jpnn.com - jpnn.com - Sudah sering terjadi masyarakat menjadi korban beredarnya berita hoax alias bohong. Kini, ada pihak yang peduli dan mengobarkan perang melawan berita hoax.
HILMI S. - M. SALSABYL, Jakarta
BACA JUGA: Pemerintah dan Publik Harus Kompak Melawan Hoax
Foto yang tersebar luas di dunia maya itu menggambarkan sebuah kantor di Jakarta. Ada tulisan dan ornamen Tiongkok.
Sekilas suasananya seperti di Tiongkok beneran. Apalagi dilengkapi tulisan bahwa itu adalah markas tentara Tiongkok.
BACA JUGA: Nah, Politikus PKS Tuding Pemerintah Justru Memicu Hoax
Benarkah? Publik tentu tidak percaya begitu saja. Salah satunya adalah Ketua Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFI) Septiaji Eko Nugroho. Dia pun melakukan klarifikasi langsung ke lapangan.
”Kebetulan, ada salah satu anggota relawan kami yang dekat dengan lokasi foto itu,” katanya saat ditemui di gedung TIK Nasional, Ciputat, Tangerang Selatan, Jumat (6/1).
BACA JUGA: Apanya Darurat, Bos? Kita Masih Bisa Minum Teh
Usut punya usut, itu memang bukan markas tentara Tiongkok. Melainkan kantor koran berbahasa Tiongkok Guo Ji Ri Bao, salah satu koran Jawa Pos Group.
”Ini hanya salah satu contoh begitu banyaknya berita bohong atau hoax,” ujar Septiaji.
Kegelisahan lelaki kelahiran Wonosobo, 6 September 1978, tersebut terhadap berita hoax begitu besar. Dia melakukan perlawanan sejak 2012. Tidak sendiri. Septiaji menggandeng sejumlah rekan.
Pada September 2015 mereka mulai lebih intensif menangkal dan meluruskan berita-berita hoax. Gerakan itu terus berkembang.
Pada 1 Desember 2016 Septiaji meresmikan gerakan Masyarakat Indonesia Anti-Hoax. Gerakan itu kemudian dibuat menjadi lembaga berbadan hukum bernama Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFI). Slogan yang mereka usung bernuansa kekinian, yakni Turn Back Hoax (turnbackhoax.id).
Menjamurnya berita hoax di tanah air tidak lepas dari rendahnya budaya literasi. Hasil pengukuran tingkat literasi dunia pada April 2016, Indonesia berada di urutan ke-60 di antara 61 anggota.
Posisi Indonesia hanya lebih baik daripada Botswana, negara kecil di Afrika yang berpenduduk 2,1 juta jiwa. ”Tentu bukan prestasi yang membanggakan,” kata Septiaji.
Tingkat literasi yang rendah itu lantas mendapat gempuran perkembangan teknologi informasi (TI) yang signifikan. Smartphone menjamur. Bukan hanya orang dewasa yang memiliki telepon pintar, tapi juga anak-anak.
Tingkat kepemilikan smartphone dan akses ke media sosial di Indonesia menduduki peringkat kelima dunia.
Perpaduan antara literasi yang rendah dan akses ke media sosial yang tinggi menimbulkan dampak yang luar biasa. Orang dengan beragam latar belakang profesi ikut menyebarkan berita hoax.
Di sisi lain, upaya untuk mengklarifikasi sangat rendah. Apa pun berita yang didapat langsung dibagikan (share) ke orang lain.
Parahnya, orang-orang di dunia nyata yang memiliki kompetensi jempolan ternyata ikut-ikutan menyebarkan berita bohong.
Hal itu dipicu kecenderungan masyarakat Indonesia yang ingin menjadi nomor satu. Termasuk dalam hal penyebaran informasi. Tanpa mengklarifikasi kabar yang diterima tersebut benar atau bohong.
Motivasinya beragam. Ada yang memang bertujuan menebar kebencian. Ada juga yang ingin mengeruk keuntungan finansial.
”Yang terakhir biasanya orang yang paham dunia iklan di internet,” ucap lulusan Program Magister Universitas Teknik Muenchen (TUM), Jerman, itu.
Ada jasa iklan internet yang membayar USD 1 (setara Rp 13.500) per seribu klik. Jika dalam sehari website yang memuat berita hoax dikunjungi 500 ribu kali, dia (si pembuat berita) bisa mendapatkan USD 500 (Rp 6,6 juta). Angka yang menggiurkan.
Septiaji dkk menggalang kampanye anti-hoax. Juga mengklarifikasi berita bohong di media sosial seperti Facebook dan Twitter.
Dengan puluhan relawan, mereka bisa mengecek linimasa (timeline) atau dinding Facebook yang memuat berita bohong. Kemudian dengan segera mengklarifikasi, lalu menyebar informasi yang sesungguhnya.
”Tantangan yang kita hadapi sekarang bagaimana membendung berita hoax yang tersebar di WhatsApp (WA),” katanya.
Jumlah grup WA di Indonesia sangat banyak. Satu berita hoax bisa dengan cepat menyebar dari satu grup WA ke grup lainnya.
Langkah pemerintah memblokir website penyebar berita hoax sudah tepat. Tetapi harus dibarengi upaya transparansi.
Sehingga tidak menimbulkan kesan pemerintah justru membungkam atau mengekang hak demokrasi masyarakat.
Bahaya dari arus hoax yang terus menerpa media sosial dan grup-grup aplikasi messenger juga dirasakan putri mantan Presiden Abdurrahman Wahid, Anita Hayatunnufus.
Perempuan yang akrab disapa Anita Wahid itu akhirnya tergerak masuk ke lingkaran MAFI, bahkan menjadi duta anti-hoax.
Anita punya pengalaman dengan kabar bohong. ”Teman saya bertengkar dengan rekan sekantor hanya karena mereka memilih calon presiden berbeda. Mereka beradu argumen dengan dasar artikel hoax,” ungkapnya.
Anita pun mengingatkan publik agar berhati-hati membagikan artikel. Masyarakat harus sadar dampak yang bakal ditimbulkan jika informasi palsu tersebut menyebar luas.
”Saya semakin takut dengan masyarakat Indonesia yang kian lupa nilai toleransi. Padahal, ini adalah nilai yang selalu jadi kebanggaan bangsa dari dulu,” tegasnya.
Dari kalangan organisasi, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) juga ambil bagian dalam perang melawan berita hoax. Mereka membentuk NU Cyber Troops.
Tugasnya ialah mengklarifikasi berita-berita palsu tentang NU yang hilir mudik di dunia maya. ”Intinya adalah tabayun (klarifkasi, Red). Itu menjadi kewajiban bagi umat,” tutur Ketua PB NU Bidang Hukum, HAM, dan Perundang-undangan Robikin Emhas.
NU juga mengajak anggotanya yang aktif di dunia maya untuk melakukan edukasi. Misalnya dengan mem-posting tweet bertema edukasi Islami seperti #Yukyasinan atau #Islamnusantara.
”Kami ingin melindungi keutuhan NKRI, juga jamaah NU, dari informasi-informasi fitnah. Jangan sampai masyarakat terpecah dan dimanfaatkan pihak-pihak penyebar kabar tersebut,” tandasnya. (*/c9/ca)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ingat, Jangan Sampai Badan Cyber Membelenggu Kebebasan
Redaktur : Tim Redaksi