jpnn.com, JAKARTA - Sekelompok warga yang menamakan diri Perkumpulan Warga Negara Untuk Pemilu Jurdil meminta KPU RI memberikan penjelasan dan klarifikasi atas temuan 52 juta data aneh dalam Daftar Pemilih Sementara (DPS) Pemilu 2024.
Juru bicara perkumpulan itu, Dendi Susianto menyatakan pihaknya telah meneliti data DPS yang berjumlah total 205.768.061dan menemukan 25,3 persen data aneh.
BACA JUGA: Partai Demokrat DKI Daftarkan 106 Bacaleg DPRD ke KPU, Begini Targetnya
"Setelah meneliti data DPS kami menemukan 52.048.328 atau 25.3 persen data janggal," kata Dendi di Jakarta Pusat, Rabu (14/6).
Dia menyebutkan data janggal tersebut yaitu pemilih berumur lebih dari 100 tahun, pemilih berumur kurang dari 12 tahun, pemilih memiliki identitas yang sama, pemilih memiliki RT 0, pemilih memiliki RW 0, pemilih memiliki RT dan RW 0.
BACA JUGA: Berkas Pendaftaran Bacaleg dari PKB Dikembalikan KPU Blitar, Ini yang Terjadi
Berikut ini data pemilih aneh yang ditemukan Perkumpulan Warga Untuk Pemilu Jurdil:
Umur di bawah 12 tahun: 35.785
Umur di atas 100 tahun: 13.606
Nama kurang dari 2 huruf: 14.000
Nama mengandung tanda tanya: 35
RW-nya 0: 13.344.569
RW-nya 0: 616.874
RT dan RW-nya 0: 35.905.638
Identitas sama (nama, KPU ID, RT, RW, TPS semua sama): 2.120.135
Dendi Susianto juga menjelaskan bahwa data DPS yang dikeluarkan KPI amatlah minim informasi.
Dia menyebutkan DPS itu hanya memuat nama, umur, desa, RT, RW. Data tersebut tidak secara jelas menginformasikan nomor identitas penduduk, tanggal lahir, kecamatan, kabupaten, dan provinsi.
Dendi menilai dengan data yang demikian minim, mustahil bagi orang normal dari kalangan warga negara, partai politik maupun lembaga pemantau pemilu untuk ikut membantu KPU memverifikasi DPS sebagaimana yang diamanatkan UU Pemilu.
Dendi juga menyayangkan KPU yang tidak mengeluarkan data secara jelas sehingga menghambat hak warga negara untuk ikut memantau Pemilu 2024 agar jujur dan adil.
"Pada Pemilu 2004 KPU mengeluarkan data pemilih secara jelas sampai dengan NIK sehingga lembaga pemantau pemilu seperti LP3ES dulu bisa melakukan audit DPS untuk membantu verifikasi data pemilih. Saya dulu ikut mengaudit data pemilih bersama LP3ES pada tahun 2004 karena data DPS dibuka secara transparan", ujarnya.
Dendi mengaku khawatir jika DPS aneh itu tidak dikoreksi dapat membuka peluang disalahgunakan pihak tak bertanggung jawab untuk berbuat curang.
"Jika KPU pada Pemilu 2004 bisa membuka DPS secara lengkap sehingga publik bisa melakukan pengecekan, kenapa KPU sekarang tidak bisa melakukannya?" jelasnya.
Dendi menghimbau agar KPU sebaiknya membuka data lengkap sehingga tidak menimbulkan keraguan publik.(mcr8/jpnn)
Redaktur : Elvi Robiatul
Reporter : Kenny Kurnia Putra