Disway Malang

Oleh: Dahlan Iskan

Senin, 09 September 2024 – 07:26 WIB
Dahlan Iskan. Foto/ilustrasi: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - MINGGU kemarin saya ke Malang lagi: Disway terbaru dilahirkan di kota itu. Disway Malang.

Yang jadi dirutnya: Agung Pamujo –yang pernah berkarier di Jawa Pos.

BACA JUGA: Belangkon Merah

Acara Disway Malang itu dipusatkan di MCC –Malang Creative Center. Gedung baru. Sembilan lantai. Tanpa halaman.

Saya sudah telanjur mengajak 200 orang anggota Komunitas Senam DI ke Malang. Mereka akan senam-dansa bersama sebelum acara pokok.

BACA JUGA: Sosiologi Ekonomi

Tidak ada halaman bukan penghalang. Di gedung kreatif lahirlah kreativitas mereka: menyebar. Di tangga-tangga. Di teras. Di balkon atas. Juga di dekat trotoar.

Jadinya malah atraktif. Di mana-mana diisi peserta senam. Termasuk komunitas senam dari Malang: Komunitas Senam Kebaya Indonesia. Semua pesertanya pakai kebaya.

BACA JUGA: Faisal Basri

Begitu senam selesai, banyak anak remaja berdatangan. Maka tiap lantai gedung itu ramai dengan kegiatan anak muda Malang.

Ada yang latihan pencak silat, wushu, tari Jawa, memasak, mendesain, dan kursus-kursus. Semuanya gratis. Tinggal mendaftar secara online.

Syaratnya: harus orang kota Malang.

Peresmian Disway sendiri di lantai paling atas. Dihadiri sekitar 400 pengusaha kecil menengah. Mereka adalah binaan Bank Jatim. Seru.

Tiga jam saya di panggung bersama mereka. Yang dibahas adalah soal pengelolaan keuangan UMKM. Terutama mengenai umur piutang. Termasuk bagaimana cara menagih piutang.

Dibahas juga soal kemandirian pengusaha kecil: jangan pernah menyandarkan harapan pada bantuan pemerintah. Atau bantuan siapa pun.

Yang menarik, tidak ada di antara mereka yang berkeluh kesah. Mungkin karena sebelum itu saya sudah menegaskan bahwa pengusaha tidak boleh mudah mengeluh.

Setiap persoalan harus diatasi. Dicarikan jalan keluar. Bukan untuk dikeluhkan. Orang yang banyak mengeluh bukanlah pengusaha sejati.

Gedung ini menarik. Tidak didesain sebagai gedung perkantoran. Lantai-lantainya dibuat terbuka. Ruang-ruang kelas disediakan di salah satu pinggirnya.

Saya belum pernah melihat gedung seperti ini. Cocok untuk menampung kegiatan anak muda kreatif. Mungkin di Yogyakarta ada. Di bagian depan kampus Bulak Sumur Universitas Gadjah Mada.

Mungkin gedung itu kini sudah selesai dibangun, tetapi saya belum pernah memasukinya. Tidak bisa membandingkannya dengan MCC.

Ukuran gedung di UGM itu sangat besar. Megah. Namanya: Gelanggang Inovasi dan Kreativitas (GIK). Fungsinya sama dengan MCC: menampung segala macam kreasi yang terkait dengan ekonomi kreatif.

MCC dikelola Pemkot Malang. GIK dikelola UGM.

Di MCC banyak kursus-kursus bidang kreativitas.

Di GIK sering dilakukan kuliah umum yang terkait ekonomi kreatif.

Tiga tahun lagi akan terlihat mana yang lebih bermanfaat.

Tiga tahun lagi juga akan terlihat toilet MCC atau GIK yang tetap terpelihara kebersihannya.

Dua-duanya akan membebani: anggaran pemeliharannya sangat besar. Juga biaya listrik dan operasionalnya.

MCC pun tidak akan bisa seterusnya gratis. Pun GIK.

Pendidikan memang mahal. Yang nonformal seperti di MCC maupun yang formal seperti di GIK.

Setidaknya, kreativitas anak-anak muda di dua kota itu mulai diberikan wadah --meski kreativitas tidak tergantung pada fasilitas.(*)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Nostra Aetate


Redaktur : M. Fathra Nazrul Islam
Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler