jpnn.com, BENGKULU - Majelis Hakim menjatuhkan hukuman 8 tahun penjara terhadap Gubernur Bengkulu nonaktif, Ridwan Mukti dan istri, Lily Martiani Maddari, Jumat sore (11/1).
Selain divonis 8 tahun, Ridwan Mukti dan istri juga didenda Rp 400 juta subsidair 2 bulan penjara atas perkara dugaan suap Rp 1 miliar. Hukuman ditambah pencabutan hak berpolitik dua tahun setelah menjani hukuman pokok untuk RM.
BACA JUGA: GMPG Minta Setya Novanto Mencontoh Sikap Ridwan Mukti
Untuk menjalani hukuman, Ridwan Mukti dan Lily meminta ditahan di Lapas Kelas I Sukamiskin, Bandung. Sebelumnya, keduanya ditahan di Rutan Malabero Bengkulu.
Rencana pindah tersebut diutarakan penasehat hukum Magdir Ismail sudah sempat dibahas setelah tuntutan dibacakan pada Desember lalu.
BACA JUGA: Ridwan Mukti Diciduk KPK, Puluhan Pejabat Nonjob Kompak Gundul
“Sebenarnya soal pindah ini, Pak Ridwan Mukti sudah pernah sampaikan kepada saya. Andai saja putusannya tidak keterlaluan, mau pindah saja ke Sukamiskin. Namun yang terjadi sangat keterlaluan, vonisnya berat amat ini. Delapan tahun. Sementara Pak Ridwan Mukti tidak berbuat apa-apa. Tetapi soal keinginan pindah akan dibicarakan lagi, besar kemungkinan tetap pindah,” jelas Magdir.
Apa yang menjadi motivasi dan dorongan Ridwan Mukti pindah, Magdir tidak memberitahu. Tetapi ada alasan pindah Ridwan Mukti, agar lebih dekat dengan keluarganya, terutama anak-anaknya yang berada di Jakarta.
BACA JUGA: Salad Id, Masyarakat Bengkulu akan Gelar Doa Bersama untuk Gubernur Nonaktif
Selain itu lebih dekat dengan Jakarta, yang bisa memberi kemudahan bagi Ridwan Mukti untuk konsultasi dengan dokter yang selama ini mengobatinya.
“Pak Ridwan Mukti itu jugakan sedang dalam keadaan sakit. Dokternya ada di Jakarta. Saya kasihan melihat perjuangannya,” kata Magdir.
Magdir masih tidak percaya dengan keputusan dari Majelis Hakim. Dia menduga ada yang tidak beres dengan Hukum di Bengkulu. Serta dia menduga penegakan hukum atas perkara terhadap kliennya, memaksa yang tidak bersalah menjadi salah.
“Bahkan yang membuat dia tidak habis pikir sampai dengan sekarang, terkait hukuman tambahan pencabutan hak politik 2 tahun setelah menjalani hukuman pokok. Magdir berbali bertanya, hak politik apa yang mau dicabut-cabut?,” ujar Magdir.
Dia melanjutkan, saat ini dia tetap menilai vonis untuk Ridwan Mukti adalah bentuk kesalahan besar dalam dunia hukum.
“Kesalahan besar ini. Pertama seorang yang tidak mengakui, dihukum yang tinggi. Yang tidak masuk akal, seperti pencabutan politik segala, emangnya hak politik apa yang mau dicabut terhadap Ridwan Mukti. Apa urusannya dan apa hubungannya masalah dugaan uang proyek yang sama sekali tidak bisa dibuktikan dalam sidang. Saya tegaskan lagi, ini tidak ada kaitannya,” tutur Magdir.
Begitu dikonfirmasi Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Bengkulu, Ilham Djaya mengatakan soal pengajuan pindah harus memenuhi prosedur yang berlaku. Terutama tetap menunggu penetapan putusan berkekuatan hukum tetap dari pengadilan.
“Untuk yang Pak Ridwan Mukti, ya bisa saja nanti kita usulkan, asalkan ada putusan hukum yang tetap. Kalau belum ada putusan yang tetap, ya belum bisa pindah. Vonis baru dibaca, siapa tahu pak Ridwan Mukti banding,” imbuhnya.
Selain putusan tetap, Ilham menjelaskan ada syarat lain yang harus dilalui, seperti tahapan sidang secara internal Kementerian Hukum dan Ham. Dalam sidang akan ditanyakan syarat-syarat, apakah lolos secara administratif.
“Kalau memang sudah memenuhi persyaratan, ya bisa kita pindahkan. Memang haknya narapidana memang bisa dipindahkan. Ada 3 hal jadi pedoman pindah, pertama faktor keamanan, kedua faktor pembinaan, ketiga, diperlukan instansi terkair,” tutur Ilham.(rif)
BACA ARTIKEL LAINNYA... KPK Bidik Tersangka Baru Kasus Suap yang Menyeret Gubernur Bengkulu
Redaktur & Reporter : Budi