jpnn.com, JAKARTA - Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menjatuhkan sanksi peringatan keras terakhir dan pemberhentian dari jabatan sebagai ketua kepada Arief Budiman selaku Ketua KPU.
Sanksi dibacakan dalam sidang pembacaan putusan di ruang sidang DKPP, Jakarta, Rabu (13/1).
BACA JUGA: DKPP Didesak Segera Tetapkan Jadwal Sidang Etik untuk KPUD dan Bawaslu Ogan Ilir
Arief dinilai terbukti melanggar kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu.
“Menjatuhkan sanksi peringatan keras terakhir dan pemberhentian dari jabatan ketua KPU kepada teradu Arief Budiman selaku Ketua KPU sejak putusan ini dibacakan," ujar Ketua Majelis Muhammad saat membacakan putusan.
BACA JUGA: Gara-gara Unggahan di Medsos, Bawaslu Laporkan KPU Sleman ke DKPP
Arief diadukan ke DKPP karena mendampingi dan menemani Evi Novida Ginting Manik yang sebelumnya diberhentikan DKPP pada 18 Maret 2020 untuk mendaftarkan gugatan ke PTUN Jakarta.
Evi diketahui kini kembali menjabat sebagai komisioner KPU, setelah PTUN memenangkan gugatannya.
BACA JUGA: Laode Ida: Komjen Listyo Sigit Prabowo Sosok Pengayom
Dalam persidangan Arief menyebut kehadirannya di PTUN Jakarta untuk memberikan dukungan moril, simpati dan empati didasarkan pada rasa kemanusiaan.
Kehadiran teradu dalam kapasitasnya sebagai individu, bukan mewakili lembaga.
Di saat yang bersamaan, teradu berstatus menjalani work from home (WFH).
Anggota Majelis Didik Supriyanto saat membacakan pertimbangan menyebut, DKPP memahami ikatan emosional teradu dengan Evi Novida Ginting Manik.
Namun, ikatan emosional sepatutnya tidak menutup sense of ethic dalam melakoni aktivitas individual yang bersifat pribadi.
Perlu diingat, Arief menjabat ketua sekaligus anggota KPU yang tidak memiliki ikatan emosional dengan siapapun, kecuali dalam ketentuan hukum dan etika jabatan sebagai penyelenggara pemilu.
“Seharusnya teradu dapat menempatkan diri pada waktu dan tempat yang tepat di ruang publik dan tidak terjebak dalam tindakan yang bersifat personal dan emosional yang menyeret lembaga dan berimplikasi pada kesan pembangkangan dan tidak menghormati putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat,” ucap Didik.
Kehadiran teradu di ruang publik saat mendampingi Evi juga membuat KPU terkesan menjadi pendukung utama dalam melakukan perlawanan terhadap putusan DKPP.
DKPP menilai sikap dan tindakan teradu menunjukan adanya penghormatan terhadap tugas dan wewenang antarinstitusi penyelenggara pemilu.
“Teradu melanggar Pasal 14 huruf c jo Pasal 15 huruf a dan d jo Pasal 19 huruf c dan e Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu,” kata Didik.
Teradu juga tanpa dasar hukum meminta Evi Novida Ginting Manik kembali aktif melaksanakan tugasnya sebagai Anggota KPU melalui Surat Nomor 663/SDM.12-SD/05/KPU/VIII/2020.
Surat yang dikeluarkan Teradu mengacu pada Surat Kementerian Sekretariat Negara RI Nomor B.210.
Kementerian Sekretariat Negara RI meminta teradu menyampaikan petikan Keputusan Presiden (No 83/P Tahun 2020) yang mencabut putusan sebelumnya (No 34/P Tahun 2020) untuk disampaikan kepada Evi Novida Ginting Manik.
DKPP menilai dalam surat tersebut tidak ada frasa atau ketentuan yang memerintahkan teradu mengangkat dan mengaktifkan kembali Evi Novida Ginting Manik sebagai Anggota KPU.
“Tindakan teradu merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang, baik dalam kategori melampaui kewenangan di luar ketentuan hukum baik kategori mencampuradukan kewenangan di luar materi kewenangan,” kata Didik.
Anggota DKPP Ida Budhiati menambahkan, teradu sama sekali tidak memiliki dasar hukum maupun etik memerintahkan Evi Novida Ginting Manik aktif kembali sebagai Anggota KPU.
Menurut hukum dan etika, Evi Novida Ginting disebut tidak lagi memenuhi syarat sebagai penyelenggara pemilu setelah diberhentikan berdasarkan Putusan DKPP Nomor 317-PKE-DKPP/X/2019.
“Berdasarkan hal tersebut teradu telah terbukti melanggar Pasal 11 huruf a dan huruf b juncto Pasal 15 huruf a, huruf c, huruf d dan huruf f juncto Pasal 19 huruf c, huruf e dan huruf d, Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu,” ujar Ida.
Dalam perkara ini anggota Majelis DKPP memberikan pendapat berbeda (dissenting opinion) yaitu Pranomo Ubaid Tanthowi.
Ditegaskannya, teradu membubuhkan tanda tangan dalam surat 663/SDM.12-SD/05/KPU/VIII/2020 dalam kapasitasnya sebagai Ketua KPU, bukan atas nama pribadi.
Pramono juga menilai tindakan Arief membubuhkan tanda tangan pada surat tersebut tidak termasuk pelanggaran berat yang mencederai integritas proses atau integritas hasil-hasil pemilu atau pilkada.
Teradu juga dinilai tidak memiliki niat jahat untuk memanipulasi proses atau hasil pemilu atau pilkada.
Sidang dipimpin Ketua DKPP yang bertindak sebagai Ketua Majelis Prof. Muhammad, didampingi anggota DKPP Alfitra Salamm, Teguh Prasetyo, Didik Supriyanto, Ida Budhiati dan Pramono Ubaid Tanthowi.(gir/jpnn)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
Redaktur & Reporter : Ken Girsang