jpnn.com - JAKARTA - Komisaris Utama PT Bukit Jonggol Asri (BJA), Kwee Cahyadi Kumala (KCK) alias Swie Teng merasa mendapat perlakuan tidak layak ketika dirinya ditangkap di Taman Budaya, Sentul City, Bogor tanggal 30 September 2014 silam.
Perlakuan yang dimaksudnya adalah pemborgolan oleh penyidik KPK yang saat itu didampingi tim kepolisian bersenjata lengkap.
BACA JUGA: Ruki Ingatkan Polri, Jangan Sembarangan sama BW dan Samad!
Keberatan ini disampaikan tim kuasa hukum Cahyadi yang diwakili Rudy Alfonso saat membacakan eksepsi atas dakwaan JPU KPK, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (25/2).
"Menangkap terdakwa di Taman Bidaya Sentul City Bogor tanpa memanggilnya, membawa terdaka denga cara memborgol tangannya sampai gedung KPK. Pemborgolan juga dilakukan saat terdakwa ke rumah sakit," kata Rudy.
BACA JUGA: Kubu Ical Bawa 250 Saksi, Hanya 13 Disetujui MPG
Dikatakan Rudy, sebelum penangkapan itu, kliennya tidak pernah absen saat dipanggil KPK untuk dimintai keterangan. Ini membuktikan bahwa Cahyadi sangat kooperatif terhadap penyidikan KPK.
"Sehingga mengundang pertanyaan dan keprihatinan. Apakah itu dibenarkan? Apa alasan masuk akalnya?," tanya dia.
BACA JUGA: Mulai Panas, Nyaris Ribut, Seseorang Diusir Keluar Sidang MPG
Rudy pun menyinggung peristiwa penangkapan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto oleh Bareskrim Mabes Polri beberapa waktu lalu untuk memperkuat argumennya. Pasalnya, KPK memprotes keras cara Bareskrim Polri memperlakukan Bambang saat penangkapan itu.
"Tindakan yang sama diberlakukan terhadap salah sagi pimpinan KPK oleh Bareskrim Polri, ternyata mendapat perhatian yang luar biasa dari publik serta dinyatakan telah melanggar HAM oleh Komnas HAM. Di sinilah perlakuan yang sama kami pertanyakan," tandasnya.
Dalam eksepsinya, Cahyadi juga mempersoalkan penambahan Pasal 21 UU Tipikor dalam sprindik KPK nomor : Sprin.Dik-46/01/09/2014 tanggal 26 September berdasarkan LPTK Nomor LPTK-02/KPK/05/2014 tanggal 8 Mei 2014. Sprindik ini menyebutkan jika terdakwa menghalangi penyidikan kasus suap dengan terdakwa FX Yohan Yap dan bersama-sama menyuap Rahmat Yasin dan HM Zairin.
Anggota tim kuasa hukum, Syamsul Huda mengatakan, penerapan pasal 21 dalam sprindik tersebut dinilai tanpa dasar dan seakan-akan hanya untuk memperburuk citra, sehingga terdakwa akhirnya bisa dihukum lebih berat.
"Pasal 21 tidak lazim. Penambahan pasal sangkaan dari perkara lanjutan seharusnya didahului adanya berita acara pendapat. Namun, kami tidak temukan itu sebagai dasar sprindik baru," ucap Syamsul.
Lebih lanjut, Syamsul juga menyampaikan bantahan atas salah satu dakwaan Jaksa KPK terhadap kliennya. Disebutkannya, Cahyadi tidak pernah mengumpulkan sejumlah orang dibeberapa tempat dengan tujuan mengaburkan atau menghilangkan fakta yang berkaitan dengan penyidikan.
"Berdisukusi semata-mata untuk mengklarifikasi paska ditangkapnya Yohan Yap. Kwee Cahyadi Kumala tidak mengetahui aliran uang. Pertemuan tidak sama sekali untuk berupaya menghalangi," tandas Syamsul. (dil/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Bareskrim Pertimbangkan Tahan BW
Redaktur : Tim Redaksi