ternak. Mangindaan menyebut, kapal pengangkut khusus ternak itu dibangun sendiri dan galangan kapal di Batam telah siap membuatnya. Kapal khusus itu diperkirakan mampu mengangkut 1.500 ekor sapi dalam sekali perjalannya. Kapal setidaknya akan berukuran tiga ribu GT dengan perkiraan harga Rp 100 miliar.
Pengangkutan ternak dari luar Jawa selama ini sedikit banyak telah menimbulkan kerugian. Saat ini, pengangkutan hewan ternak dilakukan dengan menggunakan jala yang menggantung sapi. Metode ini pada akhirnya menyebabkan hewan ternak mengalami stres hingga bobotnya susut, bahkan mati di jalan. Kerugian tersebut menjadi tanggungan peternak. Di Australia, sapi mati dalam perjalanan lewat kapal menjadi tanggungjawab pembeli sapi atau agen. (tir)
---------------------------------
Di Jawa, sampai saat ini pengangkutan sapi dari berbagai daerah masih mengandalkan transportasi darat dengan armada truk. Distribusi ternak dengan truk memiliki risiko yang tidak sederhana. Penyusutan bobot hingga kematian ternak di jalan menjadi hal biasa yang harus dihadapi para pebisnis ternak.
”Sapi itu bisa stres juga di jalan Mas. Makin lama di jalan, makin stres. Bobot sapi sudah tentu akan turun,” ujar Brian Windupraja, pebisnis sapi yang secara rutin menerima ternak dari Jawa Timur dan Jawa Tengah. Menurutnya, sampai saat ini Jakarta dan sekitarnya adalah pasar sapi terbesar yang ada di Indonesia. Namun, distribusi ternak menuju ibu kota dan sekitarnya semakin hari justru semakin bermasalah. Masalah pada distribusi tersebut pada akhirnya menyebabkan harga sapi menjadi lebih mahal dari yang seharusnya.
”Kami kan pedagang. Tentu risiko di jalan harus dihitung sebagai biaya yang ikut menjadi komponen penentu harga akhir,’’ katanya. Dalam hitungan Brian, sapi yang diangkut melalui jalur darat setidaknya mengalami penyusutan bobot hingga 10 persen. Malah, tidak sedikit yang menyusut hingga 15 persen dari bobot sebelum diberangkatkan.
Semakin lama sapi berada di jalanan, hampir pasti makin banyak pula risiko yang ditanggung, termasuk penyusutan bobot. Celakanya, saat ini jarak tempuh jalur darat dari Jawa Timur maupun Jawa Tengah bukannya semakin lancar.
”Pantura semakin ramai, dengan sendirinya waktu distribusi semakin panjang. Makin tekor kita jadinya,” katanya. Brian menyebut, ongkos sewa armada pengangkut ternak sebenarnya relatif tidak terlalu berat. Biaya sewa armada bisa disebut stabil selama tidak ada kenaikan bahan bakar atau onderdil. Apalagi, rata-rata pebisnis ternak sudah punya semacam kerjasama jangka panjang dengan pemilik jasa pengiriman dan ada kesepakatan harga di depan hingga rentang waktu tertentu.
Menurutnya, mengirimkan sapi dari daerah tidak sama dengan mendistribusikan barang konsumsi. ”Ada risiko-risiko alam yang tidak bisa diprediksi. Seperti sapi stres atau mati. Walaupun di tiap titip provinsi ada semacam karantina untuk memastikan kesehatan ternak, tetap saja risiko itu tak bisa hilang seratus persen,’’ papar Brian. Jenis armada angkut juga ikut berpengaruh. Semakin besar truk yang diangkut, semakin besar pula risiko mengalami macet di jalan dan dengan sendirinya risiko-risiko kerugian meninggi.
Brian menyebut, tidak sedikit pebisnis ternak yang memilih menggunakan truk ukuran tiga per empat sebagai andalan. Truk ukuran ini mampu mengangkut sekitar 10 ekor sapi sekali jalan. ”Truk ukuran tiga per empat relatif tak terlalu besar. Lebih lincah di jalan, tapi terbatas kuota daya tampungnya,” katanya. Truk yang berukuran lebih besar banyak dihindari walau sebenarnya punya kapasitas angkut lebih banyak. Brian menambahkan, angkutan ternak dengan kereta dulu sempat ada. Namun, kini sudah tidak lagi beroperasi.
Di tempat terpisah, Budi A.S pemilik jasa pengangkutan TN Trans mengakui ongkos sewa truk untuk ternak tidak sama dengan biaya untuk non ternak. ”Ada fee tambahan untuk awak angkutan. Sampeyan bisa bandingkan bedanya nyopir truk ngangkut sapi sama kain kan Mas?” katanya. Selain itu, Budi menyebut pegangkutan hewan ternak yang selama ini dia lakukan selalu meminta kepada pemberi order menyertakan satu orang khusus untuk mengurus ternak di sepanjang perjalanan.
”Ternak itu butuh tetap makan di jalan. Malah dikasih jamu segala biar nggak masuk angin. Lalu, ada pula pemeriksaan petugas khusus di beberapa daerah perbatasan. Pawang ini yang mengurus semuanya,’’ katanya. Tanpa pawang, Budi mengaku memilih menolak order pengangkutan. Maklum, awak armadanya sama sekali tidak memiliki keahlian untuk mengurus ternak dan fokus pada perjalanan menuju lokasi tujuan. Menurutnya, biaya sewa kendaraan untuk ternak rata-rata lebih mahal 15-20 persen dari biaya angkut jenis armada yang sama dengan beda isi.
Jabodetabek dan Bandung selama ini memang menjadi pasar daging ternak, terutama sapi, yang paling besar di Indonesia. Selain dari Jawa, pasokan terbesar untuk ibu kota dan sekitarnya didapat dari Lampung dan NTB. Untuk distribusi dari luar Jawa, pengangkutan dengan kapal menjadi andalannya. Namun, setali tiga uang dengan jalur darat, angkutan ternak lewat laut sama tinggi risikonya selama berada di perjalanan.
Sebelumnya, Kementerian Perhubungan berencana membangun dua terminal khusus pengangkut sapi dan hewan ternak di Sumba dan Lampung. Pembangunan tersebut diharapkan mampu memperlancar arus distribusi hewan ternak yang selama ini masih bergantung penuh pada jalur darat.
Rencananya, pembangunan dua terminal dilakukan pada semester dua tahun anggaran ini. Lampung dan Sumba sengaja dipilih mengingat di dua titik inilah yang menjadi titik terpadat pengangkutan sapi.
”Dalam beberapa rapat Kabinet selalu dibicarakan soal upaya membenahi pengangkutan sapi dari berbagai pulau dalam upaya peningkatan ketahanan pangan Indonesia. Kami pun langsung mempelajarinya dari Australia,” ujar Menteri Perhubungan E.E Mangindaan.
Kemarin, Mangindaan TELAH melakukan kunjungankerja ke Darwin, Australia. Di negeri Kangguru tersebut menteri asal Partai Demokrat ini sempat meninjau sistem pengangkutan ternak sebelum menandatangani Air Service Agreement kedua negara hari ini di Canberra.
Rencana pembangunan dua pelabuhan khusus sapi di Lampung dan Sumba akan dilakukan dengan dukungan kapal khusus pengangkut ternak. Mangindaan menyebut, kapal pengangkut khusus ternak itu dibangun sendiri dan galangan kapal di Batam telah siap membuatnya. Kapal khusus itu diperkirakan mampu mengangkut 1.500 ekor sapi dalam sekali perjalannya. Kapal setidaknya akan berukuran tiga ribu GT dengan perkiraan harga Rp 100 miliar.
Pengangkutan ternak dari luar Jawa selama ini sedikit banyak telah menimbulkan kerugian. Saat ini, pengangkutan hewan ternak dilakukan dengan menggunakan jala yang menggantung sapi. Metode ini pada akhirnya menyebabkan hewan ternak mengalami stres hingga bobotnya susut, bahkan mati di jalan. Kerugian tersebut menjadi tanggungan peternak. Di Australia, sapi mati dalam perjalanan lewat kapal menjadi tanggungjawab pembeli sapi atau agen. (tir)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Yang Mangkal Diistilahkan KW, Panggilan Disebut Super
Redaktur : Tim Redaksi