jpnn.com, JAKARTA - Pembahasan RUU Pemilu belum kelar. Fraksi di parlemen masih mempunyai waktu melakukan lobi-lobi politik untuk memutuskan lima poin krusial. Salah satunya mengenai metode konversi suara.
Direktur eksekutif Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) August Mellaz mengatakan, metode konversi suara ke kursi perlu disempurnakan.
BACA JUGA: Kerja Panjang Pembahasan RUU Pemilu
Alasannya, metode penghitungan suara yang diatur UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, masih mencerminkan ketidakadilan atau kesenjangan harga sebuah kursi wakil rakyat yang diperoleh antarparpol.
Dia memberi contoh, pada Pemilu 2014 ada satu kursi DPR yang diperoleh satu parpol di sebuah dapilhanya dengan mengumpulkan 94.200 suara dengan bilangan pembagi pemilih (BPP) sebesar 212.700 suara.
BACA JUGA: RUU Pemilu Disahkan jadi UU pada 19 Juni 2017
Sementara, parpol lainnya di dapil yang sama perlu mengumpulkan sebanyak 305.713 suara untuk harga sebuah kursi DPR.
“Fenomena ini terjadi karena penerapan sebuah metode penghitungan suara ke kursi yang telah ditetapkan dalam UU Pemilu tersebut, yakni metode Kuota Hare,” terangnya.
BACA JUGA: Isu Presidential Threshold Diharapkan Tak Diputuskan di Paripurna DPR
Menurutnya, metode Kuota Hare ini tidak memberikan jaminan keadilan perolehan suara-kursi bagi setiap parpol. “Metode Kuota Hare memunculkan paradoks penghitungan,” kata August Mellaz.
Disampaikan juga, metode Kuota Hare ini sudah tidak lagi digunakan dalam Pemilu di Amerika Serikat sejak tahun 1911. Bahkan, sudah dilarang dalam Pemilu di Jerman berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Jerman.
Nah, solusi untuk meningkatkan derajat keadilan harga sebuah kursi wakil rakyat dalam Pemilu mendatang, lanjutnya, perlu dipertimbangkan penerapan metode Divisor Sainte Lague.
Dikatakan, berdasarkan pengalaman negara-negara di dunia, penerapan Metode Sainte Lague lebih mendekatkan jarak dan jaminan keadilan perolehan suara dan kursi parpol.
Ketua Pansus RUU Pemilu Lukman Edy mengatakan, hasil negosiasi antarketua partai atau fraksi akan menentukan rapat pengambilan keputusan Selasa besok (13/6).
”Besok (hari ini) waktu terakhir sebelum rapat Selasa,’’ kata Ketua Pansus RUU Pemilu Lukman Edy saat dihubungi Jawa Pos kemarin (11/6).
Menurut politikus PKB itu, lobi dilakukan ketua umum partai atau ketua fraksi. Anggota pansus hanya menunggu hasil lobi untuk disampaikan di rapat pansus.
Hari ini, lanjut dia, PKB akan menjalin komunikasi dengan partai lain untuk membicarakan lima isu krusial yang terdiri atas presidential threshold, parliamentary threshold, sistem pemilihan, pembagian kursi, dan konversi suara.
”Kapan dan di mana lobi dilakukan tentu menjadi rahasia. Hasil lobi akan diketahui dalam rapat pengambilan keputusan,” imbuhnya.
Lukman mengingatkan bahwa semua pembicaraan dan lobi tentang lima isu krusial RUU Pemilu harus selesai sebelum pengambilan keputusan Selasa (13/6). Selanjutnya, pengambilan keputusan terhadap lima isu krusial dilakukan dengan sistem paket.
Namun, kalau pengambilan keputusan secara paket sulit dilakukan, pihaknya tidak akan memaksa. ”Yang paling penting, Selasa besok semua isu krusial itu bisa disepakati,” ujarnya.
Arif Wibowo, anggota pansus dari Fraksi PDIP, menyatakan, pansus harus kembali pada kesepakatan awal, yaitu menggunakan sistem paket dalam pengambilan keputusan.
’’Kan sudah disepakati, kenapa harus diubah?’’ terang politikus asal Madiun tersebut. Lima itu saling berkaitan satu sama lain.
Menurut dia, dalam rapat Selasa tidak perlu lagi ada pembahasan. Pansus tinggal menyampaikan hasil lobi-lobi yang sudah disepakati antarfraksi. ’’Tentu yang disampaikan secara paket juga,’’ ucap anggota komisi II tersebut. (lum/c17/fat/ZonaL/sam/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pansus RUU Pemilu Sepakat Saksi Tidak Dibiayai Negara
Redaktur & Reporter : Soetomo